FILM SILARIANG – CINTA YANG TAK DIRESTUI : SIMPONI CINTA PELIK DAN MELANKOLIK DARI BALIK LEKUK INDAH BUKIT DI RAMMANG-RAMMANG
Film “Silariang-Cinta yang tak Direstui”telah berhasil membuat saya “bertamasya batin”, berkelana ke ceruk-ceruk terdalam nostalgia ke daerah dimana saya lahir, besar dan tumbuh dalam budaya Bugis Makassar yang kental. Film ini menyajikan lanskap budaya khas Sulawesi Selatan nan eksotik namun juga panorama indah bukit karst Rammang-Rammang, Kabupaten Maros.
Pada acara Gala Premiere di Jakarta hari Selasa malam (16/1) di XXI Epicentrum Walk Kuningan, saya merasa sangat beruntung mendapat kesempatan menonton film ini langsung dari sahabat saya di Teknik Mesin UNHAS yang juga Executive Producer film “Silariang”, Hurriah Ali Hasan. Malam itu terlihat begitu semarak dengan hadirnya sejumlah warga dan tokoh masyarakat Sulawesi Selatan yang berdomisili di Jabodetabek, beberapa diantaranya bahkan wajah-wajah yang sudah saya kenal dekat. Tak ayal kesempatan malam itu saya manfaatkan pula untuk menjalin silaturrahmi dengan sahabat-sahabat lama.
Film dibuka dengan adegan dua sejoli Yusuf (Bisma Karisma) dan Zulaikha (Andania Suri) yang tengah dimabuk cinta namun terkendala oleh batas strata sosial yang telah mengakar sejak lama dan menjadi tradisi keluarga tak terlerai. Keputusan mereka untuk kabur dari rumah masing-masing dengan membawa cinta membara dalam hati, tak pelak membuat kedua pihak keluarga panik luar biasa. Sesse Lawing yang memerankan Paman Zulaikha sangat murka. Dia bertekad mencari sosok lelaki yang membawa lari keponakan tercintanya dihadapan Puang Rabiah (Dewi Irawan), sang kakak yang juga ibu Zulaikha. Dalam adat istiadat orang Bugis-Makassar, terlebih bila terjadi dalam lingkup bangsawan, aksi Silariang merupakan tindakan yang sangat memalukan (mappakasiri’). Dalam hukum adat yang berlaku, lelaki yang membawa lari gadis mereka, menjadi halal darahnya, sebagai “tebusan” untuk menegakkan siri’ dan kehormatan keluarga. Saya pernah teringat kasus yang pernah terjadi dimana pasangan Silariang diusir dari wilayah tempat mereka bermukim seperti kisah ini di Jeneponto .bahkan ada yang lebih fatal sang lelaki yang membawa lari perempuan harus meregang nyawa seperti yang terjadi di Bulukumba 5 tahun silam.
Yusuf dan Zulaikha memutuskan lari ke kawasan Rammang-Rammang dan memutuskan hidup bersama dalam suasana prihatin serta apa adanya. Mereka membangun kehidupan secara sederhana dan jauh dari kemewahan yang telah mereka rasakan saat tinggal bersama keluarga masing-masing di Makassar. Pelarian mereka akhirnya terungkap. Dilema pelik harus mereka hadapi dengan tegar terlebih pada saat yang sama telah hadir buah hati dari hasil cinta tak direstui itu.
Terus terang, menyaksikan film ini tidak hanya berhasil “membetot” kenangan saya “terpelanting” kembali ke masa silam saat melewati masa muda di Makassar hampir 3 dekade silam. Dialek khas yang akrab di telinga serta budaya masyarakat Bugis-Makassar yang begitu kaya, seperti baju bodo’, badik, kain sutera termasuk tentu saja sajian kulinernya seperti barongko’ atau songkolo’ yang menggoyang lidah. Para penonton yang kurang familiar dengan dialek dan aksen yang digunakan sepanjang film ini ikut “tertolong” untuk mudah memahami dengan terjemahan/sub-title di bagian bawah frame adegan.
Para penonton film Silariang juga “dimanjakan” dengan gambar-gambar indah sepanjang film. Ada panorama bukit karst yang memukau, aliran sungai yang jernih, kehijauan hamparan sawah, bangunan artistik khas Bugis Makassar serta rangkaian upacara adat Sulawesi Selatan yang memikat.
Bagi saya, film produksi Inipasti Comunica dan Indonesia Sinema Persada merupakan salah satu film Indonesia yang berhasil merekam keindahan alam dengan sentuhan visual nan eksotis hasil “racikan tangan dingin” Ezra Tampubolon yang pernah menjadi penata artistik Terbaik Festival Film Indonesia 2012 berpadu elegan dengan latar musik yang digarap oleh ciamik oleh Andi Muhammad Ikhlas (penyelia musik) yang lebih dikenal sebagai program & music director Radio Madama Makassar. .
Kemampuan akting para pemeran layak diapresiasi. Bisma Karisma dan Andani Suri tampil gemilang seakan mewakili Generasi Jaman Now yang rela menghadapi resiko kehidupan lebih berat demi memperjuangkan apa yang mereka diyakini. Meski bukan penutur bahasa asli dari Makassar, Bisma, Andani dan Dewi Irawan terlihat natural dalam berkomunikasi walau dalam beberapa scene terlihat agak gugup.
Parade akting yang tak kalah memukau adalah aksi Muhary Wahyu Nurba yang memerankan ayah Yusuf serta Sesse Lawing yang berperan sebagai paman Zulaikha, juga Cipta Perdana sebagai kakak Zulaikha. Watak keras dan disiplin mempertahankan pendapat terlihat jelas dari raut muka, gerak tubuh dan intonasi kalimat mereka secara ekspresif dan penuh penghayatan.
Sutradara Wisnu Adi yang sebelumnya telah menyutradarai film Cerita Dari Tapal Batas dan ‘Miracle: Jatuh Dari Surga’ berhasil “menerjemahkan” dan “mengeksekusi” skenario Oka Aurora, yang pernah menjadi Penulis Skenario Terpuji Festival Film Bandung 2014 ke dalam layar perak. Salah satu yang membuat saya terkesan adalah bagaimana Wisnu mengarahkan Bisma dan Andani sebagai pasangan muda yang labil menyelesaikan konflik diantara mereka ketika situasi tidak kondusif melanda serta perdebatan sengit Yusuf dan sang ayah, ketika kedua orang tuanya tersebut datang mengunjungi tempat persembunyian mereka di Rammang-Rammang.
Walau tema tentang “Cinta Tak Direstui” ini terasa klise karena kerap diangkat dalam sejumlah film Indonesia, namun bagi saya “Silariang” berhasil mengemas tema ini lewat sebuah tontonan apik penuh inspirasi dengan mengangkat budaya lokal Sulawesi Selatan. Walaupun mungkin saat ini aksi pengingkaran atas tradisi lewat Silariang sudah jarang terjadi di Sulawesi Selatan namun setidaknya film ini telah memberikan gambaran bagaimana tradisi tersebut mengakar dalam sebuah kesadaran kolektif masyarakat dan mengajarkan kita tentang bagaimana konsekuensi yang harus ditempuh saat komitmen itu dilanggar.
Pada bagian lain, film ini menggugah kita untuk memahami betapa cinta adalah “bahasa” hati yang universal, melampaui dinding strata sosial dan menjadi hak kemanusiaan yang hakiki. Film “Silariang” seakan mengajak kita “pulang” mencintai budaya lokal yang kian tergerus oleh trend budaya global serta pada saat yang sama mengajak kita untuk mencintai pesona keindahan alam di negeri sendiri yang tak kalah dengan negara lain.
Akhirnya, salut dan sukses atas film “Silariang-Cinta yang Tak Direstui” !
Belum sempat nonton….jadi kangen kampung halaman