Langit senja menggantung lesu di atas kota yang mulai lelah. Lampu-lampu jalan menyala satu per satu, membentuk jejak cahaya yang samar. Di bawahnya, seorang pemuda berjaket lusuh berdiri diam di depan gerbang besar sebuah rumah megah, menatap tembok tinggi dan pagar besi yang selama ini menjadi batas antara dirinya dan seseorang yang ia cintai: Ayunda.
Raka, nama pemuda itu. Usianya dua puluh lima, bekerja sebagai teknisi listrik freelance. Ia tinggal bersama ibunya di rumah kecil peninggalan ayahnya di pinggiran kota. Hidupnya sederhana, kadang bahkan kekurangan, tapi ada semangat dalam dirinya yang tak pernah padam. Dan di tengah kehidupan yang tak mudah itu, ia bertemu Ayunda—seseorang yang hidupnya seolah datang dari dunia yang tak pernah ia pijak.
Pertemuan mereka sangat biasa—di halte bus yang sama, saat hujan turun tiba-tiba. Raka meminjamkan payungnya. Ayunda menolak awalnya, tapi senyum hangat Raka sulit ditolak. Sejak saat itu, mereka sering bertemu di halte yang sama, lalu berlanjut dengan obrolan ringan, kopi di warung pinggir jalan, lalu saling tukar cerita.
Ayunda berbeda. Anak perempuan dari pengusaha properti besar, tinggal di rumah tiga lantai, kuliah di universitas swasta ternama, dan sering bepergian ke luar negeri. Tapi saat bersama Raka, ia seperti menjelma jadi gadis sederhana yang tak terbebani dunia. Mereka tertawa di atas motor Raka yang knalpotnya berisik, makan siomay pinggir jalan, dan bicara soal hidup tanpa topeng.
Raka jatuh cinta. Tapi ia tahu dunia Ayunda penuh dengan ekspektasi, rencana, dan garis hidup yang sudah digambar sejak lama oleh keluarganya. Dan benar saja, saat hubungan mereka mulai serius, badai datang.
Ayah Ayunda mengetahui hubungan itu, dan tanpa basa-basi, mengirim seseorang untuk menemui Raka—memberikan cek kosong, menyuruhnya menjauh.
“Aku tahu kamu bukan orang jahat,” kata pria utusan itu. “Tapi kamu bukan orang yang tepat. Kalau kamu cinta Ayunda, kamu akan melepaskannya demi kebaikannya.”
Raka tak menjawab. Ia hanya menatap cek itu, lalu merobeknya dan pergi.
Malam itu, Ayunda datang ke rumahnya. Wajahnya lelah, matanya sembab. “Ayahku mengancam mengirimku ke luar negeri. Dia bilang aku harus memilih antara keluarga atau… kamu.”
Raka menggenggam tangannya erat. “Kalau kamu harus memilih, jangan pilih aku. Tapi kalau kamu mencintaiku, tidak akan ada yang bisa membuatmu berhenti.”
Ayunda menangis dalam pelukan Raka. Tapi seminggu kemudian, ia benar-benar pergi. Pindah kuliah ke Singapura. Tak ada pesan perpisahan, hanya kabar samar dari teman-teman.
Hari-hari Raka setelah itu menjadi kosong. Ia kembali pada rutinitas membetulkan kabel, mengganti saklar, memanjat tiang listrik. Tapi tidak ada yang benar-benar kembali seperti dulu. Ayunda tetap tinggal di sudut hatinya, tak tergantikan.
Tiga tahun berlalu.
Pada suatu sore yang basah, Raka menerima telepon dari nomor tak dikenal. Suaranya lembut tapi sedikit bergetar.
“Raka?”
Ia terdiam. Suara itu masih sama. Ia bisa menutup mata dan tahu itu Ayunda.
“Aku pulang. Aku ingin bertemu, di halte yang dulu.”

Sore itu, Raka pergi dengan jaket yang sama, motor yang sudah lebih tua dan berisik dari sebelumnya, dan hati yang penuh pertanyaan.
Ayunda sudah menunggu di sana, di bawah langit kelabu yang seperti tiga tahun lalu. Wajahnya lebih dewasa, tapi senyumnya masih sama.
“Aku sudah lelah hidup untuk orang lain,” katanya. “Aku ingin hidup sebagai diriku sendiri. Dan aku ingin tahu… apakah kamu masih di sini, untukku?”
Raka hanya tersenyum. Ia meraih tangan Ayunda perlahan, hangatnya masih sama.
“Aku tidak pernah pergi, Yunda. Hatiku masih di halte ini, menunggumu.”
Di tengah hiruk-pikuk kota yang tak peduli, dua orang dari dua dunia berbeda kembali menyatu. Bukan karena dunia sudah memberi restu, tapi karena mereka akhirnya berani memilih untuk menulis kisah sendiri—meski harus menentang peta yang diwariskan.
Related Posts
Lelaki itu menghirup cappuccinonya.
Menyesap segala rasa yang menyertai dengan perih menusuk dada.
Ia lalu melirik jam tangannya. Sudah 2 jam lebih dia di Cafe tersebut. Sambil menghela nafas panjang ia melihat ...
Posting Terkait
Dia tahu.
Tapi tak benar-benar tahu bagaimana sesungguhnya cara menata hati dari kisah cintanya yang hancur lebur dan lenyap bersama angin.
Dia tidak sok tahu.
Hanya berusaha memahami.
Bahwa luka oleh cinta bisa dibasuh ...
Posting Terkait
"Ini untuk dia, yang pergi membawa kelam dihatinya," suara perempuan itu bergetar di ujung telepon. Aku menggigit bibir seraya menatap Sonny, sang operator lagu pasanganku, yang balas menatapku dengan senyum ...
Posting Terkait
Inspirasi foto : Suasana Sunset di Pantai Losari Makassar, karya Arfah Aksa Dji Sam Soe Potret Mahakarya Indonesia
ada sampan yang sendiri.
Terdampar di sisi pantai Losari yang sunyi. Kita menyaksikan rona ...
Posting Terkait
Konon, katamu, secara zodiak kita berjodoh.
Aku berbintang Aries, Kamu Sagitarius.
Persis seperti nama depan kita : Aku Aries dan Kamu Sagita.
Cocok. Klop. Pas.
Kamu lalu mengajukan sejumlah teori-teori ilmu astrologi yang konon ...
Posting Terkait
erempuan Wangi Bunga itu mengerjapkan mata, ia lalu membaca kembali baris-baris kalimat pada emailnya yang sudah siap dikirim ditemani lantunan lagu "Takdir Cinta" yang dinyanyikan oleh Rossa. Hatinya mendadak bimbang. ...
Posting Terkait
Jakarta, 2030, sebuah teras café
Lelaki tua itu tersenyum samar. Dipandangnya perempuan seusia dengannya yang duduk tepat dihadapannya dengan tatap takjub.
“Kamu tak banyak berubah, walau umur telah menggerogoti tubuh kita. Kamu ...
Posting Terkait
Hujan November selalu membawa kenangan. Sally berdiri di tepi jendela apartemennya yang kecil, memandang kota yang berkilauan basah di bawah lampu-lampu jalan. Lima tahun sudah berlalu, tapi kadang rasanya seperti ...
Posting Terkait
My Momma always said:
Life was like a box of chocholates
You never know
What you're gonna get
-Tom Hanks, Forrest Gump,1994
Saskia tersenyum tipis setelah membaca sekilas potongan kutipan ungkapan yang ditulis diatas sebuah ...
Posting Terkait
Rintik gerimis senja selalu membawa lamunanku padamu. Ketika irisan-irisan air itu jatuh dari langit, kau akan senantiasa memandangnya takjub dari balik buram kaca jendela. Menikmatinya. Meresapinya. Tak berkedip.
"Menikmati gerimis senja ...
Posting Terkait
ita selalu nyata dalam maya.
Selalu ada dalam ketiadaan. Selalu hadir dalam setiap ilusi. Begitu katamu. Selalu.
Entahlah, terkadang aku tak pernah bisa memahami makna kalimatmu. Absurd. Aneh. Juga misterius. Bagaimanapun kamu ...
Posting Terkait
Pada akhirnya, katamu, cinta akan berhenti pada sebuah titik stagnan. Diam. Walau semua semesta bersekutu menggerakkannya. Sekuat mungkin. Cinta akan beredar pada tepian takdirnya. Pada sesuatu yang telah begitu kuat ...
Posting Terkait
Hai Perempuan Bermahligai Rembulan,
Apa kabarmu?
Cuaca di awal bulan Oktober ini sungguh sangat tak terduga. Seharusnya--menurut ramalan meteorologi-- hujan akan turun membasahi bumi, dan awal bencana banjir akan tiba. Tapi ternyata ...
Posting Terkait
amu selalu bercakap bagaimana sesungguhnya cinta itu dimaknai.
Pada sebuah sudut cafe yang redup dengan dendang suara Live Music terdengar pelan seraya memandang rimbun asap rokok menyelimuti hampir setengah dari ruangan, ...
Posting Terkait
Ia, lelaki yang berdiri pada petang temaram selalu membasuh setiap waktu yang berlalu bergegas dengan rindu yang basah pada perempuan kilau rembulan, jauh disana. Ditorehkannya noktah-noktah kangen itu pada setiap ...
Posting Terkait
alam banyak hal perempuan itu selalu merasa kalah. Sangat telak. Terutama oleh cinta.
Pada bayangan rembulan di beranda, ia menangis. Menyaksikan cahaya lembut sang dewi malam itu menerpa dedaunan, menyelusup, lalu ...
Posting Terkait
NARSIS (3) : PEREMPUAN YANG MENGHILANG DI BALIK
NARSIS (16) : BISIKAN HATI , PADA LANGIT
NARSIS (8) : TENTANG DIA, YANG PERGI MEMBAWA
NARSIS (2) : BINTANG DI LANGIT HATI
NARSIS (5) : TAKDIR CINTA
NARSIS (13) : ASMARA, SUATU KETIKA..
NARSIS : Ketika Sally Memilih Sendiri
NARSIS (10) : KESEMPATAN KEDUA
NARSIS (11) : KINANTI MENANTI JANJI
NARSIS (18) : SEMESTA KANGEN, DI BRAGA
NARSIS (15) : JARAK RINDU
Protected: NARSIS (9) : UNTUK PEREMPUAN BERMAHLIGAI REMBULAN
NARSIS (17) : SEUSAI HUJAN REDA
NARSIS (12) : BALADA LELAKI PETANG TEMARAM DAN
NARSIS (19) : ZIARAH PADA KELAM KENANGAN