Manusia Baja di Persimpangan Moral: Cermin Konflik Timur Tengah dalam Narasi Superman
“People on social media are suspicious because you are an alien,” kata Lois Lane dalam film Superman (2025) karya James Gunn, memantik refleksi mendalam tentang ketakutan terhadap yang berbeda, xenofobia, dan bagaimana persepsi tentang “yang lain” membentuk narasi kemanusiaan di era modern.
Film Superman terbaru ini tidak hadir dalam ruang hampa. Dirilis di tengah tragedi kemanusiaan yang terus bergulir di Gaza, di mana 55.637 warga Palestina telah tewas sejak 7 Oktober 2023 menurut laporan UNRWA terbaru , angka yang menggambarkan magnitude penderitaan manusia yang sulit dibayangkan. Dalam konteks ini, kisah Superman—seorang pengungsi alien yang harus belajar menjadi manusia—memperoleh resonansi yang menggetarkan jiwa.
James Gunn, yang menyelesaikan 99 persen naskah film pada Desember 2023, telah menciptakan sebuah karya yang secara tidak langsung berbicara kepada zaman kita.
Dalam plot film yang menghadirkan Superman menghentikan invasi militer negara sekutu AS, Boravia, terhadap tetangganya yang lebih miskin, Jarhanpur , kita melihat cermin dari dinamika geopolitik yang sangat akrab: kekuatan yang tidak seimbang, intervensi militer, dan penderitaan sipil yang menjadi korban. Dalam konteks krisis kemanusiaan yang tengah melanda Gaza, di mana 1,9 juta warga Palestina atau 90% populasi diperkirakan mengungsi , cerita tentang seseorang yang kehilangan planet asalnya dan harus membangun identitas baru memiliki kekuatan emosional yang luar biasa.
Ketika kita menyaksikan Superman bergulat dengan identitasnya sebagai Kryptonian yang tumbuh sebagai manusia Kansas, sulit untuk tidak memikirkan anak-anak Gaza yang tumbuh di tengah reruntuhan, yang harus membentuk identitas mereka di antara kehancuran dan harapan. Mereka adalah generasi yang lahir dari konflik, namun tetap bermimpi tentang masa depan yang lebih baik.
Seperti Superman yang belajar menggunakan kekuatannya untuk kebaikan, anak-anak ini memiliki potensi untuk menjadi jembatan perdamaian jika dunia memberi mereka kesempatan.
Kerentanan ini membuat karakternya lebih manusiawi, lebih dapat dipahami dalam konteks krisis kemanusiaan yang kita saksikan setiap hari. Seperti para pekerja kemanusiaan yang bekerja di Gaza, Superman dalam versi Gunn adalah pahlawan yang merasakan beban tanggung jawab moral, yang tahu bahwa setiap keputusan yang diambilnya memiliki konsekuensi bagi kehidupan manusia.

Dalam realitas yang pahit, di mana 2,1 juta orang di Gaza menghadapi tingkat kerawanan pangan akut yang tinggi, dengan setengah juta orang menghadapi kelaparan, film Superman mengajukan pertanyaan fundamental: apakah kita memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi yang tidak berdaya? Apakah kekuatan—baik itu kekuatan super atau kekuatan politik dan ekonomi—membawa serta kewajiban untuk bertindak ketika menyaksikan penderitaan?
Simbolisme kostum Superman pun memperoleh makna baru. “S” di dadanya yang melambangkan harapan dalam bahasa Kryptonian menjadi simbol universal yang melampaui batas-batas budaya, agama, dan politik.
Dalam konteks Timur Tengah yang penuh dengan simbol-simbol yang memecah belah, Superman menawarkan visi tentang simbol yang menyatukan—simbol harapan yang dapat dipahami oleh seorang anak Palestina di Khan Yunis maupun seorang anak Israel di Tel Aviv.
Fenomena budaya populer yang menggunakan platform film untuk merefleksikan isu-isu sosial kontemporer bukanlah hal baru. Namun film Superman karya Gunn melakukannya dengan cara yang lebih halus dan mendalam.
Alih-alih menggunakan pendekatan yang eksplisit dan berpotensi polarisasi, film ini menggunakan metafora dan alegori untuk mengeksplorasi tema-tema universal tentang kemanusiaan, pengungsi, dan tanggung jawab moral.
Ketika Superman berjuang dengan identitasnya sebagai alien di dunia manusia, kita melihat cermin dari perjuangan setiap pengungsi dan korban konflik yang harus membangun kembali hidup mereka di lingkungan baru.

Mereka membawa trauma masa lalu sambil berusaha beradaptasi dengan realitas baru, mencari tempat di mana mereka dapat merasa aman dan diterima. Perjuangan ini tidak hanya fisik, tetapi juga psikologis dan spiritual.
Film ini juga menantang audiens untuk mempertanyakan asumsi mereka tentang “yang lain.” Dalam era di mana media sosial sering menjadi ruang gema yang memperkuat prasangka, Superman menghadirkan narasi yang mengundang empati. Ketika Lois Lane menyebutkan kecurigaan publik terhadap Superman karena dia adalah alien, kita diingatkan bagaimana mudahnya ketakutan dan prasangka membentuk persepsi publik terhadap mereka yang berbeda.
Dimensi moral dari film ini menjadi semakin kompleks ketika kita mempertimbangkan konteks produksinya. Gunn menulis dan memproduksi film ini di tengah gejolak konflik Gaza-Israel yang menewaskan puluhan ribu orang.
Pilihan untuk menciptakan narasi tentang Superman yang menghentikan invasi militer bukanlah kebetulan. Ini adalah pernyataan artistik yang berani tentang penggunaan kekuatan dan tanggung jawab moral untuk melindungi yang tidak berdaya.
Dalam dunia nyata, tidak ada Superman yang dapat menghentikan rudal atau menyembuhkan luka trauma perang dalam sekejap. Namun film ini mengingatkan kita bahwa kekuatan sebenarnya terletak pada kemanusiaan kita—kemampuan untuk merasakan empati, untuk memilih kebaikan ketimbang kekerasan, dan untuk melihat kemanusiaan dalam setiap orang, terlepas dari latar belakang mereka.
Ketika jutaan orang di seluruh dunia menonton film Superman, mereka tidak hanya menyaksikan pertunjukan aksi spektakuler. Mereka mengalami sebuah refleksi mendalam tentang nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Mereka diundang untuk mempertanyakan bagaimana mereka akan menggunakan kekuatan mereka sendiri—baik itu kekuatan suara mereka, kekuatan pilihan mereka, atau kekuatan tindakan mereka—untuk menciptakan dunia yang lebih baik.
Superman dalam versi Gunn tidak hanya menjadi pahlawan yang menyelamatkan dunia dari ancaman fisik, tetapi juga sebagai simbol harapan bagi mereka yang telah kehilangan segalanya.
Bagi anak-anak Gaza yang tumbuh di tengah reruntuhan, bagi keluarga yang kehilangan orang terkasih, dan bagi semua orang yang berjuang untuk mempertahankan kemanusiaan mereka di tengah konflik, Superman menjadi pengingat bahwa kebaikan masih mungkin, bahwa harapan masih ada, dan bahwa masa depan yang lebih baik masih dapat diwujudkan.
Film ini mengajarkan kita bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada kemampuan untuk menghancurkan, tetapi pada kemampuan untuk menyembuhkan, untuk membangun jembatan, dan untuk melihat kemanusiaan dalam setiap individu. Dalam dunia yang sering kali terasa terpecah belah, Superman mengingatkan kita bahwa kita semua berbagi planet yang sama, bernapas dengan udara yang sama, dan bermimpi tentang masa depan yang lebih baik untuk anak-anak kita.
“The ‘S’ on my chest doesn’t stand for Superman. It stands for hope,” kata Clark Kent dalam salah satu versi klasik karakter ini. Dalam konteks krisis kemanusiaan yang terus berlangsung di Timur Tengah, harapan itu menjadi lebih dari sekadar slogan—ia menjadi kebutuhan eksistensial, cahaya yang memandu kita menemukan jalan keluar dari kegelapan konflik menuju masa depan yang lebih cerah bagi semua anak-anak planet ini.