Dari Ruang Kelas ke Sawah Nusantara: Guru Sebagai Arsitek Swasembada Pangan
Hari Guru Nasional 2025 yang mengusung tema “Guru Hebat, Indonesia Kuat” terasa semakin bermakna ketika kita melihat bagaimana pendidikan dan ketahanan pangan menjadi dua pilar utama pembangunan nasional. Keduanya saling terkait erat, seperti akar dan batang dari pohon yang sama. Dan di tengah gencarnya program swasembada pangan yang diluncurkan pemerintah, peran guru dalam menanamkan jiwa pertanian dan kesadaran pangan kepada generasi muda menjadi semakin krusial.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman tengah memimpin gerakan luar biasa untuk mengembalikan Indonesia pada kejayaan swasembada pangan. Indonesia diproyeksikan mencapai swasembada beras pada akhir Desember 2025, dengan produksi beras yang diperkirakan mencapai 34,77 juta ton atau meningkat 13,54 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Program ambisius ini tidak hanya tentang angka produksi, tetapi tentang martabat bangsa yang mampu memberi makan rakyatnya sendiri.
Namun, gerakan swasembada ini menghadapi tantangan yang tidak ringan. Data Badan Pusat Statistik dari Sensus Pertanian 2023 menunjukkan bahwa petani milenial yang berumur 19-39 tahun hanya sekitar 6,18 juta orang atau 21,93 persen dari total petani di Indonesia. Lebih memprihatinkan lagi, kelompok usia produktif petani berusia 25-44 tahun pada 2023 hanya sekitar 32,32 persen, sementara petani berusia 55-64 tahun justru meningkat menjadi 23,20 persen dalam dekade terakhir.
Angka-angka ini menceritakan kisah yang menyedihkan: anak-anak muda kita tidak lagi tertarik bercocok tanam. Mereka melihat sawah sebagai simbol kemiskinan, bukan peluang. Mereka memandang cangkul sebagai beban, bukan alat pemberdaya. Dan di sinilah peran guru menjadi sangat penting sebagai jembatan antara masa lalu agraris kita dan masa depan digital yang sedang kita jalani.
Bayangkan seorang guru di pelosok Kalimantan Selatan yang mengajarkan murid-muridnya tentang pentingnya pertanian sambil menunjukkan bagaimana Menteri Pertanian sendiri pada November 2024 turun langsung mengoptimalkan lahan rawa seluas 1.550 hektare di daerah mereka.
Atau guru matematika di Jawa yang menjelaskan perhitungan produktivitas pangan dengan mengaitkannya pada program pemerintah untuk mencetak sawah baru dengan target 750 ribu hektare per tahun mulai 2025 hingga 2027. Inilah pendidikan yang hidup, yang relevan, yang bermakna.
Tantangan terbesar di era digital dan globalisasi adalah mengubah cara pandang generasi muda terhadap pertanian. Dalam era digital saat ini, banyak generasi muda cenderung beralih ke profesi yang menawarkan penghasilan lebih besar dengan pengeluaran tenaga fisik yang lebih sedikit.
Persaingan dengan produk impor yang lebih murah, ketergantungan pada pasar global yang fluktuatif, dan minimnya akses teknologi pertanian modern di daerah terpencil menjadi hambatan nyata yang harus dihadapi.
Di sisi lain, globalisasi membawa peluang besar melalui transfer teknologi dan pengetahuan. Teknologi modern dalam bidang pertanian seperti mekanisasi, irigasi presisi, dan bioteknologi menjadi lebih mudah diakses.
Penggunaan sensor tanah, sistem informasi geografis, bahkan kecerdasan buatan dalam pertanian bukan lagi mimpi. Namun, siapa yang akan mengajarkan petani kita memanfaatkan teknologi ini? Siapa yang akan menjembatani kesenjangan digital antara sawah tradisional dan pertanian modern berbasis data?
Jawabannya ada di tangan guru. Guru harus berinovasi dalam pembelajaran dan menguasai keterampilan digital agar dapat mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran pertanian. Tidak semua sekolah di daerah terpencil memiliki akses teknologi yang memadai, dan tidak semua guru memiliki keterampilan digital yang cukup. Namun, inilah saatnya transformasi itu dimulai.
Kementerian Pertanian telah memahami pentingnya regenerasi petani dengan meluncurkan Program Duta Petani Milenial yang menargetkan 2,5 juta petani muda hingga 2024, didukung program lain seperti Duta Petani Andalan, Penerapan Digitalisasi Pertanian, dan Penumbuhan Wirausaha Muda Pertanian. Pemerintah bahkan menyiapkan dukungan dana permodalan sebesar 30 triliun rupiah untuk program Petani Milenial. Namun tanpa pendidikan yang memadai sejak dini, program sebesar apapun akan kesulitan menjangkau hati generasi muda.
Solusinya harus holistik dan dimulai dari pendidikan dasar. Pertama, guru harus mengintegrasikan pendidikan pertanian dalam kurikulum dengan cara yang menarik dan relevan bagi generasi digital. Pelajaran biologi bukan hanya tentang fotosintesis di buku teks, tetapi tentang bagaimana proses itu bisa ditingkatkan dengan teknologi hidroponik. Pelajaran geografi bukan hanya tentang peta, tetapi tentang bagaimana sistem informasi geografis membantu petani memilih lahan terbaik.
Kedua, sekolah-sekolah perlu membangun kebun pembelajaran atau laboratorium pertanian modern di mana siswa dapat melihat langsung bagaimana teknologi mengubah wajah pertanian. Program magang siswa ke lahan-lahan pertanian yang sudah menggunakan teknologi modern juga akan membuka mata mereka bahwa bertani bukan lagi pekerjaan yang memeras keringat tanpa hasil, tetapi bisnis yang menguntungkan dengan bantuan teknologi.
Ketiga, guru sendiri membutuhkan pelatihan berkelanjutan tentang teknologi pertanian dan kewirausahaan agribisnis. Kementerian Pendidikan telah meluncurkan program peningkatan kompetensi guru yang tidak hanya mencakup aspek akademik dan pedagogik, tetapi juga kewirausahaan dan kepemimpinan. Ini adalah langkah yang tepat dan harus diperluas khususnya untuk guru-guru di daerah pertanian.
Keempat, menciptakan ekosistem digital pertanian yang menghubungkan sekolah, petani, dan pasar. Platform digital dapat memfasilitasi siswa untuk belajar langsung dari petani sukses, melihat bagaimana produk pertanian dipasarkan secara online, dan memahami seluruh rantai nilai dari benih hingga piring konsumen. Dengan cara ini, pertanian tidak lagi dipandang sebagai pekerjaan isolatif, tetapi sebagai bagian dari ekosistem bisnis yang modern dan terhubung.
Kelima, menghapus stigma negatif tentang pertanian melalui kampanye nasional yang melibatkan guru sebagai duta. Cerita sukses petani milenial yang menghasilkan puluhan juta rupiah per bulan dengan teknologi modern harus sampai ke ruang-ruang kelas. Guru-guru inspiratif yang memanfaatkan teknologi dan media sosial dalam pembelajaran menunjukkan bahwa pendidikan bisa beradaptasi dengan zaman. Hal yang sama bisa dilakukan untuk pendidikan pertanian.
Program Brigade Pangan yang diluncurkan pemerintah dengan melibatkan ribuan generasi muda untuk mengelola lahan pertanian adalah contoh nyata bagaimana pendekatan modern bisa menarik minat anak muda.
Ketika lebih dari 1.000 milenial turun langsung dalam program cetak sawah di Kalimantan Selatan, itu membuktikan bahwa dengan pendekatan yang tepat, generasi muda masih mau terjun ke sektor pertanian.
Kolaborasi antara Kementerian Pertanian dan TNI Angkatan Darat, serta kerjasama dengan Kementerian PU untuk optimalisasi irigasi dan infrastruktur menunjukkan keseriusan pemerintah. Anggaran Kementerian Pertanian pun meningkat dari 6,9 triliun rupiah menjadi 29 triliun rupiah untuk mendukung berbagai program strategis. Namun, ini semua akan lebih bermakna jika pendidikan formal sejak dini sudah menanamkan kecintaan pada pertanian.
Kita pernah mencapai swasembada pangan empat kali dalam sejarah. Ini bukan mimpi yang mustahil. Dengan dukungan teknologi yang ada sekarang, dengan anggaran yang sudah dialokasikan, dengan program-program yang sudah dirancang matang, yang kita butuhkan adalah perubahan paradigma. Dan perubahan paradigma dimulai dari pendidikan, dimulai dari guru, dimulai dari ruang kelas.
Seorang guru yang mengajarkan muridnya tentang kehormatan memberi makan bangsanya sendiri, tentang kebanggaan mengolah tanah air sendiri, tentang potensi ekonomi dari pertanian modern, adalah guru yang sedang menanam benih swasembada.
Seorang guru yang menunjukkan bahwa teknologi dan tradisi bisa berjalan beriringan, bahwa pertanian bisa menjadi solusi kemiskinan bukan penyebabnya, adalah guru yang sedang membangun Indonesia kuat dari fondasi yang paling dasar.
Di era digital yang serba cepat ini, ketika anak-anak lebih akrab dengan gawai daripada cangkul, peran guru menjadi semakin vital sebagai penerjemah antara dua dunia. Mereka harus bisa menunjukkan bahwa pertanian modern itu keren, menguntungkan, dan mulia.
Bahwa teknologi bukan musuh tradisi, tetapi alat untuk meningkatkan hasil sambil menghormati alam. Bahwa swasembada bukan hanya tentang angka produksi, tetapi tentang kemerdekaan sejati dari ketergantungan pangan kepada negara lain.
Maka, ketika kita merayakan Hari Guru Nasional 25 November 2025 ini, mari kita menghargai bukan hanya mereka yang mengajarkan matematika, bahasa, atau sains, tetapi juga mereka yang menanamkan nilai-nilai pertanian dan ketahanan pangan kepada generasi muda.
Mari kita dukung guru-guru yang berada di garda depan transformasi pendidikan pertanian, yang dengan keterbatasan fasilitas tetap berjuang mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran, yang dengan segala kesulitan tetap berusaha membuat pertanian menarik di mata generasi digital.
Swasembada pangan bukan hanya tanggung jawab Kementerian Pertanian. Ia adalah tanggung jawab kita bersama, termasuk setiap guru yang berdiri di depan kelas. Karena setiap benih pengetahuan yang ditanam hari ini tentang pentingnya pertanian, tentang kebanggaan mengolah tanah sendiri, tentang potensi ekonomi sektor pertanian, akan tumbuh menjadi pohon besar bernama ketahanan pangan di masa depan.
Indonesia dengan kekayaan alamnya yang luar biasa, dengan 1,3 juta hektare sawah baru yang akan dicetak, dengan ribuan mesin pertanian modern yang akan didistribusikan, dengan puluhan triliun rupiah yang dialokasikan untuk program pertanian, sesungguhnya sudah memiliki semua sumber daya untuk mencapai swasembada. Yang kita butuhkan adalah manusia-manusia yang mencintai tanah ini dan mau mengolahnya. Dan manusia-manusia tersebut dibentuk oleh guru-guru hebat di seluruh nusantara.
Maka biarlah tema Hari Guru Nasional 2025, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”, menjadi pengingat bahwa kekuatan Indonesia dimulai dari pendidikan, dan ketahanan pangan Indonesia dimulai dari ruang kelas. Ketika guru-guru kita hebat dalam menanamkan kesadaran pangan dan jiwa pertanian, ketika mereka berhasil membuat generasi muda jatuh cinta pada tanah dan tumbuhan, ketika mereka mampu menunjukkan bahwa pertanian modern adalah jalan menuju kesejahteraan, maka Indonesia yang kuat, yang berdaulat secara pangan, yang tidak lagi bergantung pada impor, bukan lagi mimpi belaka.
Di tangan para guru, di ruang-ruang kelas yang tersebar dari pegunungan Papua hingga pesisir Aceh, masa depan pangan Indonesia sedang dibentuk. Setiap pelajaran yang mereka berikan hari ini adalah investasi untuk swasembada besok. Setiap nilai yang mereka tanamkan tentang kehormatan bertani adalah benih kemandirian pangan bangsa. Dan setiap murid yang mereka inspirasi untuk mencintai pertanian adalah harapan bagi ketahanan pangan Indonesia.
Mari kita hormati para guru yang sedang berjuang di garis depan pendidikan, yang dengan dedikasi luar biasa membentuk karakter dan membuka wawasan generasi penerus.
Mari kita dukung mereka dengan fasilitas, pelatihan, dan penghargaan yang layak. Karena guru hebat bukan hanya membuat Indonesia kuat dalam pendidikan, tetapi juga dalam ketahanan pangan, dalam kemandirian ekonomi, dalam martabat sebagai bangsa.
SELAMAT HARI GURU NASIONAL !