Catatan Dari Hati

(Narsis) Pergi Tanpa Benci, Pulang Tanpa Janji

Di ujung senja yang menguning, aku berdiri di peron kecil stasiun yang tak pernah benar-benar ramai.

Angin mengusik rambutku, seperti ingin menahan langkah yang sejak tadi kupaksa agar tak goyah. Di tanganku, hanya ada tas lusuh dan sisa keberanian yang kupungut dari reruntuhan hati.

“Sudahlah,” bisikku pada diriku sendiri, kata yang sejak berhari-hari bergema di kepala.

Bukan sebagai tanda kalah, tapi sebagai cara terakhir untuk tetap utuh.

Aku teringat wajahmu di sore itu, ketika kita duduk berhadapan tanpa lagi tahu harus berkata apa. Mata kita saling mencari, namun yang ditemukan hanya jarak.

Cinta yang dulu hangat kini seperti bara yang kehabisan napas. Kita masih bertahan, tapi bukan karena bahagia, melainkan karena takut kehilangan.

Aku pun lelah menjadi orang yang selalu mengerti, selalu menunggu, selalu berharap kau berubah. Padahal, harapan yang dipelihara sendirian hanya akan tumbuh menjadi luka.

Langkah kakiku terasa berat saat meninggalkan rumah yang pernah kusebut “kita”.

Setiap sudutnya menyimpan tawa, juga air mata yang tak sempat kering. Di ambang pintu, aku sempat menoleh, berharap ada suaramu memanggil, menahan, atau sekadar mengakui bahwa aku berarti.

Tapi yang menyambutku hanya sunyi.

Kereta datang dengan deru panjang, seperti helaan napas raksasa yang siap menelan segala kenangan.

Aku naik, duduk di dekat jendela, dan melihat kota perlahan menjauh. Lampu-lampu berkelebat, seperti potongan ingatan yang tak sempat kugenggam.

Aku pergi bukan karena tak cinta. Justru karena cinta itulah aku memilih pergi. Sebab ada saatnya bertahan hanya akan mengikis diri, dan melepaskan menjadi satu-satunya cara untuk menyelamatkan hati yang tersisa.

Di dalam kereta yang melaju ke entah, air mataku jatuh tanpa suara. Bukan tangis meminta kau kembali, tapi tangis perpisahan dengan mimpi yang pernah kita bangun bersama.

Aku belajar bahwa tidak semua cerita harus berakhir bahagia untuk menjadi berarti.

Malam kian pekat. Aku menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil pada bayanganku di kaca jendela. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa sedikit lebih ringan.

“Sudahlah,” kataku lagi, kali ini dengan nada yang lebih tenang. “Aku pergi.”

Dan di antara gemuruh roda besi dan gelap yang merangkul, aku tahu: kepergian ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan baru, untuk menemukan kembali diriku, yang sempat hilang saat terlalu mencintaimu.

 

Related Posts
NARSIS (6) : TENTANG CINTA, PADA TIADA
Dia, yang menurutmu tak pernah bisa kamu mengerti, adalah dia yang kamu cinta. “Jadi apakah itu berarti, kamu membencinya?” tanyaku penuh selidik suatu ketika. “Ya, aku menyukai dan membencinya sekaligus, dalam sebuah ...
Posting Terkait
NARSIS (16) : BISIKAN HATI , PADA LANGIT PETANG HARI
Dia tahu. Tapi tak benar-benar tahu bagaimana sesungguhnya cara menata hati dari kisah cintanya yang hancur lebur dan lenyap bersama angin. Dia tidak sok tahu. Hanya berusaha memahami. Bahwa luka oleh cinta bisa dibasuh ...
Posting Terkait
NARSIS (8) : TENTANG DIA, YANG PERGI MEMBAWA KELAM DIHATINYA
"Ini untuk dia, yang pergi membawa kelam dihatinya," suara perempuan itu bergetar di ujung telepon. Aku menggigit bibir seraya menatap Sonny, sang operator lagu pasanganku, yang balas menatapku dengan senyum ...
Posting Terkait
NARSIS (19) : ZIARAH PADA KELAM KENANGAN
alam banyak hal perempuan itu selalu merasa kalah.  Sangat telak. Terutama oleh cinta. Pada bayangan rembulan di beranda, ia menangis. Menyaksikan cahaya lembut sang dewi malam itu menerpa dedaunan, menyelusup, lalu ...
Posting Terkait
NARSIS (17) : SEUSAI HUJAN REDA
  amu selalu bercakap bagaimana sesungguhnya cinta itu dimaknai. Pada sebuah sudut cafe yang redup dengan dendang suara Live Music terdengar pelan seraya memandang rimbun asap rokok menyelimuti hampir setengah dari ruangan, ...
Posting Terkait
NARSIS (12) : BALADA LELAKI PETANG TEMARAM DAN PEREMPUAN KILAU REMBULAN
Ia, lelaki yang berdiri pada petang temaram selalu membasuh setiap waktu yang berlalu bergegas dengan rindu yang basah pada perempuan kilau rembulan, jauh disana. Ditorehkannya noktah-noktah kangen itu pada setiap ...
Posting Terkait
NARSIS : Ketika Sally Memilih Sendiri
Hujan November selalu membawa kenangan. Sally berdiri di tepi jendela apartemennya yang kecil, memandang kota yang berkilauan basah di bawah lampu-lampu jalan. Lima tahun sudah berlalu, tapi kadang rasanya seperti ...
Posting Terkait
NARSIS (10) : KESEMPATAN KEDUA
My Momma always said: Life was like a box of chocholates You never know What you're gonna get -Tom Hanks, Forrest Gump,1994 Saskia tersenyum tipis setelah membaca sekilas potongan kutipan ungkapan yang ditulis diatas sebuah ...
Posting Terkait
(Narsis) : Bunga yang Tak Pernah Layu
i sebuah kota kecil yang selalu diselimuti embun pagi, tinggal seorang gadis bernama Aluna. Ia dikenal ramah, namun sejak beberapa bulan terakhir, langkahnya terasa berat. Orang-orang menduga ia hanya lelah. Mereka ...
Posting Terkait
NARSIS (2) : BINTANG DI LANGIT HATI
Konon, katamu, secara zodiak kita berjodoh. Aku berbintang Aries, Kamu Sagitarius. Persis seperti nama depan kita : Aku Aries dan Kamu Sagita. Cocok. Klop. Pas. Kamu lalu mengajukan sejumlah teori-teori ilmu astrologi yang konon ...
Posting Terkait
(Narsis) Di Titik yang Tak Kembali
Andi selalu percaya bahwa waktu adalah sesuatu yang tidak bisa dinegosiasikan. Ia berjalan maju tanpa menoleh, tanpa peduli siapa yang tertinggal. Namun sore itu, ketika langit berwarna jingga muda dan ...
Posting Terkait
(NARSIS) Cinta Dari Jendela Seberang
ujan deras mengguyur kota Medan sore itu. Di balik jendela kamarnya yang berkabut, Dira menatap kosong ke arah rumah seberang. Rumah itu gelap, seperti biasa. Sudah tiga tahun Daniel pindah ...
Posting Terkait
NARSIS (1) : MENYAPAMU DI RUANG RINDU
Pengantar : Setelah Saberin (Kisah Bersambung Interaktif) saya mencoba sebuah ekspresimen penulisan lagi yang saya beri nama Narsis atau Narasi Romantis. Tulisan Narsis berupa rangkaian prosa puitis pendek dan (diharapkan) akan ...
Posting Terkait
NARSIS (9) : UNTUK PEREMPUAN BERMAHLIGAI REMBULAN
Hai Perempuan Bermahligai Rembulan, Apa kabarmu? Cuaca di awal bulan Oktober ini sungguh sangat tak terduga. Seharusnya--menurut ramalan meteorologi-- hujan akan turun membasahi bumi, dan awal bencana banjir akan tiba. Tapi ternyata ...
Posting Terkait
NARSIS (7) : BIARKAN AKU MENCINTAIMU DALAM SUNYI
Catatan Pengantar: Narsis kali ini saya angkat dari Cerpen saya yang dimuat (sekaligus menjadi judul utama kumpulan cerpen Blogfam yang diterbitkan Gradien Mediatama tahun 2006 dalam judul "Biarkan Aku Mencintaimu Dalam ...
Posting Terkait
NARSIS (13) : ASMARA, SUATU KETIKA..
Jakarta, 2030, sebuah teras café Lelaki tua itu tersenyum samar. Dipandangnya perempuan seusia dengannya yang duduk tepat dihadapannya dengan tatap takjub. “Kamu tak banyak berubah, walau umur telah menggerogoti tubuh kita. Kamu ...
Posting Terkait
NARSIS (6) : TENTANG CINTA, PADA TIADA
NARSIS (16) : BISIKAN HATI , PADA LANGIT
NARSIS (8) : TENTANG DIA, YANG PERGI MEMBAWA
NARSIS (19) : ZIARAH PADA KELAM KENANGAN
NARSIS (17) : SEUSAI HUJAN REDA
NARSIS (12) : BALADA LELAKI PETANG TEMARAM DAN
NARSIS : Ketika Sally Memilih Sendiri
NARSIS (10) : KESEMPATAN KEDUA
(Narsis) : Bunga yang Tak Pernah Layu
NARSIS (2) : BINTANG DI LANGIT HATI
(Narsis) Di Titik yang Tak Kembali
(NARSIS) Cinta Dari Jendela Seberang
NARSIS (1) : MENYAPAMU DI RUANG RINDU
Protected: NARSIS (9) : UNTUK PEREMPUAN BERMAHLIGAI REMBULAN
NARSIS (7) : BIARKAN AKU MENCINTAIMU DALAM SUNYI
NARSIS (13) : ASMARA, SUATU KETIKA..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *