Di ujung senja yang menguning, aku berdiri di peron kecil stasiun yang tak pernah benar-benar ramai.
Angin mengusik rambutku, seperti ingin menahan langkah yang sejak tadi kupaksa agar tak goyah. Di tanganku, hanya ada tas lusuh dan sisa keberanian yang kupungut dari reruntuhan hati.
“Sudahlah,” bisikku pada diriku sendiri, kata yang sejak berhari-hari bergema di kepala.
Bukan sebagai tanda kalah, tapi sebagai cara terakhir untuk tetap utuh.
Aku teringat wajahmu di sore itu, ketika kita duduk berhadapan tanpa lagi tahu harus berkata apa. Mata kita saling mencari, namun yang ditemukan hanya jarak.
Cinta yang dulu hangat kini seperti bara yang kehabisan napas. Kita masih bertahan, tapi bukan karena bahagia, melainkan karena takut kehilangan.
Aku pun lelah menjadi orang yang selalu mengerti, selalu menunggu, selalu berharap kau berubah. Padahal, harapan yang dipelihara sendirian hanya akan tumbuh menjadi luka.
Langkah kakiku terasa berat saat meninggalkan rumah yang pernah kusebut “kita”.
Setiap sudutnya menyimpan tawa, juga air mata yang tak sempat kering. Di ambang pintu, aku sempat menoleh, berharap ada suaramu memanggil, menahan, atau sekadar mengakui bahwa aku berarti.
Tapi yang menyambutku hanya sunyi.
Kereta datang dengan deru panjang, seperti helaan napas raksasa yang siap menelan segala kenangan.
Aku naik, duduk di dekat jendela, dan melihat kota perlahan menjauh. Lampu-lampu berkelebat, seperti potongan ingatan yang tak sempat kugenggam.
Aku pergi bukan karena tak cinta. Justru karena cinta itulah aku memilih pergi. Sebab ada saatnya bertahan hanya akan mengikis diri, dan melepaskan menjadi satu-satunya cara untuk menyelamatkan hati yang tersisa.
Di dalam kereta yang melaju ke entah, air mataku jatuh tanpa suara. Bukan tangis meminta kau kembali, tapi tangis perpisahan dengan mimpi yang pernah kita bangun bersama.
Aku belajar bahwa tidak semua cerita harus berakhir bahagia untuk menjadi berarti.
Malam kian pekat. Aku menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil pada bayanganku di kaca jendela. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa sedikit lebih ringan.
“Sudahlah,” kataku lagi, kali ini dengan nada yang lebih tenang. “Aku pergi.”
Dan di antara gemuruh roda besi dan gelap yang merangkul, aku tahu: kepergian ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan baru, untuk menemukan kembali diriku, yang sempat hilang saat terlalu mencintaimu.
Dia, yang menurutmu tak pernah bisa kamu mengerti, adalah dia yang kamu cinta.
“Jadi apakah itu berarti, kamu membencinya?” tanyaku penuh selidik suatu ketika.
“Ya, aku menyukai dan membencinya sekaligus, dalam sebuah ...
ujan deras mengguyur kota Medan sore itu. Di balik jendela kamarnya yang berkabut, Dira menatap kosong ke arah rumah seberang. Rumah itu gelap, seperti biasa. Sudah tiga tahun Daniel pindah ...
Pada akhirnya, katamu, cinta akan berhenti pada sebuah titik stagnan. Diam. Walau semua semesta bersekutu menggerakkannya. Sekuat mungkin. Cinta akan beredar pada tepian takdirnya. Pada sesuatu yang telah begitu kuat ...
erempuan Wangi Bunga itu mengerjapkan mata, ia lalu membaca kembali baris-baris kalimat pada emailnya yang sudah siap dikirim ditemani lantunan lagu "Takdir Cinta" yang dinyanyikan oleh Rossa. Hatinya mendadak bimbang. ...
Sebagaimana setiap cinta dimaknai, seperti itu pula dia, dengan segala pesona yang ia punya menandai setiap serpih luka jiwanya sebagai pelajaran gemilang. Bukan kutukan. Apalagi hukuman. Perih yang ada di ...
ujan gerimis membasahi dermaga tua itu, seperti air mata langit yang tak kunjung berhenti. Ardi berdiri di ujung pelabuhan, menatap kapal-kapal yang berlabuh dengan tatapan kosong. Angin laut membawa aroma ...
Andi selalu percaya bahwa waktu adalah sesuatu yang tidak bisa dinegosiasikan. Ia berjalan maju tanpa menoleh, tanpa peduli siapa yang tertinggal. Namun sore itu, ketika langit berwarna jingga muda dan ...
Jakarta, 2030, sebuah teras café
Lelaki tua itu tersenyum samar. Dipandangnya perempuan seusia dengannya yang duduk tepat dihadapannya dengan tatap takjub.
“Kamu tak banyak berubah, walau umur telah menggerogoti tubuh kita. Kamu ...
Hujan November selalu membawa kenangan. Sally berdiri di tepi jendela apartemennya yang kecil, memandang kota yang berkilauan basah di bawah lampu-lampu jalan. Lima tahun sudah berlalu, tapi kadang rasanya seperti ...
"Ini untuk dia, yang pergi membawa kelam dihatinya," suara perempuan itu bergetar di ujung telepon. Aku menggigit bibir seraya menatap Sonny, sang operator lagu pasanganku, yang balas menatapku dengan senyum ...
Dia tahu.
Tapi tak benar-benar tahu bagaimana sesungguhnya cara menata hati dari kisah cintanya yang hancur lebur dan lenyap bersama angin.
Dia tidak sok tahu.
Hanya berusaha memahami.
Bahwa luka oleh cinta bisa dibasuh ...
Ia, lelaki yang berdiri pada petang temaram selalu membasuh setiap waktu yang berlalu bergegas dengan rindu yang basah pada perempuan kilau rembulan, jauh disana. Ditorehkannya noktah-noktah kangen itu pada setiap ...
Rintik gerimis senja selalu membawa lamunanku padamu. Ketika irisan-irisan air itu jatuh dari langit, kau akan senantiasa memandangnya takjub dari balik buram kaca jendela. Menikmatinya. Meresapinya. Tak berkedip.
"Menikmati gerimis senja ...
Langit senja menggantung lesu di atas kota yang mulai lelah. Lampu-lampu jalan menyala satu per satu, membentuk jejak cahaya yang samar. Di bawahnya, seorang pemuda berjaket lusuh berdiri diam di ...
i sebuah kota kecil yang selalu diselimuti embun pagi, tinggal seorang gadis bernama Aluna. Ia dikenal ramah, namun sejak beberapa bulan terakhir, langkahnya terasa berat. Orang-orang menduga ia hanya lelah.
Mereka ...
Malam turun dengan perlahan, seperti seseorang yang tak ingin membangunkan kenangan lama. Di tepi sawah yang mulai menguning, Saka berdiri memandangi langit.
Rembulan menggantung sendu di atas pohon randu tua : pohon ...