Momuri: Ketika Martabat Pekerja Membutuhkan Perantara untuk Melepaskan Diri
“Pekerjaan tidak harus menjadi penjara. Ketika seseorang tidak dapat keluar dari pekerjaan yang tidak cocok untuknya, itu adalah tanda sistem yang telah gagal.” — Satya Nadella, CEO Microsoft
Di tengah hiruk-pikuk Tokyo yang tak pernah tidur, sebuah fenomena yang menggetarkan jiwa sedang terjadi. Momuri—sebuah kata yang dengan getir mengartikan “aku tidak tahan lagi”—telah berkembang menjadi lebih dari sekadar ungkapan frustasi. Ia telah menjelma menjadi nama perusahaan yang secara harfiah membantu pekerja Jepang melepaskan diri dari belenggu pekerjaan yang menyiksa jiwa mereka.
Momuri adalah perusahaan agen pengunduran diri yang didirikan oleh Shinji Tanimoto, seorang pengusaha muda yang memahami betul penderitaan pekerja Jepang yang terjebak dalam sistem kerja yang tidak manusiawi.
Perusahaan ini menyediakan layanan unik: mereka akan menghubungi atasan klien dan secara resmi menyampaikan pengunduran diri atas nama pekerja yang tidak mampu atau tidak berani melakukannya sendiri. Dengan biaya sekitar 22.000 yen (sekitar Rp 2,2 juta), Momuri menjadi jembatan antara keputusasaan dan kebebasan bagi ribuan pekerja yang merasa terpenjara dalam pekerjaan mereka.
Bayangkan seorang pekerja muda di Shibuya yang setiap pagi menatap gedung kantornya dengan perasaan tercekik. Ia telah menyiapkan surat pengunduran diri berkali-kali, namun setiap kali disobek oleh atasannya. Ia terjebak dalam lingkaran setan budaya kerja yang tidak hanya menguras tenaga, tetapi juga menghancurkan harga diri dan integritas sebagai manusia. Inilah realitas yang melahirkan fenomena Momuri dan ratusan agen pengunduran diri serupa di seluruh Jepang.
Data menunjukkan bahwa dalam tahun terakhir saja, Momuri menerima hingga 11.000 permintaan dari klien, sementara Exit, salah satu perusahaan serupa, dilaporkan menerima lebih dari 10.000 klien setiap tahunnya. Angka ini mengejutkan karena menggambarkan betapa desperatnya pekerja Jepang untuk melepaskan diri dari pekerjaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan aspirasi mereka.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah fakta bahwa 1 dari 5 pekerja Jepang berusia 20-an beralih ke agen pengunduran diri. Generasi muda ini, yang seharusnya menjadi tulang punggung masa depan Jepang, justru merasa terpojok dalam sistem yang tidak memberikan mereka ruang untuk berkembang atau bahkan sekadar keluar dengan bermartabat. Mereka sering kali tidak diizinkan untuk berhenti dan tidak memiliki tempat lain untuk berlindung.
Fenomena ini mencerminkan krisis yang lebih dalam dalam etos kerja tradisional Jepang. Budaya kerja yang dulunya menjadi kebanggaan—dengan dedikasi seumur hidup kepada satu perusahaan—kini telah berubah menjadi penjara mental yang mencekik kreativitas dan kemanusiaan. Ketika para bos merobek surat pengunduran diri karyawan mereka, mereka tidak hanya melanggar hak asasi pekerja, tetapi juga merusak fondasi kepercayaan yang seharusnya menjadi dasar hubungan industrial yang sehat.

Dampak psikologis dari fenomena ini tidak dapat diabaikan. Pekerja yang tidak dapat mengakhiri pekerjaan mereka dengan cara yang bermartabat mengalami penderitaan yang mendalam. Mereka kehilangan rasa kontrol atas hidup mereka sendiri, yang pada gilirannya merusak harga diri dan integritas pribadi. Ironisnya, dalam budaya yang sangat menjunjung tinggi kehormatan dan martabat, pekerja justru harus menyerahkan tugas yang seharusnya paling personal—mengomunikasikan keputusan untuk berhenti—kepada pihak ketiga.
Statistik menunjukkan bahwa lebih dari 30 persen lulusan baru meninggalkan pekerjaan mereka dalam tiga tahun pertama, sebuah angka yang tidak terbayangkan selama masa keajaiban ekonomi pascaperang Jepang. Perubahan ini menandakan transformasi mendasar dalam nilai-nilai generasi muda Jepang, yang kini lebih mengutamakan keseimbangan hidup dan pemenuhan diri daripada loyalitas buta terhadap perusahaan.
Namun, meskipun sekitar 3,3 juta orang berganti pekerjaan pada tahun 2024 dari total hampir 68 juta pekerja, mobilitas kerja di Jepang masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada keinginan untuk berubah, masih ada hambatan struktural yang signifikan dalam sistem ketenagakerjaan Jepang.
Fenomena Momuri ini memiliki implikasi yang mendalam bagi Indonesia, terutama ketika kita melihat bagaimana budaya kerja Asia Timur sering kali saling mempengaruhi. Indonesia, dengan populasi pekerja yang besar dan dinamika industri yang terus berkembang, dapat mengambil pelajaran penting dari pengalaman Jepang. Kita perlu memastikan bahwa dalam mengejar pertumbuhan ekonomi, kita tidak mengorbankan dignitas dan kesejahteraan pekerja.
Hubungan industrial di Indonesia harus dibangun atas dasar saling menghormati dan komunikasi yang terbuka. Pekerja harus memiliki hak untuk mengakhiri hubungan kerja dengan cara yang bermartabat, tanpa takut akan intimidasi atau perlakuan tidak adil. Sistem hukum ketenagakerjaan kita harus memberikan perlindungan yang memadai bagi pekerja yang ingin berganti pekerjaan, sambil tetap mempertimbangkan kepentingan pengusaha.
Pelajaran dari fenomena Momuri juga mengingatkan kita bahwa produktivitas dan loyalitas tidak dapat dipaksakan. Sebaliknya, mereka tumbuh dari lingkungan kerja yang mendukung, menghargai, dan memberikan ruang bagi pertumbuhan pribadi. Perusahaan-perusahaan Indonesia perlu menciptakan budaya kerja yang tidak hanya fokus pada hasil jangka pendek, tetapi juga pada keberlanjutan dan kesejahteraan jangka panjang karyawan.
Kita juga perlu mengembangkan sistem dukungan yang lebih baik bagi pekerja yang mengalami kesulitan di tempat kerja. Konseling karir, mediasi konflik, dan program pengembangan keterampilan dapat membantu pekerja mengatasi tantangan tanpa harus melarikan diri dari pekerjaan mereka. Investasi dalam kesehatan mental dan kesejahteraan karyawan bukan hanya tanggung jawab moral, tetapi juga investasi ekonomi yang bijaksana.
Fenomena Momuri mengajarkan kita bahwa ketika sistem gagal melindungi dignitas pekerja, kreativitas manusia akan menemukan cara untuk bertahan hidup. Namun, solusi yang ideal bukanlah menciptakan industri perantara pengunduran diri, melainkan membangun budaya kerja yang memungkinkan setiap individu untuk berkembang, berkontribusi, dan jika perlu, pergi dengan kepala tegak.
Sebagai bangsa yang sedang membangun masa depan, Indonesia memiliki kesempatan untuk belajar dari pengalaman Jepang dan menciptakan model hubungan industrial yang lebih manusiawi. Kita dapat membangun ekonomi yang kuat tanpa mengorbankan jiwa dan dignitas pekerja. Karena pada akhirnya, kemajuan sejati sebuah bangsa tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari seberapa baik ia memperlakukan rakyatnya yang bekerja.
Momentum ini mengingatkan kita bahwa di balik setiap statistik ekonomi, terdapat jutaan cerita manusia yang berjuang untuk hidup bermartabat. Tugas kita adalah memastikan bahwa perjuangan itu tidak sia-sia, dan bahwa setiap pekerja—baik di Jepang, Indonesia, maupun di mana pun—memiliki hak untuk bekerja dengan hormat dan meninggalkan pekerjaan dengan bermartabat.
“Masa depan pekerjaan bukan tentang mengganti manusia dengan mesin, tetapi tentang menciptakan kondisi di mana manusia dapat berkembang bersama teknologi dalam lingkungan yang menghargai kemanusiaan mereka.” — Shoshana Zuboff, Harvard Business School