Menabur Harapan di Atas Bumi Nusantara: Swasembada Pangan sebagai Pilar Kedaulatan Nasional
Di tengah desakan ketidakpastian dunia yang kian pelik, Indonesia tengah berdiri di persimpangan sejarah yang menentukan. Gejolak geopolitik global, dari konflik Rusia-Ukraina yang mengguncang pasokan gandum dunia hingga kebijakan proteksionisme pangan yang marak dipraktikkan negara-negara eksportir, telah mengingatkan kita bahwa kedaulatan pangan bukan sekadar urusan ekonomi, melainkan fondasi utama dari kedaulatan bangsa.
Kini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia menggulirkan program swasembada pangan dengan tekad membaja, didukung alokasi anggaran mencapai Rp139,4 triliun untuk tahun 2025.
Sebuah komitmen nyata yang melampaui retorika politik, membawa harapan bagi puluhan juta petani yang telah bertahun-tahun berjuang di tanah yang subur namun kerap terpinggirkan.
Bayangkan seorang petani di Jawa Timur, yang lahan sawahnya membentang hijau di bawah langit cerah, namun hatinya cemas karena pupuk subsidi terlambat tiba. Bayangkan pula keluarga di Nusa Tenggara Timur yang harus membeli beras impor dengan harga selangit karena produksi lokal tidak mencukupi.
Inilah realitas yang telah terlalu lama mendera bangsa kita. Indonesia, negara yang diberkahi dengan tanah subur dari Sabang hingga Merauke, justru mengimpor beras hingga 3,23 juta ton dari Januari hingga September 2024, meningkat tajam 80,68 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Sebuah ironi yang menyayat hati, mengingat pada tahun 2022 Indonesia sempat menerima penghargaan internasional karena dinilai berhasil berswasembada beras pada periode 2019-2021.
Namun, kini angin perubahan mulai berhembus. Kementerian Pertanian, di bawah komando Menteri Andi Amran Sulaiman, tengah menjalankan strategi komprehensif yang menyentuh seluruh lini produksi pangan. Program pencetakan sawah baru seluas 3 juta hektare dalam lima tahun mendatang menjadi tulang punggung strategi ini, dengan target 750 ribu hektare per tahun dimulai dari 2025 hingga 2027. Bukan sekadar angka di atas kertas, langkah ini menandakan keseriusan pemerintah dalam mengubah nasib pertanian nasional.
Yang lebih mengharukan adalah bagaimana program ini mulai menyentuh kehidupan nyata para petani. Mamat Acek, seorang petani asal Garut, Jawa Barat, dengan mata berbinar menceritakan bagaimana penyaluran pupuk subsidi kini jauh lebih cepat dan mudah melalui gabungan kelompok tani. Baginya, ini bukan sekadar efisiensi administratif, melainkan harapan bahwa pemerintah benar-benar hadir dan berpihak pada mereka yang selama ini menjadi pahlawan pangan tanpa tanda jasa. Data dari Badan Pusat Statistik juga menunjukkan tanda menggembirakan, di mana hanya 7,65 persen petani yang mengalami kesulitan dalam memasarkan hasil pertanian, sementara 92,35 persen menyatakan tidak ada permasalahan dalam pemasaran.
Namun, jalan menuju swasembada pangan bukanlah jalan raya yang mulus. Tantangan geopolitik global membentang di hadapan kita dengan segala kompleksitasnya. Konflik Rusia-Ukraina yang pecah pada 2022 telah memberikan pelajaran pahit tentang bagaimana ketergantungan pada impor pangan dapat menjadi senjata geopolitik. Indonesia, yang mengimpor sekitar 25,4 persen gandum dari Ukraina pada 2021, harus menelan pil pahit ketika pasokan tersendat dan harga gandum global melonjak hingga 28 persen pada awal perang. Lebih dari itu, ketergantungan pada pupuk impor menjadi kerentanan tersendiri, mengingat Indonesia mengimpor sekitar 5,37 juta ton pupuk pada 2023 dari total kebutuhan nasional mencapai 13,5 juta ton per tahun.
Di tengah turbulensi global ini, ketahanan pangan bukan lagi sekadar isu teknis pertanian, melainkan prioritas dalam strategi pertahanan nasional. Direktur Kewaspadaan Pangan Badan Pangan Nasional, Nita Yulianis, menegaskan bahwa ketahanan pangan saat ini dihadapkan pada tantangan global yang kompleks, mulai dari perubahan iklim ekstrem hingga situasi geopolitik yang berpengaruh pada pasokan dan harga komoditas pangan strategis. Dalam konteks ini, swasembada pangan bukan ambisi yang berlebihan, melainkan kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa 275 juta jiwa rakyat Indonesia tidak menjadi sandera dari permainan geopolitik global.
Dari perspektif ekonomi nasional, momentum untuk mencapai swasembada pangan kini semakin terbuka lebar. Ekonomi Indonesia menunjukkan ketahanan yang mengagumkan di tengah gejolak global, dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,03 persen pada tahun 2024, sementara inflasi berhasil dikendalikan pada level 2,8 persen, bahkan dinilai sebagai yang terbaik sejak tahun 1958. Kondisi makroekonomi yang stabil ini memberikan ruang fiskal yang lebih luas bagi pemerintah untuk mengalokasikan sumber daya bagi sektor pertanian.
Yang lebih menggembirakan, sektor pertanian Indonesia menunjukkan tanda kebangkitan. Pada triwulan pertama 2025, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan mencatat pertumbuhan tertinggi sebesar 10,52 persen, jauh melampaui sektor-sektor lainnya.
Ini bukan kebetulan, melainkan buah dari kebijakan yang tepat sasaran dan komitmen yang konsisten. Lebih dari itu, Nilai Tukar Petani pada Desember 2024 mencapai 122,78, menunjukkan perbaikan signifikan dalam kesejahteraan petani.
Kolaborasi lintas kementerian menjadi kunci keberhasilan program ini. Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Pertanian menjalin kerja sama erat dalam mengoptimalkan pemanfaatan bendungan dan irigasi.
Strategi intensifikasi dan ekstensifikasi dirancang untuk mengembangkan 1 juta hektare lahan melalui optimalisasi bendungan strategis seperti Bendungan Karian di Banten, Bendungan Temef di Nusa Tenggara Timur, Bendungan Karalloe di Sulawesi Selatan, dan Bendungan Leuwikeris di Jawa Barat. Ini adalah contoh nyata bagaimana infrastruktur menjadi penopang konkret bagi kedaulatan pangan.
Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi, dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa stok beras pemerintah saat ini mencapai 2 juta ton, yang merupakan yang terkuat selama ini. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan jaminan bahwa pemerintah memiliki kemampuan untuk melakukan intervensi pasar dan menjaga stabilitas harga. Program bantuan pangan beras untuk 16 juta penerima dengan alokasi 6 bulan pada 2025, serta Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan dengan target 1,5 juta ton, menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya fokus pada produksi, tetapi juga pada distribusi yang merata dan adil.
Modernisasi pertanian menjadi pilar penting lainnya dalam strategi swasembada pangan. Pemanfaatan teknologi pangan terpadu, mekanisasi, dan inovasi digital bukan lagi wacana futuristik, melainkan kenyataan yang tengah diimplementasikan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas petani. Dari drone untuk pemetaan lahan hingga aplikasi digital untuk pemantauan harga dan cuaca, teknologi menjadi sekutu petani dalam menghadapi tantangan pertanian modern.
Namun, di balik semua program dan angka-angka mengagumkan ini, ada nilai kemanusiaan yang harus terus dijaga. Swasembada pangan bukan sekadar pencapaian target produksi, melainkan tentang memastikan bahwa setiap keluarga Indonesia memiliki akses terhadap pangan yang cukup, bergizi, dan terjangkau.
Penurunan prevalensi stunting dari 30,8 persen menjadi 21,5 persen pada 2024 adalah bukti bahwa ketahanan pangan berdampak langsung pada kualitas hidup generasi masa depan. Demikian pula, penurunan jumlah kabupaten rawan pangan dari 74 menjadi 62 menunjukkan bahwa program-program pemerintah telah menyentuh daerah-daerah yang paling rentan.
Tentu saja, perjalanan menuju swasembada pangan masih panjang dan berliku. Ancaman perubahan iklim, alih fungsi lahan pertanian yang terus terjadi meskipun telah ada Undang-Undang tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, serta tekanan dari sistem perdagangan global yang tidak selalu adil, adalah tantangan yang harus terus diwaspadai. Namun, dengan komitmen politik yang kuat, alokasi anggaran yang memadai, dan yang terpenting, keberpihakan nyata kepada petani sebagai aktor utama produksi pangan, cita-cita swasembada pangan dalam 4-5 tahun ke depan bukanlah mimpi di siang bolong.
Program swasembada pangan juga membawa dimensi keberlanjutan lingkungan yang tidak boleh diabaikan. Pendekatan yang holistik harus mengintegrasikan aspek produksi dengan kelestarian ekosistem, memastikan bahwa peningkatan produksi tidak mengorbankan sumber daya alam untuk generasi mendatang. Diversifikasi pangan dengan mengoptimalkan potensi pangan lokal seperti jagung, sagu, umbi-umbian, dan sorgum menjadi strategi penting untuk mengurangi ketergantungan pada satu jenis pangan, terutama beras.
Di ujung perjalanan panjang ini, kita diingatkan pada hakikat dari kedaulatan pangan: ini adalah tentang martabat bangsa. Ketika seorang ibu di pelosok desa dapat membeli beras lokal dengan harga terjangkau, ketika seorang petani mendapatkan harga jual yang layak untuk hasil keringatnya, ketika anak-anak Indonesia tumbuh sehat tanpa ancaman kekurangan gizi, di situlah esensi sejati dari swasembada pangan. Bukan angka-angka impor yang turun atau stok pangan yang meningkat, melainkan kehidupan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kementerian Pertanian, bersama dengan Kementerian Pekerjaan Umum, Badan Pangan Nasional, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya, kini tengah menabur benih harapan di atas bumi Nusantara.
Setiap hektar sawah yang dicetak, setiap bendungan yang dibangun, setiap kilogram pupuk yang disalurkan tepat waktu, adalah langkah nyata menuju Indonesia yang mandiri pangan.
Dan di tengah pusaran geopolitik global yang kian tidak menentu, kemandirian pangan adalah benteng terakhir yang menjaga kedaulatan dan martabat bangsa.
“Tidak ada yang lebih penting daripada memastikan bahwa rakyat kita tidak kelaparan. Ketahanan pangan adalah masalah keamanan nasional” – Norman Borlaug, Bapak Revolusi Hijau, Penerima Nobel Perdamaian.