Antara Panen Raya dan Air Mata Rakyat : Membongkar Serakahnomics dalam Bisnis Beras Indonesia
“Kemiskinan bukanlah kebetulan. Ia adalah hasil dari sistem yang tidak adil.” — Nelson Mandela
Ada yang sangat salah ketika seorang ibu di pasar tradisional harus merogoh kocek lebih dalam hanya untuk membeli beras yang diklaim premium, namun ternyata isinya adalah kualitas biasa yang dioplos.
Ada yang sangat keliru ketika petani padi di sawah bekerja mati-matian dari subuh hingga maghrib, namun hasil keringat mereka hanya dihargai tak lebih dari sebuah komoditas murah yang dipermainkan oknum tak bertanggung jawab.
Dalam wawancara dengan kanal YouTube Akbar Uncensored yang digelar pada 14 November 2025, Amran menegaskan bagaimana para pemain besar membeli Gabah Kering Panen (GKP) dengan harga sedikit di atas pasar, hingga seluruh pasokan terserap oleh mereka, meninggalkan para penggilingan kecil kelaparan pasokan.
Kemudian, pada rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI, Amran mengungkap realitas mencengangkan: 80 persen beras subsidi program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) diduga dioplos oleh oknum tak bertanggung jawab.
Praktik gelap ini berpotensi membuat negara rugi hingga Rp 2 triliun per tahun. Lebih mengejutkan lagi, berdasarkan pemeriksaan Satgas Pangan Polri terhadap 268 sampel beras dari 212 merek, ditemukan ketidaksesuaian mutu yang merugikan konsumen hingga Rp 99,35 triliun per tahun.
Angka-angka ini bukanlah sekadar statistik dingin. Ia adalah air mata para ibu yang tertipu, keringat petani yang dicuri nilainya, dan mimpi anak-anak Indonesia yang dikhianati oleh mereka yang seharusnya menjaga hajat hidup orang banyak.
Beras adalah jantung kehidupan bangsa ini. Dari Sabang sampai Merauke, beras bukan sekadar makanan pokok—ia adalah identitas budaya, simbol kesejahteraan, dan cerminan keadilan sosial.
Namun, di balik butiran putih yang seharusnya menjadi berkah, tersembunyi praktik gelap yang menghisap darah rakyat. Berdasarkan investigasi yang dilakukan pada 6 hingga 23 Juni 2025 terhadap 268 sampel dari 212 merek beras, ditemukan ketidaksesuaian yang mengejutkan: beras premium menunjukkan ketidaksesuaian mutu sebesar 85,56 persen, ketidaksesuaian harga eceran tertinggi sebesar 59,78 persen, dan ketidaksesuaian berat beras kemasan sebesar 21,66 persen.
Untuk beras medium, angkanya bahkan lebih buruk: 88,24 persen tidak memenuhi standar mutu SNI, 95,12 persen dijual melebihi HET, dan 9,38 persen memiliki berat kurang dari yang tertera pada kemasan. Inilah pencurian sistematis terhadap konsumen.
Bayangkan: seorang buruh pabrik yang gajinya pas-pasan membeli beras seharga Rp 15.000 per kilogram dengan label premium, berharap keluarganya makan dengan kualitas terbaik, namun yang didapat adalah kualitas medium yang seharusnya hanya berharga Rp 12.000. Selisih Rp 3.000 mungkin terdengar kecil bagi mereka yang hidup berkecukupan, tetapi bagi keluarga miskin, itu adalah uang untuk membeli sayur, telur, atau susu anak.
Ironi terbesar adalah ketika produksi beras nasional tengah meningkat pesat. Berdasarkan proyeksi Badan Pusat Statistik, produksi beras Januari–April 2025 mencapai 13,95 juta ton, menjadi yang tertinggi sejak 2019.
Bahkan produksi beras Januari–Agustus 2025 mencapai 24,97 juta ton, meningkat 14,09 persen dibandingkan periode yang sama pada 2024. Dengan pencapaian luar biasa ini, seharusnya harga beras turun dan rakyat bisa tersenyum lega. Namun kenyataannya?
Harga justru tetap tinggi, bahkan berfluktuasi di luar logika ekonomi normal. Ketika panen raya tiba dan stok melimpah, seharusnya harga turun mengikuti hukum penawaran dan permintaan. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya.
Yang lebih mengherankan, permintaan beras SPHP muncul di kala stok beras di pasaran sedang tinggi. Bahkan rata-rata stok beras di Pasar Induk Beras Cipinang pada periode tertentu mencapai 49.960 ton, melampaui batas minimal 30.000 ton. Inilah bukti bahwa ada yang bermain di balik layar, memanipulasi pasar demi keuntungan segelintir orang.
Serakahnomics tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga membunuh usaha kecil yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat. Data mengejutkan datang dari Karawang: berdasarkan temuan Ombudsman RI, sekitar 40 persen penggilingan padi di Tempuran, Karawang, Jawa Barat berhenti produksi beras karena pengusaha takut terseret kasus beras oplosan, dengan 10 dari 23 penggilingan berhenti beroperasi.
Laporan serupa datang dari Yogyakarta dan Jawa Timur. Para pengusaha kecil ini bukan pelaku kejahatan. Mereka hanya pedagang jujur yang kini hidup dalam ketakutan, khawatir dicap sebagai pelanggar hukum hanya karena membeli gabah dari petani dengan harga wajar atau menjual beras dengan label yang sesuai.
Penggilingan kecil terpaksa mengganti karung beras dengan yang polos, menyembunyikan merek, dan menolak membeli gabah dari petani karena takut dianggap melanggar hukum.
Bayangkan seorang pengusaha penggilingan kecil yang telah membangun bisnis selama puluhan tahun. Ia memberi kerja kepada belasan keluarga di desanya. Setiap pagi, suara mesin penggilingannya menjadi alarm bagi tetangga bahwa hari yang produktif akan dimulai.
Tetapi kini, mesin itu diam. Bukan karena dia nakal, bukan karena dia menipu, tetapi karena dia takut. Takut pada sistem yang tidak memberikan kepastian hukum. Takut pada aparat yang datang tanpa panduan jelas tentang apa yang benar dan apa yang salah. Ketika ketakutan menggantikan kepercayaan, ketika hukum tidak bisa membedakan antara niat baik dan niat buruk, maka kita sedang membunuh keberdayaan ekonomi rakyat dari dalam.
Lebih tragis lagi, petani yang seharusnya menjadi pahlawan pangan justru menjadi korban. Harga gabah kering panen melonjak hingga Rp 7.500–Rp 8.200 per kilogram, jauh di atas Harga Pembelian Pemerintah yang ditetapkan sebesar Rp 6.500 per kilogram. Ketika penggilingan tutup, petani kehilangan akses pasar.
Mereka terpaksa menjual ke tengkulak dengan harga lebih rendah, atau menyimpan gabah tanpa kepastian, padahal gabah bukan emas yang bisa disimpan lama tanpa risiko rusak. Di sisi lain, ketika pasar tradisional kekurangan pasokan, rakyat kehilangan akses pangan.
Di ritel modern, rak beras mulai kosong, bahkan di beberapa tempat rak tersebut diganti dengan air kemasan. Inilah ironi yang menyakitkan: di tengah produksi yang meningkat, rakyat justru kesulitan mendapatkan beras.
Serakahnomics beroperasi dengan sistem yang sangat licik. Beras subsidi yang mendapat subsidi Rp 1.500 atau Rp 2.000, setelah diserahkan ke kios, tidak ada instrumen untuk mengontrolnya—yang dipajang hanya 20 persen, sedangkan 80 persen dioplos menjadi premium dengan kenaikan harga Rp 2.000.
Jika 1,4 juta ton stok beras subsidi dikalikan 80 persen menjadi 1 juta ton, lalu dikalikan Rp 2.000, kerugian negara mencapai Rp 2 triliun dalam setahun. Inilah pencurian terselubung yang sangat sistematis. Beras yang seharusnya menjadi bantuan bagi rakyat miskin, justru dimanipulasi menjadi sumber keuntungan bagi segelintir oknum yang tidak punya hati nurani.
Yang lebih memprihatinkan adalah dominasi korporasi besar yang menguasai pasar. Penggilingan kecil kalah saing dengan penggilingan swasta yang secara modal lebih besar dan teknologi lebih canggih, ketika harga pembelian gabah naik, otomatis dana yang harus dimiliki penggilingan kecil bertambah, namun karena keterbatasan modal mereka tidak bisa lagi menyerap gabah karena kalah saing dengan korporasi besar dan pada akhirnya tutup.
Inilah potret ekonomi yang tidak adil: yang besar semakin besar, yang kecil semakin tersingkir. Pasar beras di Indonesia penuh dengan ketimpangan informasi, dan ini dimanfaatkan untuk memaksimalkan keuntungan sementara konsumen dirugikan. Besarnya korporasi yang menguasai stok beras berisiko tinggi karena mereka akan memaksimalkan profit, dan oplosan justru banyak dilakukan oleh korporasi.
Namun di tengah kegelapan ini, ada secercah harapan. Pemerintah di bawah kepemimpinan Menteri Amran Sulaiman menunjukkan komitmen serius untuk memberantas mafia pangan. Amran secara terbuka meminta para pelaku usaha yang mengejar marjin besar di sektor pangan, khususnya beras, untuk mengalihkan investasinya ke sektor lain, dengan menyatakan: “Kalau mau berbisnis yang besar, tolong bergeser ke pabrik gula, sektor industri, pertambangan, atau yang lainnya. Tetapi jangan mengganggu kepentingan orang banyak”.
Ini adalah pernyataan yang sangat berani dan menunjukkan keberpihakan yang jelas kepada rakyat. Lebih membanggakan lagi, Nilai Tukar Petani pangan mencapai angka yang melampaui target pemerintah, yang menjadi bukti bahwa petani kini memiliki ruang ekonomi yang lebih baik.
Tantangan yang dihadapi memang tidak sederhana. Pertama, masalah struktural dalam rantai pasok beras yang masih dikuasai oleh oligarki dan mafia pangan. Kedua, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum yang membuat pelaku usaha jujur justru ketakutan sementara pelaku curang masih berkeliaran.
Ketiga, ketimpangan modal antara pengusaha kecil dan korporasi besar yang membuat persaingan tidak seimbang. Keempat, sistem distribusi yang rumit dan penuh celah untuk manipulasi. Kelima, kesenjangan informasi pasar yang dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir pihak.
Solusinya harus bersifat sistemik dan menyeluruh. Pertama, pemerintah perlu memperkuat pengawasan dan penegakan hukum yang tegas namun adil, dengan memberikan panduan teknis yang jelas kepada pelaku usaha tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Jangan sampai pengusaha jujur justru takut berbisnis karena ketidakpastian hukum.
Kedua, perlu ada reformasi tata kelola distribusi beras dengan sistem digital yang transparan dan bisa dipantau secara real-time, sehingga setiap pergerakan beras dari petani hingga konsumen bisa dilacak dan tidak ada ruang untuk manipulasi.
Ketiga, pemberdayaan penggilingan kecil dan koperasi petani dengan akses permodalan yang murah dan pendampingan teknis, agar mereka tidak kalah bersaing dengan korporasi besar. Keempat, penguatan Bulog sebagai lembaga yang benar-benar berpihak kepada petani dan konsumen, bukan kepada kepentingan bisnis tertentu.
Kelima, transparansi data dan informasi pasar yang bisa diakses oleh semua pihak, sehingga tidak ada lagi asimetri informasi yang dimanfaatkan untuk permainan harga. Keenam, sanksi yang tegas dan memberikan efek jera bagi pelaku usaha yang terbukti melakukan pengoplosan dan kecurangan, tanpa pandang bulu apakah itu perusahaan besar atau kecil.
Ketujuh, program edukasi kepada konsumen tentang cara membedakan beras berkualitas baik dan buruk, serta hak-hak mereka sebagai konsumen. Kedelapan, penguatan kearifan lokal dengan mendorong konsumsi beras lokal dan menghargai keragaman jenis beras nusantara, bukan hanya fokus pada satu atau dua varietas yang dikuasai korporasi besar.
Lebih dari itu, kita perlu mengubah paradigma tentang pangan. Beras bukan sekadar komoditas ekonomi yang bisa dipermainkan untuk mengejar keuntungan maksimal. Beras adalah hak hidup, jantung keadilan sosial, dan cerminan kemanusiaan kita sebagai bangsa.
Ketika kita membiarkan serakahnomics merajalela dalam bisnis beras, kita tidak hanya merugikan konsumen dan petani, kita sedang mengkhianati nilai-nilai luhur bangsa ini yang mengajarkan gotong royong, keadilan, dan kepedulian kepada sesama.
Kisah penggilingan kecil yang tutup, petani yang kehilangan pasar, ibu-ibu yang tertipu membeli beras oplosan, semua ini adalah alarm bagi kita.
Alarm yang mengingatkan bahwa sistem ekonomi yang tidak berpihak kepada rakyat adalah sistem yang akan menghancurkan bangsa dari dalam. Kita perlu bergerak cepat, tidak hanya dengan kebijakan dan regulasi, tetapi juga dengan gerakan moral dan kesadaran kolektif.
Setiap kali kita membeli beras, kita sebenarnya sedang memilih: apakah kita mendukung sistem yang adil bagi petani dan pedagang kecil, atau kita menjadi bagian dari sistem serakah yang menghisap darah rakyat?
Kepada generasi muda, kepada calon pemimpin masa depan: jangan warisi ketakutan ini. Warisilah keberanian untuk bertanya, untuk memperbaiki, untuk menciptakan kebijakan yang berpihak pada rakyat, bukan hanya pada angka pertumbuhan ekonomi yang kosong.
Dan kepada para mentor, penulis, dan pemimpin komunitas: mari kita angkat suara. Bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk menyembuhkan. Karena pangan bukan sekadar komoditas: ia adalah hak hidup, jantung keadilan sosial, dan cerminan dari siapa kita sebagai bangsa.
Kita perlu membangun kebijakan pangan yang berbasis pada kepercayaan, bukan kecurigaan. Yang memuliakan petani, bukan menakut-nakuti penggilingan. Yang menjadikan usaha kecil sebagai mitra pembangunan, bukan sebagai tersangka potensial. Kebijakan yang menjamin bahwa setiap butir beras yang sampai ke piring rakyat adalah hasil kerja keras yang dihargai dengan adil, bukan hasil rampasan yang dicuri nilainya oleh segelintir oknum.
Di tengah pencapaian produksi beras yang membanggakan, kita tidak boleh buta terhadap ketidakadilan yang terjadi di setiap mata rantai distribusinya. Indonesia kini tidak lagi berbicara soal swasembada sebagai cita-cita, tetapi sebagai kenyataan.
Namun swasembada yang sesungguhnya bukan hanya soal angka produksi yang tinggi. Swasembada sejati adalah ketika petani sejahtera, penggilingan kecil bisa beroperasi dengan tenang, konsumen mendapat beras berkualitas dengan harga wajar, dan tidak ada lagi ruang bagi keserakahan untuk merampas nasi dari piring rakyat.
Tantangan ke depan adalah bagaimana menjaga agar pencapaian ini tidak digerogoti oleh praktik serakahnomics. Bagaimana memastikan bahwa kenaikan produksi benar-benar diterjemahkan menjadi kesejahteraan petani, harga yang terjangkau bagi konsumen, dan keberlanjutan usaha kecil yang menjadi tulang punggung ekonomi kerakyatan.
Ini bukan pekerjaan mudah, tetapi juga bukan pekerjaan yang mustahil. Dengan kepemimpinan yang tegas, kebijakan yang berpihak kepada rakyat, penegakan hukum yang adil, dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat, kita bisa mengubah serakahnomics menjadi ekonomi keadilan.
Sejarah akan mencatat bagaimana kita merespons krisis ini. Apakah kita akan membiarkan keserakahan terus merampas hak rakyat, atau kita akan berdiri tegak membangun sistem pangan yang adil dan bermartabat? Pilihan ada di tangan kita semua—pemerintah, pelaku usaha, petani, konsumen, akademisi, dan aktivis.
Saatnya kita bersatu, bukan dalam kebencian terhadap pelaku curang, tetapi dalam cinta kepada keadilan dan kesejahteraan rakyat. Saatnya kita membuktikan bahwa Indonesia tidak hanya mampu berswasembada dalam produksi beras, tetapi juga berswasembada dalam keadilan, keberpihakan kepada yang lemah, dan kemanusiaan yang menempatkan kepentingan orang banyak di atas keserakahan segelintir orang.
Semangat Mentan Amran untuk membongkar praktik “Serakahnomic” adalah sebuah panggilan moral dan strategis. Ini bukan semata-mata pertempuran melawan pemain besar, tapi perjuangan untuk mempertahankan struktur ekonomi pangan yang berakar pada kearifan lokal dan keadilan sosial. Selama ribuan penggilingan kecil terus hilang, selama beras oplosan merajalela, maka fondasi ketahanan pangan kita rapuh.
Nasi di piring rakyat bukan sekadar makanan. Ia adalah simbol dari perjuangan petani di sawah, keringat buruh di penggilingan, harapan pedagang kecil di pasar, dan doa ibu untuk keluarganya.
Ketika nasi itu dirampas nilainya oleh keserakahan, maka yang dirampas bukan hanya ekonomi, tetapi juga martabat, harapan, dan masa depan bangsa ini.
Mari kita pastikan bahwa setiap butir beras yang sampai ke meja makan rakyat adalah hasil dari sistem yang adil, bukan dari serakahnomics yang mengkhianati rakyat.
“Suatu bangsa tidak akan menjadi hebat karena kekayaan alamnya, tetapi karena keadilan yang ditegakkan untuk rakyatnya.” — Mahatma Gandhi