Hujan November selalu membawa kenangan. Sally berdiri di tepi jendela apartemennya yang kecil, memandang kota yang berkilauan basah di bawah lampu-lampu jalan. Lima tahun sudah berlalu, tapi kadang rasanya seperti kemarin.
“Kamu yakin?” suara Bian masih terngiang di telinganya. Tatapan mata itu, campuran antara harap dan pasrah.
Sally menggenggam cangkir tehnya lebih erat.
Ya, dia yakin waktu itu. Sangat yakin.
****
Lima Tahun Lalu
Mereka bertemu di kafe yang sama setiap Rabu sore. Bian selalu datang dengan senyum lebarnya, membawa cerita-cerita konyol dari kantornya yang membuat Sally tertawa hingga air matanya keluar. Dia hapal pesanan Sally : teh melati tanpa gula, dengan tambahan madu di wadah terpisah.
“Supaya kamu bisa atur sendiri semanisnya,” katanya dulu, sambil tersenyum.
Tapi yang Sally tak pernah ceritakan adalah bahwa dia juga mengingat detail-detail kecil tentang Bian. Cara dia mengernyitkan dahi saat konsentrasi. Kebiasaannya menggaruk kepala saat gugup. Suaranya yang sedikit serak di pagi hari setelah lembur.
Sally jatuh cinta tanpa pernah bermaksud untuk jatuh.
****
Malam Itu
“Sally, aku sudah tidak bisa lagi,” Bian akhirnya berkata, suaranya gemetar. Mereka duduk di bangku taman yang sama tempat mereka pertama kali berbagi payung saat hujan.
“Tiga tahun, Sal. Tiga tahun aku menunggu. Aku tidak minta kamu mencintaiku dengan cara yang sama. Aku hanya minta… kesempatan.”
Sally menunduk. Jari-jarinya meremas-remas ujung syal yang melingkar di lehernya—syal pemberian Bian musim dingin lalu.
“Bi, kamu tahu aku tidak bisa…”
“Karena Dimas?”
Nama itu seperti pisau. Dimas, lelaki yang telah pergi empat tahun lalu, meninggalkan Sally dengan janji-janji yang tak sempat diwujudkan dan cincin yang masih tersimpan di laci.
“Dia sudah tidak ada, Sal. Dan aku di sini. Aku nyata. Aku ada di hadapanmu.”
Air mata Sally jatuh.
“Justru karena itu, Bi. Kamu terlalu baik. Kamu pantas mendapat seseorang yang mencintaimu utuh, bukan separuh-separuh seperti aku.”
“Aku tidak peduli!”, sergah Bian gusar.
“Tapi aku peduli!” suara Sally meninggi. “Aku peduli bahwa kamu menghabiskan hari-harimu menungguku melupakan seseorang yang mungkin tak akan pernah bisa kulupakan. Aku peduli bahwa kamu melupakan impianmu ke Singapura karena tidak mau meninggalkanku sendiri. Aku peduli bahwa kamu layak bahagia, Bian. Bahkan jika kebahagiaanmu bukan bersamaku.”
Bian terdiam. Hujan mulai turun, tapi tak ada yang bergerak.
“Pergilah. Kejar mimpimu. Temukan seseorang yang bisa mencintaimu seperti yang kamu layak dicintai.”
****
Kembali ke Masa Kini
Sally menghela napas panjang. Ponselnya bergetar sebuah notifikasi media sosial. Tanpa sengaja, dia melihat postingan baru di timeline: Bian tersenyum lebar, merangkul seorang wanita cantik dengan latar Merlion Singapura.
Caption-nya sederhana: “She said yes.”
Dadanya sesak, tapi bukan karena sedih. Ini perasaan yang aneh—campuran antara kehilangan dan lega, antara sesal dan bangga.
Sally tersenyum sambil air matanya jatuh. “Good for you, Bi,” bisiknya ke layar ponsel.
Dia menatap kembali ke jendela. Hujan masih turun, tapi entah kenapa, malam ini terasa berbeda.
Mungkin inilah yang dimaksud dengan mencintai seseorang: membiarkan mereka pergi supaya mereka bisa terbang.
Dan mungkin, hanya mungkin, suatu hari nanti Sally juga akan belajar terbang.
Sendiri dulu. Untuk sementara.
Sampai dia benar-benar siap menerima cinta yang baru, bukan sebagai pengganti, tapi sebagai awal yang baru.
amu selalu bercakap bagaimana sesungguhnya cinta itu dimaknai.
Pada sebuah sudut cafe yang redup dengan dendang suara Live Music terdengar pelan seraya memandang rimbun asap rokok menyelimuti hampir setengah dari ruangan, ...
ita selalu nyata dalam maya.
Selalu ada dalam ketiadaan. Selalu hadir dalam setiap ilusi. Begitu katamu. Selalu.
Entahlah, terkadang aku tak pernah bisa memahami makna kalimatmu. Absurd. Aneh. Juga misterius. Bagaimanapun kamu ...
erempuan Wangi Bunga itu mengerjapkan mata, ia lalu membaca kembali baris-baris kalimat pada emailnya yang sudah siap dikirim ditemani lantunan lagu "Takdir Cinta" yang dinyanyikan oleh Rossa. Hatinya mendadak bimbang. ...
Rintik gerimis senja selalu membawa lamunanku padamu. Ketika irisan-irisan air itu jatuh dari langit, kau akan senantiasa memandangnya takjub dari balik buram kaca jendela. Menikmatinya. Meresapinya. Tak berkedip.
"Menikmati gerimis senja ...
Langit senja menggantung lesu di atas kota yang mulai lelah. Lampu-lampu jalan menyala satu per satu, membentuk jejak cahaya yang samar. Di bawahnya, seorang pemuda berjaket lusuh berdiri diam di ...
Ia, lelaki yang berdiri pada petang temaram selalu membasuh setiap waktu yang berlalu bergegas dengan rindu yang basah pada perempuan kilau rembulan, jauh disana. Ditorehkannya noktah-noktah kangen itu pada setiap ...
M.F.E.O
4 huruf tersebut selalu tertera di akhir email lelaki itu.
Juga ketika mereka mengakhiri percakapan chatting didunia maya.
Made For Each Other, bisik lirih perempuan hening malam sembari menyunggingkan senyum. Matanya menerawang menatap ...
alam banyak hal perempuan itu selalu merasa kalah. Sangat telak. Terutama oleh cinta.
Pada bayangan rembulan di beranda, ia menangis. Menyaksikan cahaya lembut sang dewi malam itu menerpa dedaunan, menyelusup, lalu ...
Dia tahu.
Tapi tak benar-benar tahu bagaimana sesungguhnya cara menata hati dari kisah cintanya yang hancur lebur dan lenyap bersama angin.
Dia tidak sok tahu.
Hanya berusaha memahami.
Bahwa luka oleh cinta bisa dibasuh ...
Konon, katamu, secara zodiak kita berjodoh.
Aku berbintang Aries, Kamu Sagitarius.
Persis seperti nama depan kita : Aku Aries dan Kamu Sagita.
Cocok. Klop. Pas.
Kamu lalu mengajukan sejumlah teori-teori ilmu astrologi yang konon ...
Hai Perempuan Bermahligai Rembulan,
Apa kabarmu?
Cuaca di awal bulan Oktober ini sungguh sangat tak terduga. Seharusnya--menurut ramalan meteorologi-- hujan akan turun membasahi bumi, dan awal bencana banjir akan tiba. Tapi ternyata ...
Lelaki itu menghirup cappuccinonya.
Menyesap segala rasa yang menyertai dengan perih menusuk dada.
Ia lalu melirik jam tangannya. Sudah 2 jam lebih dia di Cafe tersebut. Sambil menghela nafas panjang ia melihat ...
Pada akhirnya, katamu, cinta akan berhenti pada sebuah titik stagnan. Diam. Walau semua semesta bersekutu menggerakkannya. Sekuat mungkin. Cinta akan beredar pada tepian takdirnya. Pada sesuatu yang telah begitu kuat ...
Pengantar :
Setelah Saberin (Kisah Bersambung Interaktif) saya mencoba sebuah ekspresimen penulisan lagi yang saya beri nama Narsis atau Narasi Romantis.
Tulisan Narsis berupa rangkaian prosa puitis pendek dan (diharapkan) akan ...
Inspirasi foto : Suasana Sunset di Pantai Losari Makassar, karya Arfah Aksa Dji Sam Soe Potret Mahakarya Indonesia
ada sampan yang sendiri.
Terdampar di sisi pantai Losari yang sunyi. Kita menyaksikan rona ...
My Momma always said:
Life was like a box of chocholates
You never know
What you're gonna get
-Tom Hanks, Forrest Gump,1994
Saskia tersenyum tipis setelah membaca sekilas potongan kutipan ungkapan yang ditulis diatas sebuah ...