Tak pernah sekalipun ia akan melupakannya.
Lelaki berwajah teduh dengan senyum menawan yang mampu memporak-porandakan hatinya hanya dalam hitungan detik sesaat ketika tatapan mata beradu. Kesan sekilas namun sangat membekas. Membuatnya luluh tak berdaya.
“Kita terlalu lama merangkai mimpi yang musykil. Merasakan kita ikut berpadu dalam pusarannya dan karam bersama segala harapan yang kita genggam erat-erat, lalu menikmatinya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang nyata adanya. Padahal hampa. Tak ada apa-apa,”kata lelaki itu dengan nada pelan.
“Kamu masih menganggapnya itu bukanlah realita?,” tukas perempuan itu sengit. Wajahnya terlihat memerah menahan amarah.
“Bukan..kita hanya menuai mimpi-mimpi yang sesungguhnya tak pasti dan memaknainya secara sepihak tanpa pernah peduli apakah itu benar atau tidak,”sahutnya datar. Lelaki itu kemudian menghela nafas panjang.
“Kamu egois!. Kamu tak bisa membaca samar isyarat yang aku sampaikan lewat desau angin, bayang-bayang, rintik hujan, embun pagi yang menetes didedaunan bahkan senyum yang kupersembahkan untukmu setiap pagi. Tanpa berhenti !,” cetus perempuan itu dengan nada tinggi.
Lelaki itu angkat bahu. Tidak peduli.
“Sesungguhnya, kita terlalu menganggap semuanya tepat berada di tempat yang seharusnya. Padahal sebenarnya tidak. Kita terlalu lama berpura-pura untuk hal-hal yang semu dan membangun asumsi bahwa segalanya berjalan sebagaimana mestinya. Sudahlah aku harus pergi. Dan memang seharusnya begitu,” kata lelaki itu dengan nada getir lalu mematikan handphonenya. Ia kemudian beranjak dari kursi.
Sementara itu, tepat dibelakang punggung sang lelaki, pada kursi yang lain namun dengan sisi yang berlawanan, perempuan itu terdiam dengan handphone yang masih melekat ditelinga. Airmata menetes di tebing pipinya.
Digenggamnya erat handphone tersebut dan bibirnya berbisik lirih, “Aku tetap mencintaimu..sampai kapanpun..”
Cikarang, 28 Mei 2013
Sumber foto
Related Posts
Perempuan itu memandang mesra ke arahku. Aku pangling. Salah tingkah. Dia lalu memegang lenganku erat-erat seakan tak ingin melepaskan.
Kami lalu berjalan bergandengan tangan di sebuah mall yang ramai.
"Aku selalu berharap ...
Posting Terkait
Hancur!. Hatiku betul-betul hancur kali ini. Berantakan!
Semua anganku untuk bersanding dengannya, gadis cantik tetanggaku yang menjadi bunga tidurku dari malam ke malam, lenyap tak bersisa.
Semua gara-gara pelet itu.
Aku ingat bulan ...
Posting Terkait
Baginya, cinta adalah nonsens.
Tak ada artinya. Dan Sia-sia.
Entahlah, lelaki itu selalu menganggap cinta adalah sebentuk sakit yang familiar. Ia jadi terbiasa memaknai setiap desir rasa yang menghentak batin tersebut sebagai ...
Posting Terkait
Flash fiction atau fiksi kilat telah menjadi fenomena sastra yang semakin populer di era digital ini. Dengan keterbatasan kata yang ekstrem—biasanya di bawah 1.000 kata, bahkan seringkali hanya 55-300 kata—flash ...
Posting Terkait
Aku meradang. Merah. Juga bernanah.
Sudah tiga hari aku bercokol disini, di bokong sebelah kiri salah satu penyanyi dangdut terkenal ibukota, Nana Daranoni.
Sang pemilik bokong tampaknya kurang merasa nyaman atas kehadiranku. ...
Posting Terkait
Dia baru saja menuntaskan tugasnya sore itu: melubangi kepala seorang boss besar dengan peluru yang ditembakkan olehnya dari jarak jauh, atas order boss besar yang lain.
Dia puas menyelesaikan tugasnya dan ...
Posting Terkait
Aku menyeringai puas. Bangga.
Sebagai Debt Collector yang disegani dan ditakuti, membuat debitur bertekuk lutut tanpa daya dan akhirnya terpaksa membayar utangnya merupakan sebuah prestasi tersendiri buatku.
Sang debitur, lelaki tua dengan ...
Posting Terkait
Istriku uring-uringan dan mendadak membenciku dua hari terakhir ini.
"Aku benci tahi lalatmu. Tahi lalat Rano Karnomu itu!" cetusnya kesal.
"Pokoknya, jangan dekat-dekat! Aku benciii! Benciii! Pergi sanaa!", serunya lagi, lebih galak.
Aku ...
Posting Terkait
Teng!-Teng!
Tubuhku dipukul dua kali. Begitu selalu. Setiap jam dua dini hari. Biasanya aku terbangun dari lelap tidur dan menyaksikan sesosok lelaki tua, petugas ronda malam kompleks perumahan menatapku puas dengan ...
Posting Terkait
Gerimis jatuh di kota ini, seperti malam itu ketika ia berlari ke rumah sakit, hanya untuk menemukan tubuhmu terbaring kaku di ranjang putih.
Kecelakaan, kata dokter.
Tak seorang pun tahu berapa kali ...
Posting Terkait
Restoran itu masih sama. Dinding bata merah, lampu gantung kuning redup, dan pelayan tua yang hafal pesanannya—nasi goreng pedas tanpa kecap.
Tapi ada yang tak lagi sama: kursi sebelah kanan kosong.
Dulu, ...
Posting Terkait
am tangan itu sudah berhenti berdetak. Jarumnya membeku di angka 10:15. Itu waktu Papa pergi, tertidur selamanya di kursi malasnya, dengan tangan menggenggam jam tangan perak itu.
Aku menyentuh kacanya yang ...
Posting Terkait
Lelaki tua yang mengenakan blankon yang duduk persis didepanku menatapku tajam. Pandangannya terlihat misterius. Kumis tebalnya menambah sangar penampilannya. Menakutkan.
Aku bergidik. Dukun itu mendengus dan mendadak ruangan remang-remang disekitarku menerbitkan ...
Posting Terkait
Seusai resepsi yang riuh, rumah kontrakan kecil itu sunyi. Nadira menatap kotak kayu di pangkuannya—mas kawin dari Reza: satu buku tulis, berisi 30 halaman tulisan tangan.
“Aku tahu kamu nggak suka ...
Posting Terkait
Mereka pernah berjanji: tak ada kebohongan, tak ada rahasia.
Tapi malam itu, saat Kay mendapati pesan masuk di ponsel Rendra—"Aku rindu. Kapan kita bertemu lagi?"—semua janji runtuh seperti kartu domino.
Rendra terdiam. ...
Posting Terkait
Di kafe tempat biasa mereka duduk, Arga memesan dua kopi.
Seperti dulu.
"Yang satu buat siapa?" tanya barista keheranan.
"Kenangan," jawab Arga singkat, lalu duduk di kursi sudut.
Kursi di depannya kosong, seperti sudah ...
Posting Terkait
FLASH FICTION: ROMANSA DI MALL
FLASH FICTION : CINTA SATU MALAM
Menikmati Sensasi Kejutan dan Hentakan Imaji dari Narasi
FLASH FICTION : TRAGEDI BISUL
FLASH FICTION: PENEMBAK JITU
FLASH FICTION: SETAN KREDIT
FLASH FICTION : TAHI LALAT RANO KARNO
FLASH FICTION : TIANG LISTRIK
Flash Fiction : Gerimis dan Wajahmu
Flash Fiction : Kursi Sebelah Kanan
Flash Fiction : Jam Tangan Ayah
Flash Fiction : Luka di Balik Janji
Flash Fiction : Kursi Kosong
“periiihh,..” bisik batin wanita itu.
* keren mas Amril… ;d
keren… i like..
kunjungi blogku mas… thanks.
keren mas …… saya kurang begitu suka membaca , tapi cerita ini keren..