Merajut Ketahanan di Tengah Badai: Refleksi Humanis dalam Mengelola Rantai Pasok Global – Sebuah Curhat Galau Seorang Manager Pengadaan BUMN Konstruksi
“The only constant in life is change” – kata-kata Heraclitus ini terasa begitu relevan ketika saya merenungkan perjalanan sebagai seorang manager pengadaan di tengah pusaran ketidakpastian global yang kian kompleks.
Setiap pagi, ketika membuka laptop dan melihat dashboard supply chain yang dipenuhi alert merah dan kuning, saya menyadari bahwa dunia yang kita hadapi hari ini sangat berbeda dari sepuluh tahun yang lalu.
Pandemi COVID-19 telah mengajarkan kita bahwa supply chain global yang kita banggakan selama bertahun-tahun ternyata rapuh. Ketika pabrik-pabrik di Asia tutup, ketika kapal Ever Given terdampar di Terusan Suez, ketika konflik geopolitik menciptakan embargo perdagangan, saya menyadari bahwa paradigma “just-in-time” dan “single sourcing” yang selama ini diandalkan perlu direfleksikan ulang.
Christopher Tang dalam penelitiannya tentang “Robust Supply Chain Strategies” menekankan bahwa resiliensi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Sebagai manager pengadaan, saya mulai memahami bahwa peran kita tidak hanya sebagai cost center yang berfokus pada efisiensi, tetapi sebagai strategic enabler yang membangun ketahanan organisasi.
Pengalaman menghadapi disruption telah mengubah cara pandang saya tentang supplier management. Jika dulu kita berlomba mencari supplier tunggal dengan harga termurah, kini saya menerapkan strategi “portfolio sourcing” yang mengkombinasikan supplier lokal, regional, dan global yang dapat saling backup ketika salah satu mengalami gangguan.

Yossi Sheffi dalam “The Resilient Enterprise” menjelaskan konsep redundancy yang cerdas, bukan sekadar duplikasi yang boros, tetapi diversifikasi yang memberikan nilai tambah. Saya mulai mengembangkan supplier base yang tidak hanya kompetitif secara harga, tetapi juga memiliki kapabilitas yang komplementer.
Era digital telah memberikan kita tools yang powerful untuk visibility end-to-end. Implementasi sistem Enterprise Resource Planning (ERP) terintegrasi dengan supplier portal, real-time tracking, dan predictive analytics telah mengubah cara kita mengantisipasi risiko.
MIT Sloan Management Review dalam artikelnya tentang “Digital Supply Chain Transformation” menyebutkan bahwa organisasi yang memanfaatkan data analytics untuk procurement decision-making memiliki resiliensi 2,5 kali lebih tinggi dibanding yang masih mengandalkan intuisi semata.
Saya mulai menginvestasikan waktu untuk memahami pattern demand, menganalisis lead time variance, dan mengidentifikasi early warning signals dari data historis. Setiap anomali dalam supplier performance menjadi pembelajaran berharga untuk strengthening future contracts.
Perubahan iklim dan tekanan stakeholder untuk environmental responsibility telah mengubah kriteria seleksi supplier. Saya tidak lagi hanya mengevaluasi price, quality, delivery, dan service, tetapi juga menambahkan sustainability metrics sebagai parameter wajib.
Michael Porter dan Mark Kramer dalam “Creating Shared Value” mengingatkan bahwa sustainable business practice bukan hanya tentang compliance, tetapi tentang creating long-term competitive advantage. Supplier yang memiliki green certification, menggunakan renewable energy, dan menerapkan circular economy principle menjadi prioritas dalam procurement portfolio.
Dunia supply chain berubah dengan sangat cepat. Apa yang kita pelajari tahun lalu mungkin sudah tidak relevan hari ini. Saya mulai menerapkan prinsip “learning organization” yang diusung Peter Senge, organisasi yang terus belajar, beradaptasi, dan berkembang. Setiap case study kegagalan supply chain di industri lain menjadi pembelajaran berharga untuk memperkuat strategi kita.
Pengadaan tidak lagi bisa bekerja dalam silo. Koordinasi intensif dengan divisi operations, finance, risk management, dan bahkan marketing menjadi kunci sukses. Saya mulai mengadopsi pendekatan “cross-functional team” untuk setiap strategic sourcing project. Di balik setiap kontrak dan purchase order, ada manusia dengan tantangan dan aspirasi masing-masing.
Pandemi telah mengajarkan saya pentingnya empati dalam supplier relationship. Ketika supplier mengalami kesulitan cash flow, bagaimana kita bisa membantu mereka survive sambil tetap menjaga kepentingan perusahaan?

Saya mulai menerapkan “partnership approach” alih-alih “adversarial relationship”. Regular supplier development program, joint cost reduction initiative, dan collaborative innovation project menjadi cara untuk membangun mutual trust dan shared value.
Ketidakpastian memang menciptakan kebingungan, tetapi juga membuka peluang untuk inovasi dan improvement. Setiap crisis adalah kesempatan untuk merefleksikan asumsi fundamental dan membangun fondasi yang lebih kuat. Sebagai manager pengadaan di era disrupsi, saya menyadari bahwa kita bukan hanya buyer atau negotiator, tetapi architect of resilience. Setiap keputusan procurement yang kita buat hari ini akan menentukan seberapa kuat organisasi kita menghadapi ketidakpastian di masa depan.
Nassim Nicholas Taleb dalam “Antifragile” mengajarkan konsep yang inspiratif tentang sistem yang tidak hanya bertahan dari shock, tetapi menjadi lebih kuat karenanya. Itulah visi yang ingin saya wujudkan, supply chain yang antifragile, yang tumbuh dan berkembang justru karena menghadapi tantangan.
Perjalanan ini tidak mudah, tetapi saya yakin bahwa dengan mindset yang tepat, tools yang appropriate, dan collaboration yang solid, kita dapat membangun supply chain yang tidak hanya efficient, tetapi juga resilient dan sustainable.
Ini adalah warisan terbaik yang dapat kita berikan untuk generasi mendatang, sebuah sistem yang mampu beradaptasi, berevolusi, dan berkembang dalam menghadapi segala bentuk ketidakpastian yang akan datang.