Dari Foto Balita ke Jejak Seumur Hidup: Mengelola Sharenting dengan Hati
“Kita tidak selalu bisa membangun masa depan untuk kaum muda kita, tetapi kita dapat membangun kaum muda kita untuk masa depan.” – Franklin D. Roosevelt
Sore itu, seorang ibu muda di salah satu kafe Jakarta duduk dengan riang, ponsel di tangan, senyum merekah. Di layarnya, ratusan “like” dan komentar memuji foto putri kecilnya yang sedang mandi busa, dengan pipi gembul dan mata polos yang menatap kamera. Ia bangga. Merasa dicintai oleh komunitasnya.
Namun, di balik layar yang berkilau itu, ada sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan: foto sang buah hati kini telah tersimpan di ribuan gawai orang asing, termasuk mungkin di tangan mereka yang berniat jahat.
Inilah realitas yang kita hadapi hari ini. Di era digital yang serba terhubung, batas antara berbagi kebahagiaan dan mengeksploitasi privasi anak menjadi kabur. Fenomena ini memiliki nama: sharenting, gabungan dari kata “sharing” dan “parenting”. Istilah yang awalnya terdengar asing, kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan jutaan orangtua di Indonesia dan seluruh dunia.
Indonesia, dengan 212 juta pengguna internet pada Januari 2025 atau setara dengan 74,6 persen dari total populasi, telah menjadi salah satu negara dengan penetrasi internet tertinggi di Asia Tenggara.
Yang lebih mengkhawatirkan, data Badan Pusat Statistik tahun 2024 menunjukkan bahwa 39,71 persen anak usia dini di Indonesia telah menggunakan telepon seluler, sementara 35,57 persen lainnya sudah mengakses internet. Bahkan lebih mencengangkan, 5,88 persen anak di bawah usia satu tahun sudah menggunakan gawai.
Di tengah gelombang digitalisasi yang deras ini, para orangtua Indonesia khususnya generasi milenial yang mencapai 25,17 persen dari total pengguna internet, terperangkap dalam dilema.
Di satu sisi, mereka ingin berbagi kebahagiaan dan pencapaian anak-anak mereka dengan keluarga dan teman. Di sisi lain, setiap kali mereka menekan tombol “unggah”, mereka secara tidak sadar sedang membangun jejak digital yang akan melekat selamanya pada identitas anak mereka.
Penelitian menunjukkan bahwa orangtua sering melakukan aktivitas sharenting di media sosial, baik secara sadar atau tidak sadar, seperti mengunggah foto atau video mengenai kehidupan pribadi di berbagai platform seperti Instagram, Twitter, dan bahkan YouTube. Yang memprihatinkan, studi menemukan kurangnya kesadaran orangtua dalam menjaga privasi anaknya.
Foto-foto yang menampilkan identitas lengkap, lokasi sekolah, rutinitas harian, bahkan momen-momen pribadi yang seharusnya menjadi kenangan keluarga, kini tersebar luas di dunia maya.
Motivasi di balik sharenting sebenarnya sangat manusiawi. Banyak orangtua merasa mendapat dukungan sosial dan validasi ketika unggahan mereka mendapat banyak “like” atau komentar positif.
Bagi ibu baru yang merasa terisolasi, sharenting menjadi jembatan untuk tetap terhubung dengan dunia luar. Bagi ayah yang bangga, berbagi pencapaian anak adalah cara merayakan keberhasilan bersama komunitas. Namun, di balik niat baik ini, tersembunyi risiko yang jarang disadari.
Investigasi Komisi Keamanan Anak Australia pada tahun 2013 menemukan fakta mengejutkan: foto-foto polos anak-anak yang awalnya diunggah di media sosial dan blog keluarga mencapai setengah dari jumlah materi yang ditemukan di beberapa situs berbagi gambar para pedofil.
Di Indonesia sendiri, ancaman ini sangat nyata. Pada tahun 2017, jaringan pedofil anak di Facebook dengan nama Official Candy’s Group terbongkar dengan 7.479 anggota dan ratusan konten pornografi anak-anak. Fakta mengerikan ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi setiap orangtua yang dengan mudah membagikan foto anak mereka di ruang publik digital.
Risiko lainnya meliputi pencurian identitas. Ketika informasi seperti nama lengkap, tanggal lahir, alamat rumah, hingga sekolah anak tersebar, peluang pencurian identitas meningkat tajam.
Pelaku kejahatan siber dapat memanfaatkan data tersebut untuk membuat akun palsu, mengajukan kredit, hingga menipu pihak lain menggunakan identitas anak. Lebih jauh lagi, dilaporkan bahwa 92 persen anak di Amerika sudah memiliki jejak digital sebelum usia dua tahun. Bayangkan, sebelum seorang anak dapat berbicara atau berjalan, identitas digitalnya telah terbentuk tanpa persetujuan mereka.
Dampak psikologis jangka panjang juga tidak bisa diabaikan. Unggahan yang tampak lucu di masa kecil bisa menjadi sumber rasa malu ketika anak beranjak dewasa. Foto saat anak tantrum atau cerita nilai jelek di sekolah bisa muncul kembali dan memengaruhi penilaian calon universitas maupun pemberi kerja yang kini kerap memeriksa jejak digital. Ketika terlalu banyak detail pribadi terungkap, anak bisa merasa seolah semua orang mengenalnya, kondisi yang berbahaya karena mereka bisa kesulitan membedakan antara orang asing dan kenalan.
Studi yang dilakukan oleh peneliti di Indonesia menemukan bahwa sharenting dapat menyalahi hak privasi anak apabila orangtua membagikan hal-hal privat seperti bagian tubuh tertentu, bagian wajah yang terekspos dengan jelas, atau bahkan data informasi anak.
Hal ini tidak bisa dianggap sekadar berbagi cerita tentang anak, karena selain menyalahi hak privasi anak, kita juga telah menempatkan anak pada risiko seperti memancing orang jahat untuk berbuat hal berbahaya pada anak atau bahkan orangtuanya.
Tantangan terbesar di Indonesia adalah kesadaran yang masih rendah. Banyak orangtua belum memahami bahwa sekali informasi diunggah ke internet, kontrol atas data tersebut hilang selamanya.
Algoritma media sosial yang dirancang untuk memaksimalkan engagement justru mendorong konten yang lebih “menggemaskan” atau “dramatis”, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang pada privasi anak. Budaya kolektif Indonesia yang cenderung terbuka dalam berbagi momen keluarga juga turut memperparah situasi ini.
Tantangan lainnya adalah tekanan sosial. Di era di mana kesuksesan parenting seolah diukur dari seberapa “sempurna” keluarga terlihat di media sosial, banyak orangtua merasa terpaksa untuk terus mengunggah konten anak mereka agar tidak tertinggal atau dianggap kurang peduli. FOMO atau fear of missing out tidak hanya dialami oleh remaja, tetapi juga oleh para orangtua yang khawatir tidak mendapat pengakuan dari komunitas digitalnya.
Dari sisi regulasi, Indonesia masih memerlukan pembaharuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan data pribadi anak di era digital. Meskipun Pasal 16 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak menggarisbawahi hak setiap anak atas privasi dan perlindungan terhadap pelanggaran privasi terkait rumah, keluarga, komunikasi, dan nama baik mereka, implementasi di lapangan masih jauh dari ideal.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Solusinya bukan melarang orangtua untuk berbagi momen bersama anak di media sosial, melainkan mendorong praktik sharenting yang bijak dan bertanggung jawab.
Pertama, orangtua harus meminta persetujuan anak, terutama ketika mereka sudah cukup usia untuk memahami konteks media sosial. Pakar sharenting menekankan bahwa ketika kita berbagi sesuatu tentang anak tanpa melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan, kita kehilangan kesempatan berharga untuk mengajarkan konsep persetujuan.
Kedua, hindari berbagi informasi yang terlalu pribadi atau sensitif. Jangan pernah membagikan foto anak dalam kondisi berpakaian minim, informasi tentang lokasi sekolah secara real-time, jadwal rutin harian, atau data pribadi seperti nama lengkap dan tanggal lahir.
Ketiga, perketat pengaturan privasi akun media sosial. Pastikan hanya orang-orang terpercaya yang dapat melihat unggahan tentang anak. Keempat, berpikirlah jangka panjang sebelum mengunggah. Tanyakan pada diri sendiri: apakah konten ini layak untuk publik? Apakah anak suatu hari nanti akan merasa nyaman atau malah dirugikan dengan unggahan ini?
Kelima, kurangi frekuensi atau yang disebut oversharing. Semakin anak tumbuh besar, semakin banyak ruang privasi yang mereka butuhkan. Keenam, lindungi data pribadi dengan tidak pernah membagikan nama lengkap, alamat, nomor sekolah, atau informasi yang bisa dipakai untuk kejahatan digital.
Ketujuh, edukasi diri tentang literasi digital. Literasi sharenting bukan sekadar keterampilan teknis dalam mengunggah konten, tetapi menyangkut pemahaman akan hak anak atas privasi dan dampak jangka panjang dari jejak digital yang kita ciptakan untuk mereka.
Pemerintah juga perlu mengambil peran aktif. Kementerian Komunikasi dan Digital telah menunjukkan komitmen dengan menyusun tata kelola perlindungan anak dalam penyelenggaraan sistem elektronik.
Namun, upaya ini perlu didukung dengan kampanye masif tentang kesadaran sharenting, pelatihan literasi digital bagi orangtua, dan penegakan hukum yang tegas terhadap penyalahgunaan konten anak di internet.
Platform media sosial juga harus bertanggung jawab. Mereka perlu menciptakan fitur-fitur yang memudahkan orangtua untuk melindungi privasi anak, seperti opsi untuk membatasi siapa yang dapat menyimpan atau membagikan ulang foto anak, peringatan otomatis ketika mengunggah foto anak dengan informasi sensitif, dan sistem pelaporan yang lebih efektif untuk konten yang melanggar hak privasi anak.
Komunitas dan lingkungan sosial juga memainkan peran penting. Jika melihat teman atau keluarga yang melakukan sharenting berlebihan, kita perlu memiliki keberanian untuk memulai percakapan yang jujur namun penuh kasih sayang tentang risiko yang ada. Bukan untuk menghakimi, tetapi untuk saling mengingatkan dan melindungi generasi masa depan.
Yang terpenting, kita perlu mengubah paradigma bahwa kesuksesan parenting tidak diukur dari seberapa viral unggahan tentang anak di media sosial, melainkan dari seberapa aman, bahagia, dan berkembang anak kita dalam kehidupan nyata.
Kebahagiaan sejati tidak memerlukan validasi dari ribuan “like”, tetapi dari hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan antara orangtua dan anak.
Anak-anak kita layak mendapat privasi. Mereka layak untuk tumbuh dan menemukan jati diri mereka sendiri tanpa dibebani oleh jejak digital yang diciptakan sebelum mereka dapat memberikan persetujuan.
Setiap foto, setiap status, setiap video yang kita bagikan adalah batu bata yang membangun identitas digital mereka. Dan kita, sebagai orangtua, pemegang amanah terbesar untuk memastikan identitas itu dibangun dengan bijak, penuh pertimbangan, dan selalu mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak.
Mari kita ingat bahwa cinta sejati tidak perlu dibuktikan melalui layar. Cinta sejati adalah melindungi, menjaga, dan menghormati privasi mereka yang kita cintai, bahkan ketika dunia digital menggoda kita untuk melakukan sebaliknya.
“Jika kamu ceroboh dalam membesarkan anak-anakmu, menurut saya apa pun yang kamu lakukan tidak akan terlalu berarti.” – Jackie Kennedy