Hujan deras mengguyur kota Medan sore itu. Di balik jendela kamarnya yang berkabut, Dira menatap kosong ke arah rumah seberang. Rumah itu gelap, seperti biasa. Sudah tiga tahun Daniel pindah ke Jakarta mengejar mimpinya menjadi arsitek.
“Dira, kopi hangatnya,” suara Mama memecah lamunannya.
“Terima kasih, Ma.” Dira tersenyum tipis, menerima cangkir keramik biru?—?hadiah dari Daniel sebelum ia pergi.
Mama duduk di sampingnya, menatap wajah putrinya yang pucat.
“Masih memikirkan dia?”
Dira mengangguk pelan.
“Aku tahu ini bodoh, Ma. Kami hanya teman masa kecil. Dia punya kehidupan baru di sana. Mungkin sudah punya seseorang…”
“Tapi kamu tidak pernah memberitahunya perasaanmu.”
“Bagaimana bisa? Aku hanya gadis tetangga yang biasa-biasa saja. Sementara dia… dia cemerlang, Ma. Lulus dengan nilai terbaik, diterima di perusahaan besar. Aku? Aku hanya guru TK di kampung ini.”
Mama mengusap lembut rambut putrinya.
“Cinta tidak mengenal jarak atau status, nak. Yang penting adalah keberanian untuk mengatakannya.”
Malam itu, Dira membuka kotak kenangan di bawah tempat tidurnya. Puluhan surat yang tak pernah ia kirimkan tergeletak rapi di sana. Setiap lembar berisi curahan hati yang tak berani ia sampaikan.
Kata-kata tentang betapa ia merindukan tawa Daniel, cara ia menjelaskan matematika dengan sabar, dan bagaimana jantungnya berdebar setiap kali mata mereka bertemu.
Di Jakarta, Daniel duduk sendirian di apartemennya yang mewah tapi terasa dingin. Di layar laptopnya terbuka profil media sosial Dira. Wajahnya tersenyum dikelilingi anak-anak TK. Cantik seperti biasa.
“Sudah tiga tahun, tapi aku masih tidak berani menghubunginya,” gumamnya. “Dia pasti sudah punya kehidupan sendiri. Mungkin sudah menikah. Gadis sebaik dia pasti sudah dilamar orang.”
Teleponnya berdering. Mama-nya.
“Daniel, kakekmu sakit keras. Kamu harus pulang.”
***
Seminggu kemudian, Daniel tiba di Medan. Rumahnya yang dulu selalu ramai kini sepi. Kakek terbaring lemah di ranjang, tapi matanya berbinar melihat cucu kesayangannya.
“Kakek tahu waktuku tidak lama lagi,” suara kakek parau. “Sebelum kakek pergi, kakek ingin bertanya… kenapa kamu tidak pernah berbicara dengan Dira? Kakek tahu kamu mencintainya.”
Daniel terdiam, air matanya jatuh.
“Aku takut, Kek. Takut dia menolak. Takut aku tidak cukup baik untuknya.”
“Bodoh. Cinta bukan tentang sempurna atau tidak. Cinta adalah tentang keberanian. Jangan biarkan ketakutanmu membuat tanganmu tak sampai meraihnya.”
Sore itu, Daniel berdiri di depan rumah Dira. Jantungnya berdebar. Tapi sebelum ia sempat mengetuk pintu, Dira keluar dengan payung.
Mereka berdiri berhadapan, diam.
Hujan mulai turun lagi.
“Daniel…” suara Dira bergetar.
“Dira, aku… aku harus mengatakan sesuatu yang sudah kubendung tiga tahun.”
“Aku juga.”
Mereka tertawa, canggung.
“Kamu dulu,” kata Daniel.
“Tidak, kamu dulu. Kamu yang pulang dari jauh.”
Daniel mengambil napas dalam. “Aku mencintaimu, Dira. Sejak kita masih kecil. Aku pergi ke Jakarta bukan untuk menjauh darimu, tapi untuk membangun sesuatu agar aku merasa layak untukmu. Tapi ternyata… aku hanya menjadi pengecut yang tidak berani mengatakannya.”
Air mata Dira jatuh bercampur hujan.
“Kamu tahu apa yang paling menyakitkan? Selama tiga tahun ini aku menulis ratusan surat untukmu. Tapi tak satupun aku kirimkan karena aku pikir… aku pikir aku tidak cukup baik untukmu.”
Daniel melangkah maju, menggenggam tangan Dira. “Ternyata kita berdua bodoh.”
“Sangat bodoh.”
Di bawah hujan Medan yang dingin, tangan yang selama ini tak sampai meraih, akhirnya bertemu.
Tiga tahun terbuang percuma karena ketakutan, tapi hari ini?—?hari ini mereka memulai.
Dari jendela rumahnya, Mama Dira tersenyum sambil mengusap air mata. Di rumah seberang, Kakek Daniel, yang ternyata tidak sesakit yang ia bilang , tersenyum puas.
“Akhirnya,” gumam sang kakek. “Akhirnya tangan mereka sampai.”
amu selalu bercakap bagaimana sesungguhnya cinta itu dimaknai.
Pada sebuah sudut cafe yang redup dengan dendang suara Live Music terdengar pelan seraya memandang rimbun asap rokok menyelimuti hampir setengah dari ruangan, ...
Hai Perempuan Bermahligai Rembulan,
Apa kabarmu?
Cuaca di awal bulan Oktober ini sungguh sangat tak terduga. Seharusnya--menurut ramalan meteorologi-- hujan akan turun membasahi bumi, dan awal bencana banjir akan tiba. Tapi ternyata ...
ita selalu nyata dalam maya.
Selalu ada dalam ketiadaan. Selalu hadir dalam setiap ilusi. Begitu katamu. Selalu.
Entahlah, terkadang aku tak pernah bisa memahami makna kalimatmu. Absurd. Aneh. Juga misterius. Bagaimanapun kamu ...
Hujan November selalu membawa kenangan. Sally berdiri di tepi jendela apartemennya yang kecil, memandang kota yang berkilauan basah di bawah lampu-lampu jalan. Lima tahun sudah berlalu, tapi kadang rasanya seperti ...
Ia, lelaki yang berdiri pada petang temaram selalu membasuh setiap waktu yang berlalu bergegas dengan rindu yang basah pada perempuan kilau rembulan, jauh disana. Ditorehkannya noktah-noktah kangen itu pada setiap ...
"Ini untuk dia, yang pergi membawa kelam dihatinya," suara perempuan itu bergetar di ujung telepon. Aku menggigit bibir seraya menatap Sonny, sang operator lagu pasanganku, yang balas menatapku dengan senyum ...
Langit senja menggantung lesu di atas kota yang mulai lelah. Lampu-lampu jalan menyala satu per satu, membentuk jejak cahaya yang samar. Di bawahnya, seorang pemuda berjaket lusuh berdiri diam di ...
M.F.E.O
4 huruf tersebut selalu tertera di akhir email lelaki itu.
Juga ketika mereka mengakhiri percakapan chatting didunia maya.
Made For Each Other, bisik lirih perempuan hening malam sembari menyunggingkan senyum. Matanya menerawang menatap ...
Konon, katamu, secara zodiak kita berjodoh.
Aku berbintang Aries, Kamu Sagitarius.
Persis seperti nama depan kita : Aku Aries dan Kamu Sagita.
Cocok. Klop. Pas.
Kamu lalu mengajukan sejumlah teori-teori ilmu astrologi yang konon ...
Lelaki itu menghirup cappuccinonya.
Menyesap segala rasa yang menyertai dengan perih menusuk dada.
Ia lalu melirik jam tangannya. Sudah 2 jam lebih dia di Cafe tersebut. Sambil menghela nafas panjang ia melihat ...
My Momma always said:
Life was like a box of chocholates
You never know
What you're gonna get
-Tom Hanks, Forrest Gump,1994
Saskia tersenyum tipis setelah membaca sekilas potongan kutipan ungkapan yang ditulis diatas sebuah ...
Catatan Pengantar:
Narsis kali ini saya angkat dari Cerpen saya yang dimuat (sekaligus menjadi judul utama kumpulan cerpen Blogfam yang diterbitkan Gradien Mediatama tahun 2006 dalam judul "Biarkan Aku Mencintaimu Dalam ...
Pengantar :
Setelah Saberin (Kisah Bersambung Interaktif) saya mencoba sebuah ekspresimen penulisan lagi yang saya beri nama Narsis atau Narasi Romantis.
Tulisan Narsis berupa rangkaian prosa puitis pendek dan (diharapkan) akan ...
erempuan Wangi Bunga itu mengerjapkan mata, ia lalu membaca kembali baris-baris kalimat pada emailnya yang sudah siap dikirim ditemani lantunan lagu "Takdir Cinta" yang dinyanyikan oleh Rossa. Hatinya mendadak bimbang. ...
Inspirasi foto : Suasana Sunset di Pantai Losari Makassar, karya Arfah Aksa Dji Sam Soe Potret Mahakarya Indonesia
ada sampan yang sendiri.
Terdampar di sisi pantai Losari yang sunyi. Kita menyaksikan rona ...
Rintik gerimis senja selalu membawa lamunanku padamu. Ketika irisan-irisan air itu jatuh dari langit, kau akan senantiasa memandangnya takjub dari balik buram kaca jendela. Menikmatinya. Meresapinya. Tak berkedip.
"Menikmati gerimis senja ...