Ketika Bencana Menjadi Panggung: Fenomena Pencitraan di Tengah Duka
“Ketika krisis datang, tindakan kita berbicara lebih keras dari pencitraan, karena luka manusia tidak menerima sandiwara.” — Ban Ki-moon
Matahari belum sepenuhnya tenggelam ketika air bah menerjang rumah-rumah di kawasan Sumatera. Di tengah kepanikan, tangisan, dan deru helikopter penyelamat, ada adegan lain yang terus berulang dengan ritme yang hampir terpola: kedatangan para pejabat dengan rombongan kamera, senyum yang dikemas sebagai empati, dan gestur yang didesain untuk layar ponsel.
Dalam hitungan menit, foto dan video mereka telah tersebar di dunia maya, menjelma narasi kepahlawanan yang dikonstruksi dengan cermat. Namun di balik layar digital itu, para korban masih menunggu bantuan nyata, masih berharap ada tangan yang mengulur bukan hanya untuk berfoto, tetapi untuk benar-benar menyelamatkan.
Ini bukan fenomena baru, tetapi di era digital yang kita jalani kini, pencitraan di tengah bencana telah menjelma menjadi teater politik yang canggih. Indonesia, negara yang mencatat 540 korban meninggal akibat bencana alam sepanjang 2024, dengan lebih dari 8,1 juta orang terpaksa mengungsi, kini bukan hanya berjuang melawan gempa, banjir, dan longsor. Kita juga sedang menghadapi epidemi lain yang lebih halus namun sama merusaknya: krisis keaslian kepemimpinan di saat yang paling kritis.
Ketika Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi, kerap terlihat di lokasi bencana hingga mendapat julukan “gubernur yang sedang mengungsi,” publik terpecah menjadi dua kubu. Ada yang memuji karena hadir di garis depan, ada pula yang mengejek sebagai pencitraan. Sebagian melihatnya sebagai pemimpin yang turun tangan langsung, yang hadir ketika rakyat membutuhkan.
Namun sebagian lain bertanya: apakah ini ketulusan atau koreografi? Apakah ini kepemimpinan atau pertunjukan yang dirancang untuk konsumsi media sosial? Di negara dengan 139 juta pengguna media sosial pada Januari 2024—hampir setengah dari total populasi—pertanyaan ini bukan sekadar skeptisisme, melainkan kebutuhan untuk memahami bagaimana kekuasaan dan citra saling berkelindan di era digital.
Akar masalah ini sebenarnya tertanam dalam psikologi kekuasaan dan dinamika politik modern. Penelitian tentang politik bencana menunjukkan bahwa bencana alam dapat berfungsi sebagai “percikan politik” yang mengganggu kehidupan politik sehari-hari, memicu mobilisasi oposisi ketika masyarakat menghubungkan bencana dengan kegagalan politik.
Para pejabat memahami ini dengan baik. Mereka tahu bahwa dalam momen krisis, visibilitas adalah mata uang politik yang paling berharga. Hadir di lokasi bencana, walaupun kadang menghambat operasi penyelamatan, dianggap sebagai bukti kepedulian yang lebih persuasif daripada kebijakan pencegahan yang tak terlihat.
Namun ada paradoks yang menyakitkan di sini. Peraturan Kepala BNPB Nomor 3 Tahun 2016 memang mendorong kepala daerah melakukan pengecekan lapangan untuk memastikan koordinasi berjalan. Tetapi ketika protokol keselamatan diabaikan demi momentum foto, ketika rombongan pejabat justru memperlambat evakuasi korban, maka kehadiran itu berubah menjadi beban, bukan berkah.
Di era dimana 58,9 persen pengguna media sosial Indonesia menggunakannya untuk hiburan dan hampir setengahnya untuk melihat apa yang sedang dibicarakan, batas antara ketulusan dan pertunjukan menjadi kabur.
Fenomena ini bukan monopoli Indonesia. Di India, seorang menteri dihujat di media sosial karena dipanggul polisi melewati genangan air saat mengunjungi area banjir: ia memilih tidak membasahi celananya yang putih bersih.
Di berbagai negara, ritual kunjungan pejabat ke lokasi bencana telah menjadi bahan kajian tentang bagaimana bencana alam menjadi arena di mana aktor-aktor politik berusaha membentuk narasi. Konteks politik yang lebih luas, bahkan yang tidak terkait langsung dengan bencana, dapat menentukan apakah suatu bencana akan terpolitisasi atau tidak.
Di Inggris, banjir tahun 2015 memicu kontes pembingkaian narasi yang dipengaruhi oleh situasi politik domestik, sementara banjir serupa di tahun 2005 tidak mengalami politisasi yang sama.
Yang membuat situasi ini semakin rumit adalah peran media sosial sebagai amfiteater modern tempat drama ini dipentaskan. Dengan 85,3 persen pengguna internet Indonesia menggunakan Instagram dan 90,9 persen menggunakan WhatsApp, setiap tindakan pejabat langsung diawasi, dianalisis, diparodikan, atau dipuji oleh jutaan mata digital.
Teori “two-step flow” yang dikemukakan Paul Lazarsfeld menjelaskan bahwa opini publik terbentuk melalui pemimpin opini—dan kini, warganet telah menjadi pemimpin opini baru. Satu pernyataan yang tidak sensitif, satu foto yang terlihat terlalu dipoles, dapat dengan cepat berubah menjadi krisis citra.
Namun ini bukan hanya tentang citra para pejabat. Ini tentang dampak mendalam dari ketidaktulusan terhadap jiwa-jiwa yang sedang terluka. Ketika seorang ibu yang kehilangan rumahnya melihat pejabat berswafoto dengan latar belakang kehancuran yang ia alami, ada luka yang tercipta, luka yang tidak terlihat di permukaan tetapi menancap dalam di relung kepercayaan.
Ketika seorang anak yang kehilangan orang tuanya dalam longsor menyaksikan konferensi pers yang penuh jargon politik tanpa solusi konkret, ada harapan yang mati. Komunikasi publik yang seharusnya menjadi jembatan antara pemerintah dan rakyat malah menjelma menjadi jurang pemisah.
Penelitian tentang komunikasi krisis menekankan pentingnya empati yang autentik dalam komunikasi pemerintah. Teori komunikasi klasik Harold Lasswell menegaskan lima unsur penting dalam komunikasi efektif. Ketika salah satu unsur terganggu, misalnya pesan yang tidak sesuai dengan kebutuhan publik, maka komunikasi akan gagal dan bahkan memperdalam krisis.
Rakyat tidak menuntut pejabat publik menjadi sempurna. Yang dibutuhkan hanyalah komunikasi yang jujur, terbuka, dan penuh empati. Di tengah situasi sulit, suara pejabat yang menenangkan dapat menjadi energi pemersatu.
Tantangan terbesar adalah bagaimana membedakan antara kepemimpinan sejati dan pertunjukan yang terlatih. Dalam kultur Minangkabau, figur pemimpin ideal sering dikaitkan dengan konsep “mamak”: sosok yang memayungi dan hadir ketika ada masalah. Tetapi kehadiran tidak selalu berarti kepemimpinan.
Seorang korban banjir di Agam berkata, “Kalau pun itu pencitraan, ya pencitraan yang bikin kami tenang.” Pernyataan ini mengungkap dilema yang kompleks: apakah efek menenangkan dari kehadiran pejabat cukup untuk membenarkan motif yang mungkin tidak murni? Atau apakah kita telah begitu kehilangan standar integritas sehingga kita rela menerima ilusi sebagai pengganti kepemimpinan sejati?
Solusinya harus dimulai dari evaluasi mendasar tentang paradigma komunikasi publik. Apakah komunikasi masih berorientasi pada pencitraan, atau sungguh-sungguh untuk kepentingan rakyat? Pertanyaan ini bukan retorika, melainkan fondasi untuk membangun sistem tanggap bencana yang lebih manusiawi.
Pemerintah perlu membangun mekanisme transparansi yang memungkinkan publik melihat tidak hanya aksi dramatis di lapangan, tetapi juga kerja sistematis di belakang layar: alokasi anggaran, sistem peringatan dini, pembangunan infrastruktur tahan bencana, pelatihan masyarakat.

Media massa dan platform digital juga memiliki tanggung jawab. Mereka harus lebih kritis dalam membingkai narasi bencana, tidak hanya mengabadikan momen-momen sensasional tetapi juga mengungkap realitas yang lebih kompleks: apakah bantuan benar-benar sampai ke korban?
Bagaimana efektivitas koordinasi antar lembaga? Apa yang bisa dipelajari untuk mencegah bencana serupa di masa depan? Literasi media bagi masyarakat juga krusial. Kita perlu melatih diri untuk tidak hanya bereaksi emosional terhadap foto dan video yang viral, tetapi juga bertanya: apa yang tidak terlihat dalam bingkai ini? Apa yang tidak diceritakan dalam narasi ini?
Yang paling penting, para pejabat publik sendiri harus melakukan introspeksi mendalam tentang makna kepemimpinan. Kepemimpinan sejati dalam bencana bukan tentang berapa banyak foto yang terpasang di media sosial, tetapi tentang berapa banyak nyawa yang terselamatkan, berapa banyak keluarga yang kembali memiliki atap di atas kepala mereka, berapa banyak trauma yang terkelola dengan baik.
Kepemimpinan sejati adalah ketika periode 2021-2025 mencatat penurunan signifikan jumlah korban jiwa sebesar 93,49 persen dan kerugian ekonomi sebesar 79,76 persen—bukan karena kita pandai berfoto, tetapi karena kita sungguh-sungguh membangun sistem ketahanan bencana yang efektif.
Indonesia berada di persimpangan. Dengan 540 orang meninggal dan lebih dari 8,1 juta orang mengungsi akibat bencana sepanjang 2024, kita tidak punya waktu untuk terus memainkan teater politik di atas puing-puing kesedihan rakyat.
Kita membutuhkan pemimpin yang memilih substansi daripada penampilan, yang memahami bahwa dalam menghadapi bencana, yang terpenting bukan siapa yang terlihat paling peduli, tetapi siapa yang benar-benar membuat perbedaan.
Kita membutuhkan pejabat yang rela bekerja dalam kesunyian, tanpa sorotan kamera, untuk membangun sistem pencegahan yang mungkin tidak akan pernah viral di media sosial tetapi akan menyelamatkan ribuan nyawa.
Di ujung hari, ketika air surut dan kamera pergi, yang tersisa adalah realitas keras: apakah rumah-rumah telah dibangun kembali? Apakah anak-anak kembali ke sekolah? Apakah trauma telah terkelola? Apakah sistem peringatan dini telah diperbaiki untuk mencegah tragedi serupa?
Inilah pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya mengukur kepemimpinan, bukan jumlah like dan share di media sosial.
Inilah standar yang seharusnya kita tuntut, bukan hanya sebagai warganet yang kritis, tetapi sebagai warga negara yang berhak mendapatkan kepemimpinan sejati.
Bencana akan terus datang, dimana Indonesia, dengan posisinya di Cincin Api Pasifik, tidak bisa menghindari takdir geografisnya.
Tetapi bagaimana kita merespons bencana, bagaimana pemimpin kita memilih untuk hadir atau tampil, bagaimana kita sebagai masyarakat menuntut akuntabilitas, itu adalah pilihan.
Dan dalam pilihan-pilihan itulah karakter bangsa terbentuk. Sudah saatnya kita memilih kepemimpinan yang autentik di atas pertunjukan yang megah, substansi di atas citra, dan kemanusiaan di atas kepentingan politik.