Dari Gedung Kramat ke 143 Juta Layar Digital: Merawat Ikrar Persatuan di Era Media Sosial
“The youth of today are the leaders of tomorrow.” – Nelson Mandela
Sembilan puluh tujuh tahun yang lalu, di sebuah gedung sederhana bernama Katholieke Jongenlingen Bond di Batavia, sekelompok anak muda dari berbagai penjuru Nusantara mengukir sejarah dengan keberanian yang melampaui zaman mereka. Mereka datang dengan latar belakang yang berbeda: ada yang dari Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Batak, Jong Celebes, dan berbagai organisasi kepemudaan lainnya. Dengan dialek yang beragam, adat istiadat yang berlainan, dan keyakinan yang berbeda-beda, mereka menyatukan suara dalam satu ikrar yang menggetarkan jiwa: Satu tanah air Indonesia, satu bangsa Indonesia, satu bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda yang dikumandangkan pada 28 Oktober 1928 itu bukanlah keputusan yang datang begitu saja. Kongres Pemuda Pertama yang digelar pada April-Mei 1926 belum membuahkan kesepakatan karena perdebatan soal bahasa persatuan yang alot. Namun dua tahun kemudian, para pemuda itu menyadari satu hal yang fundamental: perbedaan justru harus menjadi alasan untuk bersatu, bukan bercerai-berai. Mohammad Yamin, seorang pemuda visioner yang merumuskan teks Sumpah Pemuda pada secarik kertas, menyodorkan gagasan persatuan dengan formulasi yang elegan. Soegondo menandatanganinya, lalu diteruskan kepada yang lain. Malam itu, pada 28 Oktober 1928, sejarah berubah untuk selamanya.
Tiga kalimat sederhana namun revolusioner itu menjadi landasan bagi lahirnya sebuah bangsa. Ikrar itu bukan hanya tentang geografi atau etnis, melainkan tentang pilihan sadar untuk menjadi satu kesatuan di tengah keragaman. Ini adalah wujud imajinasi kolektif yang membayangkan Indonesia sebagai bangsa yang utuh, jauh sebelum kemerdekaan diraih tujuh belas tahun kemudian. Para pemuda itu tidak memiliki senjata, tidak memiliki kekuasaan politik, tetapi mereka memiliki sesuatu yang jauh lebih kuat: keyakinan bahwa persatuan adalah satu-satunya jalan menuju masa depan yang lebih baik.
Hari ini, 28 Oktober 2025, kita kembali memperingati Sumpah Pemuda dengan wajah yang sangat berbeda. Gedung yang menjadi saksi bisu kongres telah menjadi museum. Musik biola Wage Rudolf Supratman yang memperdengarkan lagu Indonesia Raya untuk pertama kalinya kini bergema melalui jutaan perangkat digital. Yang tersisa dan tetap hidup adalah semangat yang sama: bagaimana generasi muda Indonesia di era digital ini mewarisi dan menghidupi nilai-nilai persatuan yang diwariskan para pendahulu mereka.
Kita kini hidup dalam realitas yang sangat berbeda dari tahun 1928. Sebanyak 143 juta identitas pengguna media sosial tercatat pada Januari 2025, mencakup 50,2 persen dari total populasi Indonesia. Publik Indonesia menghabiskan 188 menit per hari di media sosial, atau sekitar 3 jam 8 menit, menjadikan Indonesia salah satu negara dengan tingkat keterlibatan media sosial tertinggi di dunia. YouTube menjadi media sosial dengan jumlah pengguna terbanyak di Indonesia, yakni sebanyak 143 juta per Januari 2025, disusul Facebook dengan 143 juta pengguna, TikTok dengan 108 juta pengguna, dan Instagram dengan 103 juta pengguna.
YouTube menjadi media sosial dengan jumlah pengguna terbanyak di Indonesia, yakni sebanyak 143 juta per Januari 2025, disusul Facebook dengan 143 juta pengguna, TikTok dengan 108 juta pengguna, dan Instagram dengan 103 juta pengguna.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Ini adalah cerminan dari sebuah revolusi sosial yang sedang berlangsung. Platform seperti YouTube, Facebook, TikTok, dan Instagram telah menjadi ruang publik baru bagi anak bangsa. Mereka berkumpul, berinteraksi, berdebat, dan membangun komunitas di sana. Inilah Batavia baru: ruang digital tanpa batas fisik, tempat pemuda-pemudi dari Sabang sampai Merauke bertemu tanpa harus menempuh perjalanan berhari-hari dengan kereta api seperti yang dilakukan delegasi kongres pemuda 1928.
Namun, konektivitas tanpa batas ini membawa paradoks yang menyakitkan. Di satu sisi, teknologi digital menjadi alat demokratisasi pengetahuan dan ekspresi yang luar biasa. Seorang pemuda di pedalaman Papua kini bisa belajar memprogram komputer melalui YouTube, seorang gadis di Aceh bisa menjual kerajinan tangan ke seluruh Indonesia melalui toko daring, dan komunitas pecinta budaya lokal bisa terhubung melintasi pulau-pulau. Bahasa Indonesia yang dijunjung tinggi dalam Sumpah Pemuda kini menjadi bahasa pengantar yang menyatukan ratusan juta jiwa di ruang digital, dari komentar YouTube hingga percakapan di grup WhatsApp keluarga.
Namun di sisi lain, media sosial juga menjadi medan pertempuran identitas, ruang gaung yang memperkuat perpecahan. Ujaran kebencian berbasis suku, agama, dan ras menyebar lebih cepat daripada virus. Berita palsu dan informasi yang menyesatkan beredar tanpa kontrol, memecah-belah masyarakat yang seharusnya bersatu. Cara kerja media sosial sering kali memperkuat bias konfirmasi, membuat pengguna terjebak dalam gelembung informasi yang hanya memperkuat keyakinan mereka sendiri. Ironi yang menyedihkan: alat yang seharusnya menyatukan justru bisa memisahkan.
Transformasi digital yang terus mengalami kemajuan telah menjadikan sektor ekonomi digital pilar utama saat ini. Pertumbuhan ekonomi digital Indonesia pada 2024 mencapai 90 miliar dolar Amerika Serikat, mencerminkan kenaikan 13 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Hingga Februari 2025, sektor usaha ekonomi digital mencatat total penerimaan Pajak Ekonomi Digital Indonesia sebesar 33,56 triliun rupiah. Angka-angka ini menunjukkan bahwa ekonomi digital bukan lagi masa depan, tetapi sudah menjadi kenyataan hari ini.
Salah satu contoh nyata peran generasi muda dalam pertumbuhan ekonomi digital Indonesia adalah keberhasilan dua perusahaan rintisan teknologi besar, Gojek dan Bukalapak, yang keduanya didirikan oleh anak muda Indonesia. Mereka telah memberikan dampak signifikan pada ekonomi digital negara, menciptakan jutaan lapangan kerja, dan membantu usaha mikro, kecil, dan menengah untuk berkembang. Ini adalah wujud konkret dari semangat Sumpah Pemuda di era digital: anak muda yang tidak hanya membangun untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk seluruh bangsa.
Bagaimana menaklukkan era digital dan globalisasi dengan semangat Sumpah Pemuda? Pertama, kita harus menggunakan teknologi sebagai jembatan, bukan tembok. Media sosial seharusnya menjadi ruang untuk saling mengenal keragaman budaya Indonesia, bukan untuk saling menyerang. Pembuat konten muda bisa memproduksi video tentang tradisi lokal mereka, memperkenalkan bahasa daerah, atau menampilkan kuliner khas dengan bangga. Ketika seorang pemuda Toraja membuat video tentang upacara Rambu Solo dan ditonton jutaan orang di seluruh Indonesia, ia sedang mewujudkan semangat “bertumpah darah yang satu” di era digital: menghargai keragaman sebagai kekayaan, bukan ancaman.
Kedua, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan harus diperkuat di ruang digital. Bukan dengan cara memaksakan atau melarang penggunaan bahasa daerah atau bahasa asing, tetapi dengan membuat bahasa Indonesia menarik, mudah beradaptasi, dan relevan bagi generasi muda. Konten berkualitas dalam bahasa Indonesia harus diperbanyak, dari video edukatif hingga podkast inspiratif. Bahasa Indonesia di media sosial tidak harus kaku dan formal, tetapi harus tetap santun dan membangun. Ketika kita melihat anak muda dari berbagai daerah berkomunikasi dengan lancar dalam bahasa Indonesia di komentar TikTok atau Instagram, kita sedang menyaksikan warisan Sumpah Pemuda yang hidup dan bernapas.
Ketiga, pendidikan karakter digital harus menjadi prioritas. Dengan rata-rata durasi penggunaan media sosial mencapai 188 menit per hari, generasi muda menghabiskan sebagian besar waktu mereka di dunia maya. Mereka harus dibekali dengan kemampuan untuk berpikir kritis, berempati, dan bertanggung jawab di ruang digital. Kampanye melawan berita palsu, program melek digital, dan pendidikan kewargaan digital harus menjadi bagian dari pendidikan formal maupun informal. Setiap kali seorang pemuda memilih untuk memeriksa kebenaran informasi sebelum membagikannya, ia sedang menjaga persatuan bangsa.
Keempat, pemuda Indonesia harus memanfaatkan teknologi untuk menyelesaikan masalah nyata bangsa. Pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga telah menyelenggarakan diskusi dengan tema pengembangan perusahaan rintisan digital di kalangan pemuda dalam rangka kemandirian ekonomi digital dan pertumbuhan ekonomi nasional. Pemuda-pemudi bisa menciptakan perusahaan rintisan yang menyelesaikan masalah pendidikan, kesehatan, lingkungan, atau logistik di daerah-daerah terpencil. Mereka bisa menjadi pengusaha sosial yang tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga dampak sosial. Demo Day TINC Batch X pada Oktober 2025 menampilkan enam perusahaan rintisan canggih yang siap mengubah masa depan digital Indonesia, termasuk solusi kecerdasan buatan untuk pusat panggilan, platform beasiswa, dan keamanan siber yang otonom.
Kelima, kolaborasi lintas generasi dan lintas sektor harus diperkuat. Semangat gotong royong yang menjadi jiwa bangsa Indonesia harus dihidupkan kembali di era digital. Pemuda yang melek teknologi bisa mengajarkan orang tua mereka cara menggunakan aplikasi kesehatan atau perbankan digital. Mereka bisa membantu usaha kecil lokal untuk masuk ke dunia daring. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil sangat penting untuk membangun lingkungan digital yang sehat dan inklusif.
Sumpah Pemuda bukan sekadar peristiwa masa lalu yang diperingati secara seremonial setiap 28 Oktober. Ia adalah panggilan terus-menerus untuk setiap generasi menemukan cara mereka sendiri dalam mewujudkan persatuan. Bagi para pemuda 1928, caranya adalah menggelar kongres, merumuskan ikrar, dan menyebarkannya melalui surat kabar serta rapat-rapat organisasi. Bagi generasi digital 2025, caranya adalah menggunakan kekuatan media sosial, platform digital, dan konektivitas global untuk membangun Indonesia yang lebih bersatu, adil, dan sejahtera.
Tantangan globalisasi juga tidak bisa diabaikan. Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain dalam ekonomi digital, inovasi teknologi, dan pengembangan sumber daya manusia. Namun persaingan ini tidak boleh membuat kita kehilangan identitas sebagai bangsa. Justru di tengah arus globalisasi yang deras, nilai-nilai Sumpah Pemuda menjadi jangkar yang menjaga kita tetap berakar pada identitas kebangsaan. Kita bisa terbuka pada dunia, belajar dari bangsa lain, dan berkolaborasi secara global, tetapi tetap memiliki kebanggaan sebagai bangsa Indonesia yang bersatu dalam keragaman.
Generasi muda hari ini adalah generasi yang paling terhubung dalam sejarah Indonesia. Mereka memiliki akses internet dengan kecepatan unduh median untuk internet bergerak mencapai 29,06 Mbps, meningkat 18,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Mereka memiliki akses pada informasi yang tidak terbatas, jaringan yang melampaui batas geografis, dan peluang yang tidak pernah terbayangkan oleh pendahulu mereka. Namun dengan kekuatan besar itu datang tanggung jawab yang besar pula. Mereka harus memilih: apakah akan menggunakan teknologi untuk membangun atau menghancurkan, untuk menyatukan atau memecah-belah, untuk memberdayakan atau mengeksploitasi.
Setiap kali seorang pemuda memilih untuk tidak menyebarkan berita palsu, ia sedang menghormati ikrar “satu bangsa”. Setiap kali seorang pemudi menggunakan media sosial untuk mengampanyekan toleransi dan keberagaman, ia sedang menghidupi semangat “satu tanah air”. Setiap kali generasi muda menciptakan konten berkualitas dalam bahasa Indonesia yang menginspirasi jutaan orang, ia sedang menjunjung tinggi “bahasa persatuan”. Inilah Sumpah Pemuda versi 2025: diikrarkan tidak di gedung kongres, tetapi di setiap unggahan, setiap komentar, setiap interaksi digital yang membangun, bukan menghancurkan.
Kita semua adalah pewaris Sumpah Pemuda. Di tangan generasi muda yang terhubung dalam 143 juta akun media sosial, tersimpan harapan masa depan Indonesia. Mereka bisa menjadi arsitek persatuan di era digital, pembangun jembatan di antara kepulauan digital, dan penjaga api semangat kebangsaan yang dinyalakan 97 tahun yang lalu. Teknologi hanyalah alat. Yang menentukan adalah hati dan pilihan manusia yang menggunakannya.
Mari kita jadikan setiap hari sebagai Hari Sumpah Pemuda, di mana kita sadar bahwa di balik setiap layar, di balik setiap akun media sosial, ada saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang layak diperlakukan dengan hormat dan kasih sayang. Mari kita gunakan konektivitas tanpa batas ini untuk hal-hal yang membangun: berbagi pengetahuan, mendorong kreativitas, menghargai keragaman, dan memperkuat persatuan. Karena pada akhirnya, Indonesia yang bersatu bukan tentang keseragaman, tetapi tentang harmoni dalam keragaman. Bukan tentang kesamaan, tetapi tentang saling menghargai dalam perbedaan.
Ketika Mohammad Yamin dan rekan-rekannya merumuskan Sumpah Pemuda, mereka tidak tahu bahwa 97 tahun kemudian, ikrar mereka akan bergema di 143 juta akun media sosial. Mereka tidak tahu bahwa pemuda Indonesia akan bersatu tidak hanya di gedung kongres, tetapi juga di ruang digital yang melampaui batas fisik. Tetapi mereka tahu satu hal yang pasti: persatuan adalah pilihan yang harus diperjuangkan setiap hari, oleh setiap generasi, dengan cara mereka masing-masing.
Di era digital ini, kita memiliki kekuatan yang tidak pernah dibayangkan oleh para pendahulu kita. Kita bisa menjangkau jutaan orang dengan sekali sentuhan jari. Kita bisa menyebarkan pesan persatuan ke seluruh penjuru negeri dalam hitungan detik. Kita bisa membangun gerakan sosial yang mengubah kebijakan publik melalui tagar di Twitter. Pertanyaannya adalah: akankah kita menggunakan kekuatan ini untuk merawat api Sumpah Pemuda, atau membiarkannya padam di tengah riuh rendah dunia maya yang penuh perpecahan?
Jawaban atas pertanyaan itu ada di tangan setiap pemuda Indonesia yang membuka aplikasi media sosial hari ini, besok, dan setiap hari setelahnya. Setiap unggahan adalah kesempatan untuk membangun. Setiap komentar adalah kesempatan untuk menyatukan. Setiap berbagi adalah kesempatan untuk menginspirasi. Dan setiap pilihan untuk tidak menyebarkan kebencian adalah kesempatan untuk menghormati warisan para pendahulu yang telah berjuang agar kita bisa hidup sebagai satu bangsa, di satu tanah air, dengan satu bahasa persatuan.
“The future is not something we enter. The future is something we create.” – Leonard I. Sweet