Dari Pahlawan Sapta Taruna ke Era Digital: 79 Tahun Membangun Negeri dengan Hati
“Infrastruktur bukan hanya tentang beton dan baja. Ini tentang memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mencapai potensi penuh mereka.” — Barack Obama
Pada tanggal 3 Desember 2025, Indonesia kembali memperingati Hari Bakti Pekerjaan Umum yang ke-80. Angka 80 bukan sekadar penanda waktu, melainkan saksi bisu perjalanan panjang bangsa ini dalam meretas jalan, mendirikan jembatan, dan menghubungkan mimpi.
Dari Gedung Sate Bandung yang menyimpan memori perjuangan 21 pemuda pada 3 Desember 1945, hingga kini ketika 2.103 kilometer jalan tol telah menghampar di seantero nusantara, kita telah berjalan jauh.
Namun, di tengah gemerlap pencapaian fisik yang memukau mata, pertanyaan mendasar menggantung di ruang waktu kita: sudahkah kita membangun infrastruktur yang benar-benar merangkul semua, atau malah menciptakan jurang baru di era yang serba cepat ini?
Ketika 229,4 juta penduduk Indonesia kini terhubung ke dunia maya dengan tingkat penetrasi internet mencapai 80,66%, kita menyaksikan sebuah revolusi yang tak kalah dahsyatnya dari pembangunan jalan Trans-Papua.
Revolusi digital ini telah mengubah cara kita bekerja, belajar, bahkan bermimpi. Namun, di balik angka-angka gemilang tersebut, masih ada 55 juta saudara sebangsa kita yang belum tersentuh kemajuan digital, masih ada desa-desa di pelosok Papua dan Maluku yang terputus dari arus informasi global, masih ada anak-anak di pedalaman Kalimantan yang harus berjalan berjam-jam hanya untuk menjangkau sinyal telepon.
Inilah tantangan sejati Pekerjaan Umum di tahun 2025: bagaimana membangun jembatan, bukan hanya yang kasat mata dari beton dan baja, tetapi juga jembatan digital yang menghubungkan setiap sudut negeri ini ke panggung global. Dalam sepuluh tahun terakhir, kita telah membangun 40 bendungan, 27 bandara baru, dan jalur kereta api yang menjulur hingga ke ujung timur Indonesia.
Capaian yang membanggakan, namun yang lebih mendesak kini adalah bagaimana semua infrastruktur fisik ini berbicara dalam bahasa digital, bagaimana setiap jembatan yang kita bangun juga membawa serat optik, bagaimana setiap bendungan juga mengalirkan data untuk petani yang ingin memprediksi cuaca, bagaimana setiap bandara menjadi simpul ekonomi digital yang menghubungkan UMKM lokal ke pasar global.
Tantangan pertama yang menghadang adalah kesenjangan digital yang menganga lebar. Data menunjukkan bahwa wilayah perkotaan memiliki tingkat penetrasi internet 83,56%, sementara pedesaan hanya 76,96%.
Lebih menyakitkan lagi, masyarakat berpenghasilan di atas 6 juta rupiah per bulan memiliki akses internet 91,47%, sedangkan mereka yang berpenghasilan di bawah 1 juta rupiah hanya 70,73%. Ini bukan sekadar angka statistik, ini adalah cermin ketidakadilan struktural yang harus kita retas.
Ketika seorang anak di Jakarta bisa mengakses ribuan video pembelajaran berkualitas dengan sekali sentuhan jari, seorang anak di pedalaman Papua masih berjuang mendapatkan sinyal untuk mengunduh satu halaman buku pelajaran. Ini adalah jurang yang harus kita tutup dengan infrastruktur yang lebih adil, lebih merata, lebih manusiawi.
Tantangan kedua adalah transformasi industri konstruksi itu sendiri. Sektor konstruksi berkontribusi 9,9% terhadap PDB nasional, namun masih bergelut dengan masalah klasik: birokrasi yang berbelit, ketergantungan pada bahan impor, dan yang paling krusial, kekurangan tenaga kerja terampil yang menguasai teknologi digital.
Dalam survei terbaru, hanya 67,46% pelaku konstruksi di Indonesia yang telah mengadopsi Building Information Modeling (BIM), sebuah teknologi dasar yang seharusnya menjadi standar di era ini. Lebih memprihatinkan lagi, nilai konstruksi nasional diproyeksikan hanya tumbuh 0,8% di tahun 2025 sebelum meloncat 6,5% di tahun 2026, menandakan industri ini masih dalam fase transisi yang penuh ketidakpastian.
Lalu bagaimana kita merespons? Solusinya bukan dengan menolak teknologi atau berpaling dari tradisi, melainkan dengan merajut keduanya dalam sebuah pendekatan yang holistik dan berpihak pada rakyat.
Pertama, kita harus mempercepat pemerataan infrastruktur digital dengan mengintegrasikannya dalam setiap proyek pembangunan fisik. Setiap jalan tol baru harus dilengkapi jalur serat optik, setiap bendungan harus memiliki stasiun internet satelit, setiap bandara harus menjadi pusat digital yang menghubungkan UMKM lokal ke pasar dunia.
Pemerintah perlu memberikan insentif khusus bagi penyedia layanan internet yang berani masuk ke wilayah 3T, misalnya dengan pembebasan pajak selama lima tahun atau perlindungan dari kompetisi tidak sehat di tahun-tahun awal operasi.
Kedua, kita harus mentransformasi pendidikan dan pelatihan tenaga kerja konstruksi. Tidak cukup lagi hanya mengajari mereka cara memasang bata atau mengelas besi. Mereka harus melek digital, memahami BIM, mampu mengoperasikan drone untuk pemetaan lahan, dan familiar dengan Internet of Things untuk pemantauan kualitas konstruksi secara waktu-nyata.
Pemerintah dan dunia usaha harus berkolaborasi mendirikan pusat-pusat pelatihan digital konstruksi di setiap provinsi, dengan kurikulum yang dirancang khusus menjawab kebutuhan industri 4.0. Investasi pada manusia ini tidak kalah pentingnya dari investasi pada beton dan baja.
Ketiga, kita harus mengadopsi teknologi konstruksi hijau dan berkelanjutan. Di tengah krisis iklim global, setiap jengkal jalan yang kita bangun, setiap kubik beton yang kita tuang, harus diperhitungkan dampaknya terhadap lingkungan. Penerapan material ramah lingkungan seperti geopolymer concrete dan baja daur ulang, penggunaan energi terbarukan dalam proses konstruksi, serta sistem manajemen limbah yang lebih baik bukan lagi pilihan melainkan keharusan moral. Kita membangun untuk generasi hari ini, tetapi tidak boleh mengorbankan kehidupan generasi esok.
Keempat, digitalisasi birokrasi dan perizinan konstruksi harus dipercepat. Sistem Online Single Submission yang telah berjalan perlu diperkuat dengan integrasi kecerdasan buatan yang mampu menganalisis kelayakan proyek secara otomatis, memprediksi risiko, dan memberikan rekomendasi perbaikan.
Ini akan memangkas waktu perizinan dari yang tadinya berbulan-bulan menjadi hitungan hari, menghemat biaya, dan meningkatkan transparansi yang pada gilirannya mengurangi praktik korupsi yang selama ini menjadi momok industri konstruksi.
Kelima, kita harus membangun ekosistem inovasi konstruksi dengan melibatkan perguruan tinggi, startup teknologi, dan pelaku industri. Pemerintah bisa menginisiasi kompetisi inovasi konstruksi digital tingkat nasional dengan hadiah yang menarik, mendirikan inkubator startup konstruksi teknologi, dan memberikan akses pendanaan murah bagi inovator muda yang ingin mengembangkan solusi untuk tantangan konstruksi Indonesia. Dari sinilah lahir terobosan-terobosan yang akan membawa industri konstruksi kita menyaingi negara-negara maju.
Namun, di tengah semua pembicaraan tentang teknologi dan digitalisasi, kita tidak boleh melupakan esensi terdalam dari Pekerjaan Umum: membangun untuk rakyat, bukan untuk statistik. Setiap angka pertumbuhan, setiap kilometer jalan tol, setiap gigabyte bandwidth, harus diterjemahkan ke dalam kehidupan yang lebih baik bagi rakyat kecil.
Seorang petani di Nusa Tenggara Timur harus bisa menggunakan internet untuk mengakses informasi harga pasar terkini sehingga tidak lagi ditipu tengkulak. Seorang ibu rumah tangga di Aceh harus bisa memanfaatkan jalan yang baik untuk mengantarkan anaknya ke sekolah tanpa takut longsor. Seorang pemuda di Papua harus bisa menggunakan konektivitas digital untuk membangun usaha tanpa harus meninggalkan kampung halamannya.
Peringatan Hari Bakti Pekerjaan Umum tahun 2025 ini harus menjadi momentum introspeksi dan komitmen baru. Delapan puluh tahun sudah kita berjalan, namun perjalanan masih panjang.
Di era di mana biaya logistik Indonesia masih 14,29% dari PDB, jauh lebih tinggi dari negara-negara tetangga, kita tidak bisa puas diri. Di era di mana sektor konstruksi menghadapi kekurangan tenaga kerja terampil dan tekanan efisiensi, kita harus bergerak lebih cepat, lebih cerdas, lebih berani.
Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk bermbermimpi besar sambil tetap membumi pada realitas rakyat kecil. Keberanian untuk mengadopsi teknologi paling canggih sambil memastikan tidak ada yang tertinggal.
Keberanian untuk membangun infrastruktur fisik yang megah sambil tetap menjaga kelestarian alam. Keberanian untuk berlomba dengan negara-negara maju sambil tetap menjaga kemanusiaan kita. Inilah semangat sejati Pekerjaan Umum: melayani publik dengan segenap hati, pikiran, dan teknologi yang kita miliki.
Mari kita jadikan Hari Bakti Pekerjaan Umum tahun 2025 ini sebagai titik balik. Titik di mana kita tidak lagi sekadar membangun jalan dan jembatan, tetapi membangun masa depan yang lebih adil, lebih hijau, lebih digital, dan lebih manusiawi.
Titik di mana setiap insan Pekerjaan Umum menyadari bahwa setiap palu yang diayunkan, setiap kabel yang dipasang, setiap kode yang ditulis, adalah doa dan pengabdian untuk negeri ini. Titik di mana kita semua, dari Sabang sampai Merauke, dari pemerintah hingga swasta, dari akademisi hingga praktisi, bergandeng tangan membangun Indonesia yang kita cita-citakan.
Masa depan infrastruktur Indonesia ada di tangan kita semua. Mari kita ciptakan dengan penuh semangat, kebijaksanaan, dan cinta kasih.
Selamat Hari Bakti Pekerjaan Umum ke-80. Mari kita bangun negeri ini, bersama-sama, untuk Indonesia yang lebih baik, lebih adil, dan lebih bermartabat bagi semua anak bangsa.