Seperti yang pernah saya lakukan diblog lama, saya akan menayangkan karya flash-fiction saya diblog ini secara teratur, paling tidak minimal 2 minggu sekali. Contoh koleksi flash-fiction lama saya bisa anda lihat disini.

Oya..jika masih bingung apa itu flash-fiction, bisa lihat uraiannya disitus penerbit Escaeva.
So..here we go : ROBOT
Professor botak bermata nyalang itu tersenyum puas menyaksikan karya agung terbarunya : sebuah robot anti kebohongan. Robot itu bertampang sangar dan menyeramkan. Matanya berbentuk segitiga terbalik. Tajam menikam dengan sorotan lampu kecil berwarna merah. Cukup membuat gentar hati siapapun yang melihatnya.
“Mulut”-nya yang menganga lebar dengan gigi geligi tajam yang terlihat mengerikan. Kedua tangan Robot itu terbuka lebar seperti siap menampar siapapun yang melakukan kebohongan.
“Tak akan ada kebohongan lagi. Setidaknya didalam lingkaran keluargaku!,” gumam sang Professor geram.
Mendadak dari arah pintu sang putra sulungnya muncul.
“Darimana kamu? Sudah tengah malam begini baru pulang!”, bentak Sang Profesor garang. Matanya mendelik tajam.
Sang anak kaget. Wajahnya spontan memucat.
“Da..dari..rumah teman, Pa!” kilah sang anak gugup.
“Ngapain kamu disana, baru pulang malam-malam begini?”
“Yaa..belajarlah, Pa. Emangnya mau ngapain?”, sahut sang anak mencoba bersikap lebih santai.
“Jangan Bohong kamu!. Robooottt!! Sini!!”, dengan amarah meluap, sang profesor memanggil Robot baru ciptaannya itu.
PLAKK!!
Sekonyong-konyong sebuah tamparan keras mendarat di pipi sang anak. Ia terjengkang kebelakang dan meringis kesakitan.
“Kamu nonton film porno disana. Tidak Belajar. Kamu bohong!”, tukas si Robot.
Sang profesor tersenyum penuh kemenangan.
“Kamu jangan coba-coba bohong sama Papa ya? Ini robot baru ciptaan Papa yang bisa tahu kamu bohong atau tidak. Papa jadi heran, waktu masih sebesar kamu, Papa tidak pernah melakukan kenakalan seperti yang kamu lakukan,” omel sang Profesor pada sang anak.
Mendadak..PLAKK!!
Si Robot menampar sang Profesor dengan keras. Ia jatuh persis disebelah sang anak.
Belum habis rasa terkejut dan bingung sang Profesor, tiba-tiba muncul sang istri dari balik pintu kamar yang penasaran menyaksikan semua keributan itu.
“Tuh..kan? Ternyata “buah” itu jatuh tak jauh dari pohonnya. Makanya jangan macam-macam. Bagaimanapun itu kan’ anak kamu juga,”ujar sang istri dengan nada tinggi.
Namun tiba-tiba..PLAKK!!
Sebuah tamparan dari sang robotpun melayang keras ke pipi sang istri.
Lalu semuanyapun diam.
Gambar diambil dari sini.
Related Posts
Seusai resepsi yang riuh, rumah kontrakan kecil itu sunyi. Nadira menatap kotak kayu di pangkuannya—mas kawin dari Reza: satu buku tulis, berisi 30 halaman tulisan tangan.
“Aku tahu kamu nggak suka ...
Posting Terkait
Nada berjalan menyusuri jalan setapak di belakang rumah. Tempat itu saksi diam hubungan mereka. Dulu, tangan Reno selalu menggenggam tangannya, membisikkan rencana masa depan. Kini, yang tersisa hanya desau angin ...
Posting Terkait
Raisa mencintai Gilang diam-diam selama dua tahun.
Menjadi teman yang baik, pendengar setia, dan tempat pulang paling tenang.
Akhirnya, Gilang mulai berubah. Lebih perhatian, lebih sering mencari Risa.
Hatinya sempat berani berharap.
Sampai malam ...
Posting Terkait
Restoran itu masih sama. Dinding bata merah, lampu gantung kuning redup, dan pelayan tua yang hafal pesanannya—nasi goreng pedas tanpa kecap.
Tapi ada yang tak lagi sama: kursi sebelah kanan kosong.
Dulu, ...
Posting Terkait
Seperti Janjimu
Kita akan bertemu pada suatu tempat, seperti biasa, tanpa seorang pun yang tahu, bahkan suamimu sekalipun. Kita akan melepas rindu satu sama lain dan bercerita tentang banyak hal. Apa ...
Posting Terkait
Dia baru saja menuntaskan tugasnya sore itu: melubangi kepala seorang boss besar dengan peluru yang ditembakkan olehnya dari jarak jauh, atas order boss besar yang lain.
Dia puas menyelesaikan tugasnya dan ...
Posting Terkait
Mereka pernah berjanji: tak ada kebohongan, tak ada rahasia.
Tapi malam itu, saat Kay mendapati pesan masuk di ponsel Rendra—"Aku rindu. Kapan kita bertemu lagi?"—semua janji runtuh seperti kartu domino.
Rendra terdiam. ...
Posting Terkait
Rayyan mengisi malam dengan melukis wajah gadis yang selalu hadir dalam tidurnya. Rambut sebahu, tatapan teduh, senyum yang seolah mengenalnya.
Setiap kali kuas menyentuh kanvas, Rayyan merasa ia makin nyata.
Sampai suatu ...
Posting Terkait
Berkali kali lelaki itu merutuki kebodohannya.
Mengabaikan perasaannya paling dalam kepada perempuan sederhana namun rupawan yang dia sukai, hanya demi harga diri sebagai lelaki kaya, tampan dan terkenal--lalu kemudian, ketika semua ...
Posting Terkait
Memanggilnya Ayah, buatku sesuatu yang membuat canggung. Lelaki separuh baya dengan uban menyelimuti hampir seluruh kepalanya itu tiba-tiba hadir dalam kehidupanku, setelah sekian lama aku bersama ibu. Berdua saja.
"Itu ayahmu ...
Posting Terkait
Keterangan foto: Menggigit Buntut, karya Andy Surya Laksana, Dji Sam Soe Potret Mahakarya Indonesia
elaki itu menatap nanar dua sapi yang berada di hadapannya.
Matahari siang menjelang petang terik membakar arena pertandingan. ...
Posting Terkait
Setiap sore, Anita duduk di jendela kamarnya, memandangi ujung jalan tempat Andi dulu biasa berdiri, mengacungkan dua jari—kode rahasia mereka: "tunggu aku."
Orangtuanya bilang Andi bukan pilihan. "Anak sopir, masa depanmu ...
Posting Terkait
Gadis itu menulis diatas secarik kertas dengan tangan bergetar.
Ia mencoba menafsirkan desir-desir rasa yang menggerayangi kalbu nya, menerbitkan rasa nyaman dan juga kangen pada lelaki yang baru akan diperkenalkannya pada ...
Posting Terkait
Di kafe tempat biasa mereka duduk, Arga memesan dua kopi.
Seperti dulu.
"Yang satu buat siapa?" tanya barista keheranan.
"Kenangan," jawab Arga singkat, lalu duduk di kursi sudut.
Kursi di depannya kosong, seperti sudah ...
Posting Terkait
Setiap pagi, Alin meninggalkan surat kecil di tas Rega. Kata-kata manis, puisi pendek, dan doa-doa lirih.
Rega selalu tersenyum membacanya—atau itulah yang Alin pikirkan.
Sampai suatu sore, ia datang lebih awal ke ...
Posting Terkait
Menjelang berpisah, perempuan itu, yang sudah memiliki hatiku sepenuhnya, tersenyum samar. Pandangannya tajam namun mesra.
"Kamu tetap sayang aku kan'?", tanyanya manja. Disentuhnya daguku pelan.
Aku tersenyum.
"Jawab dong, jangan hanya senyum doang",rengeknya.
"Tentu ...
Posting Terkait
Flash Fiction: Dalam Diam, Aku Merindumu
Flash Fiction : Namamu Ditengah Doaku
Flash Fiction : Kursi Sebelah Kanan
FLASH FICTION : SEPERTI JANJIMU
FLASH FICTION: PENEMBAK JITU
Flash Fiction : Luka di Balik Janji
Flash Fiction: Lukisan yang Hidup
FLASH FICTION: BUKAN JODOH
BERPACULAH ! MENGGAPAI KEMENANGAN !
Flash Fiction: Kode Rahasia
FLASH FICTION: BARANGKALI, CINTA
Flash Fiction : Kursi Kosong
FLASH FICTION: HATI-HATI DI JALAN
kak Amril
qta baca cerpen di Kompas minggu kemaren, betapa sederhana dan dangkal topiknya. Saya menggeram sehabis membacanya, kenapa karya kita taK pernah nongol di situ???
sory, OOT comment nya…:)
Sabar, Daeng. Ini sedang diusahaken, jadi didoaken saja ya? 😀
wah lah koq gampang banget “PLAKK” dan ” PLAKK”..
hehe makin kreatif nih daeng
Thanks ya Laks.