Flash Fiction : Kita yang Tak Pernah Ada
Mereka dekat. Terlalu dekat untuk sekadar sahabat, tapi terlalu jauh untuk disebut kekasih.
Fina selalu ada saat Dika terluka. Dika selalu datang saat Fina butuh pelukan.

Tapi setiap kali Fina ingin bertanya: “Kita ini apa?”, Dika hanya tertawa dan berkata, “Kita kan spesial.”
Ternyata ‘spesial’ artinya cadangan. Fina tahu itu saat melihat Dika menggandeng orang lain di acara reuni—dengan cincin tunangan di jari.
Malam itu, Fina menulis satu kalimat:
“Aku mencintaimu terlalu diam, dan kamu memanfaatkannya terlalu pandai.”
Related Posts
Di kafe tempat biasa mereka duduk, Arga memesan dua kopi.
Seperti dulu.
"Yang satu buat siapa?" tanya barista keheranan.
"Kenangan," jawab Arga singkat, lalu duduk di kursi sudut.
Kursi di depannya kosong, seperti sudah ...
Posting TerkaitAku menatapnya. Takjub.
Dia menatapku. Marah.
Aku tak tahu apa yang berada di benak wanita muda itu sampai memandangku penuh kebencian. Padahal dia hanya melihat pantulan dirinya sendiri disitu. Dan aku, cukuplah ...
Posting Terkait
Pagi pertama sebagai istri. Intan menyeduh dua cangkir kopi di dapur sempit apartemen mereka. Aroma robusta mengisi udara, menyamarkan gugup yang belum juga hilang.
Rio keluar dari kamar mandi, rambut masih ...
Posting Terkait
Baginya menanti adalah niscaya.
Karena hidup itu sendiri adalah bagian dari sebuah proses menunggu. Begitu asumsi yang terbangun pada benak wanita yang berdiri tegak kaku di pinggir pantai dengan rambut tergerai ...
Posting TerkaitTeng!-Teng!
Tubuhku dipukul dua kali. Begitu selalu. Setiap jam dua dini hari. Biasanya aku terbangun dari lelap tidur dan menyaksikan sesosok lelaki tua, petugas ronda malam kompleks perumahan menatapku puas dengan ...
Posting Terkait
Takdir kerapkali membawa keajaibannya sendiri.
Seperti saat ini, menatap wajahnya kembali pada sebuah reuni sekolah menengah pertama. Paras jelita yang seakan tak pernah tergerus waktu, meski hampir setengah abad telah terlewati.
Diajeng ...
Posting Terkait
Perempuan itu memandang mesra ke arahku. Aku pangling. Salah tingkah. Dia lalu memegang lenganku erat-erat seakan tak ingin melepaskan.
Kami lalu berjalan bergandengan tangan di sebuah mall yang ramai.
"Aku selalu berharap ...
Posting Terkait
Bangga rasanya menjadi anak seorang dukun terkenal di seantero kota. Dengan segala kharisma dan karunia yang dimilikinya, ayah memiliki segalanya: rumah mewah, mobil mentereng dan tentu saja uang berlimpah hasil ...
Posting Terkait
Mereka pernah berjanji: tak ada kebohongan, tak ada rahasia.
Tapi malam itu, saat Kay mendapati pesan masuk di ponsel Rendra—"Aku rindu. Kapan kita bertemu lagi?"—semua janji runtuh seperti kartu domino.
Rendra terdiam. ...
Posting Terkait
Hancur!. Hatiku betul-betul hancur kali ini. Berantakan!
Semua anganku untuk bersanding dengannya, gadis cantik tetanggaku yang menjadi bunga tidurku dari malam ke malam, lenyap tak bersisa.
Semua gara-gara pelet itu.
Aku ingat bulan ...
Posting Terkait
Hening. Sunyi.
Di ujung telepon aku hanya mendengar helaan nafasnya yang berat.
"Jadi beneran mbak tidak marah?", terdengar suara adikku bergetar.
"Lho, kenapa harus marah?", sergahku gusar
"Karena Titin melangkahi mbak, menikah lebih dulu,"sahutnya ...
Posting Terkait
Lelaki tua yang mengenakan blankon yang duduk persis didepanku menatapku tajam. Pandangannya terlihat misterius. Kumis tebalnya menambah sangar penampilannya. Menakutkan.
Aku bergidik. Dukun itu mendengus dan mendadak ruangan remang-remang disekitarku menerbitkan ...
Posting Terkait
Seperti yang pernah saya lakukan diblog lama, saya akan menayangkan karya flash-fiction saya diblog ini secara teratur, paling tidak minimal 2 minggu sekali. Contoh koleksi flash-fiction lama saya bisa anda lihat ...
Posting Terkait
Di sudut kamar, ada koper tua berwarna hijau lumut. Lapuk di bagian resleting, berdebu di pegangannya. Sudah bertahun-tahun tak disentuh, tapi tetap tak dibuang.
Itu koper milik Dara.
Ia mengemasnya sendiri: dua ...
Posting Terkait
Lelaki itu berdiri tegak kaku diatas sebuah tebing curam. Tepat dibawah kakinya, gelombang laut terlihat ganas datang bergulung-gulung, menghempas lalu terburai dihadang karang yang tajam. Sinar mentari terik menghunjam ubun-ubun ...
Posting Terkait
Aku menyeringai puas. Bangga.
Sebagai Debt Collector yang disegani dan ditakuti, membuat debitur bertekuk lutut tanpa daya dan akhirnya terpaksa membayar utangnya merupakan sebuah prestasi tersendiri buatku.
Sang debitur, lelaki tua dengan ...
Posting TerkaitFlash Fiction : Kursi Kosong
FLASH FICTION : CERMIN TOILET
Flash Fiction: Seragam yang Sama
FLASH FICTION : DALAM PENANTIAN
FLASH FICTION : TIANG LISTRIK
FLASH FICTION: SAAT REUNI, DI SUATU WAKTU
FLASH FICTION: ROMANSA DI MALL
FLASH FICTION: AYAHKU, IDOLAKU
Flash Fiction : Luka di Balik Janji
FLASH FICTION: PELET
FLASH FICTION: TAKDIR TAK TERLERAI
FLASH FICTION: DUKUN
FLASH FICTION : ROBOT
Flash Fiction: Koper Hijau
FLASH FICTION : AKHIR SEBUAH MIMPI
FLASH FICTION: SETAN KREDIT