Catatan Dari Hati

Ketika Dunia Berputar dalam 15 Detik: Krisis Perhatian di Era TikTok

“The art of being wise is the art of knowing what to overlook.” —William James

Seorang remaja bernama Ayu, 17 tahun, duduk di kamarnya di Jakarta Selatan. Jemarinya bergerak lincah, menggeser layar ponsel. Satu video, dua video, sepuluh video. Dalam lima menit, ia telah menyaksikan puluhan cuplikan kehidupan orang lain. Tarian, komedi, drama, berita, semua bercampur dalam pusaran digital yang tak pernah berhenti. Ketika ibunya memanggil untuk makan malam, Ayu tak mendengar. Dunianya telah menyusut menjadi kotak persegi panjang berisi jutaan cerita 15 detik yang tak pernah selesai bercerita.

Inilah potret Indonesia hari ini. Negara dengan 157,6 juta pengguna TikTok, terbanyak di dunia, mengalahkan Amerika Serikat dan China. Angka yang mencengangkan untuk sebuah bangsa dengan 280 juta penduduk. Ini berarti hampir enam dari sepuluh orang Indonesia menggunakan platform yang mengubah cara kita berpikir, merasakan, dan memahami dunia. Dari 113 juta pengguna pada April 2023, angka ini melompat menjadi lebih dari 160 juta pada Maret 2025. Pertumbuhan eksplosif yang menandai perubahan mendalam dalam lanskap budaya kita.

Di balik angka-angka ini, tersembunyi perubahan yang lebih gelap. Tim peneliti Universitas Gadjah Mada menemukan bahwa performa akademik Indonesia mengalami penurunan skor sejak 2010 hingga 2024, bertepatan dengan kemunculan TikTok sebagai platform media sosial paling diminati. Bukan kebetulan belaka. Penelitian terbaru menunjukkan 60 hingga 70 persen remaja yang sering menggunakan TikTok mengalami stres dan gangguan kecemasan. Ini bukan sekadar statistik. Ini adalah cerita jutaan anak muda Indonesia yang kehilangan kemampuan untuk duduk tenang, membaca buku, atau menyelesaikan satu tugas tanpa gangguan.

Fenomena ini disebut para ahli sebagai “penurunan rentang perhatian” atau attention span. Bayangkan otak kita seperti otot. Jika kita hanya melatihnya untuk lari cepat jarak pendek, ia akan kehilangan kemampuan untuk maraton. Begitu pula dengan perhatian. Video 15 detik melatih otak kita untuk melompat-lompat, mencari rangsangan baru setiap beberapa detik. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media sosial secara intensif dapat mempengaruhi kemampuan konsentrasi individu, karena pengguna terbiasa dengan pergantian informasi yang cepat dan beragam, sehingga sulit untuk mempertahankan fokus pada satu tugas dalam waktu lama.

Mari kita lihat lebih dalam. Seorang mahasiswa di Yogyakarta, sebut saja Budi, mengaku tidak bisa lagi menonton film panjang. “Rasanya lambat sekali,” katanya. “Saya selalu buka ponsel di tengah-tengah film.” Cerita Budi bukan unik. Survey Talk Research 2024 mengungkapkan bahwa satu dari lima orang mengakui media sosial memiliki efek negatif pada rentang perhatian mereka. Remaja cenderung memeriksa ponsel mereka saat menonton televisi atau acara panjang, dan sering memutar ulang karena tidak fokus pada apa yang mereka tonton.

Dampaknya merasuk ke segala aspek kehidupan. Di ruang kelas, guru-guru mengeluh siswa tidak bisa mendengarkan penjelasan lebih dari lima menit. Di tempat kerja, manajer mengamati karyawan muda kesulitan menyelesaikan proyek yang membutuhkan konsentrasi mendalam. Di rumah, orang tua frustrasi melihat anak-anak mereka tidak bisa makan malam tanpa layar. Kita sedang menyaksikan transformasi kognitif generasi yang akan menentukan masa depan bangsa ini.

Tapi TikTok bukan sekadar soal rentang perhatian. Platform ini mengubah cara kita memproses informasi, membentuk opini, dan memahami kebenaran. Algoritma yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan tidak peduli apakah konten itu benar atau menyesatkan, membangun atau merusak. Ia hanya peduli satu hal: apakah kamu akan terus menonton? Dalam dunia di mana kebenaran membutuhkan waktu untuk dijelaskan, sementara kebohongan bisa dikemas dalam 15 detik yang menarik, kita menghadapi krisis epistemologi.

Generasi Z Indonesia, yang dikenal menghabiskan waktu lebih dari satu jam setiap kali mengakses TikTok, sedang membentuk identitas mereka di ruang digital ini. Mereka belajar tentang cinta dari video komedi romantis 30 detik, tentang kesuksesan dari flex harta benda, tentang kebahagiaan dari filter wajah sempurna. Standar kecantikan, definisi sukses, nilai-nilai moral, semuanya dibentuk oleh arus konten yang tak pernah berhenti. Ketika realitas tidak secepat atau semenarik TikTok, kekecewaan dan kecemasan menjadi teman setia.

Penelitian menunjukkan korelasi langsung. Semakin lama durasi penggunaan TikTok, semakin rendah rentang perhatian seseorang. Dan sebaliknya, semakin sedikit penggunaan TikTok, semakin tinggi kemampuan untuk fokus. Ini bukan spekulasi, tapi temuan ilmiah yang didukung data. Konsumsi konten video berdurasi pendek dapat mempengaruhi kemampuan kognitif individu dalam mempertahankan perhatian. Otak kita plastis, ia berubah sesuai dengan apa yang kita berikan kepadanya. Ketika kita memberinya makanan cepat saji digital setiap hari, jangan heran jika ia kehilangan selera untuk makanan bergizi yang membutuhkan waktu untuk dicerna.

Di Indonesia, tantangan ini berlipat ganda. Sebagai negara berkembang dengan akses internet yang terus meluas, jutaan anak muda kita adalah pengguna internet generasi pertama di keluarga mereka. Tanpa literasi digital yang memadai, tanpa pemahaman tentang bagaimana algoritma bekerja, tanpa kesadaran akan dampak jangka panjang, mereka menyelam ke lautan digital tanpa pelampung. Orang tua, yang sendiri baru mengenal teknologi, tidak tahu bagaimana membimbing. Guru, yang sistem pendidikannya belum sempat beradaptasi, berjuang mencari cara mengajar generasi yang otaknya telah terkabel ulang oleh teknologi.

Namun bukan berarti kita harus menutup TikTok atau mengutuk teknologi. Itu naif dan tidak realistis. Platform video pendek tidak akan kemana-mana. Yang kita butuhkan adalah pendekatan yang lebih bijaksana, lebih manusiawi. Kita perlu mengajarkan literasi digital sejak dini, bukan hanya cara menggunakan teknologi, tapi juga bagaimana teknologi menggunakan kita. Sekolah-sekolah perlu memasukkan pemahaman tentang algoritma, dopamin, dan manipulasi perhatian ke dalam kurikulum. Kita perlu melatih kembali otot perhatian kita melalui praktik-praktik mindfulness, membaca mendalam, dan percakapan panjang tanpa gangguan.

Orang tua perlu menjadi teladan. Jika kita ingin anak-anak kita membaca buku, kita harus terlihat membaca buku. Jika kita ingin mereka makan malam tanpa ponsel, kita harus meletakkan ponsel kita juga. Jika kita ingin mereka memiliki hobi di luar layar, kita harus menunjukkan bahwa kehidupan di luar layar itu menyenangkan. Teknologi adalah cermin dari penggunanya. Jika kita menggunakannya dengan bijak, ia bisa menjadi alat yang luar biasa. Jika kita membiarkannya mengontrol kita, ia akan menjadi penjara yang halus.

Pemerintah juga perlu berperan. Regulasi yang melindungi anak-anak dari konten berbahaya, kampanye kesehatan mental yang masif, program literasi digital di sekolah-sekolah, dan penelitian berkelanjutan tentang dampak teknologi terhadap kesehatan mental generasi muda. Ini bukan investasi opsional, tapi kebutuhan mendesak untuk masa depan bangsa. Kita tidak bisa membiarkan satu generasi kehilangan kemampuan untuk berpikir mendalam, berkonsentrasi lama, dan merenungkan makna.

Solusinya juga harus datang dari diri kita sendiri. Mulailah dengan langkah kecil. Tentukan zona bebas ponsel di rumah. Sisihkan waktu setiap hari untuk aktivitas yang membutuhkan perhatian mendalam: membaca, menulis, melukis, berkebun, atau sekadar bercakap-cakap dengan orang yang kita cintai. Latih diri untuk menyelesaikan satu tugas sebelum beralih ke tugas lain. Kurangi notifikasi. Hapus aplikasi yang paling banyak menghabiskan waktu. Gunakan teknologi dengan niat, bukan secara otomatis.

Kita sedang berada di persimpangan jalan. Generasi yang sedang tumbuh sekarang akan menentukan wajah Indonesia 20 atau 30 tahun mendatang. Apakah mereka akan menjadi generasi yang kehilangan kemampuan untuk fokus, merenungkan, dan berpikir kritis? Ataukah mereka akan belajar menggunakan teknologi sebagai alat, bukan sebagai tuan? Jawabannya tergantung pada pilihan yang kita buat hari ini, sebagai individu, sebagai orang tua, sebagai pendidik, dan sebagai masyarakat.

TikTok dan platform serupa bukan musuh. Mereka adalah realitas dunia kita. Yang harus kita lawan adalah penyerahan diri tanpa kritis terhadap logika mereka. Kita harus ingat bahwa ada nilai-nilai yang tidak bisa dikemas dalam 15 detik: kebijaksanaan yang datang dari refleksi panjang, kedalaman hubungan yang dibangun melalui percakapan bermakna, keindahan karya seni yang membutuhkan waktu untuk diapresiasi, dan kebenaran kompleks yang menolak simplifikasi.

Setiap kali kita memilih untuk membaca halaman berikutnya alih-alih menggeser layar, setiap kali kita duduk dalam keheningan alih-alih mengisi setiap detik dengan stimulasi, setiap kali kita mendengarkan seseorang dengan penuh perhatian alih-alih sambil melihat ponsel, kita sedang melakukan perlawanan kecil namun berarti. Perlawanan untuk merebut kembali kemampuan paling fundamental dari kemanusiaan kita: kemampuan untuk hadir, untuk fokus, untuk peduli.

Indonesia memiliki kekayaan budaya yang dibangun atas tradisi bercerita panjang, filosofi mendalam, dan kebijaksanaan yang diwariskan turun-temurun. Kita adalah bangsa yang melahirkan Pramoedya Ananta Toer yang menulis empat jilid Buru Quartet di penjara, yang memiliki tradisi wayang kulit yang berlangsung semalam suntuk, yang mengajarkan nilai kesabaran dan kedalaman. Warisan ini tidak boleh kita biarkan tenggelam dalam pusaran video 15 detik.

Masa depan bukan tentang menolak teknologi, tapi tentang memastikan teknologi melayani kemanusiaan kita, bukan sebaliknya. Ini tentang menciptakan keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata, antara kecepatan dan kedalaman, antara konsumsi dan kontemplasi. Ini tentang mengajarkan generasi muda bahwa hidup yang bermakna tidak bisa dirangkum dalam video pendek, namun harus dijalani dengan sepenuh hati, satu momen berharga pada satu waktu.

Perjalanan ini dimulai dengan kesadaran bahwa kita sedang menghadapi krisis. Kemudian dilanjutkan dengan komitmen untuk berubah. Dan akhirnya diwujudkan melalui tindakan konsisten setiap hari. Bukan perubahan dramatis, tapi transformasi gradual dalam cara kita berhubungan dengan teknologi dan dengan diri kita sendiri. Setiap generasi menghadapi tantangannya sendiri. Ini adalah tantangan kita. Dan bagaimana kita meresponsnya akan menentukan siapa kita sebagai bangsa.

“The only way to make sense out of change is to plunge into it, move with it, and join the dance.” —Alan Watts

Related Posts
VIDEO KALEIDOSKOP AKHIR TAHUN 2019
Kenanganlah yang akan menuntun kita berjalan kedepan meski ia selalu tertegun melihat kita menjauh meninggalkannya dan tak sekalipun marah jika kita datang lagi mengusiknya. Kenangan, sahabat sejati. Kenangan, kekasih sejati — ...
Posting Terkait
BEKASI CYBER CITY, MUNGKINKAH ?
Bekasi kian tumbuh pesat sebagai “kota satelit” Jakarta dengan tingkat penetrasi jaringan internet yang cukup luas dan terus berkembang dari waktu ke waktu. Transformasi Bekasi menuju sebuah “Cyber City” bukanlah ...
Posting Terkait
SUKSES, PENYELENGGARAAN ROADSHOW BLOGSHOP KOMPASIANA DI CIKARANG
Hari Minggu pagi (5/7), sehari setelah kedatangan saya kembali dari Singapura, saya kembali menghadapi aktifitas baru bersama kawan-kawan komunitas Cimart Cikarang untuk menyelenggarakan acara Roadshow Blogshop perdana Kompasiana yang akan ...
Posting Terkait
BUNAKEN, ANDALAN MANADO
nilah sebuah tempat wisata memukau di utara Sulawesi. Ketika menyebut nama Taman Nasional Bunaken maka akan identik dengan lokasi menyelam paling menawan sedunia. Di sana surga bawah laut terletak, di ...
Posting Terkait
MENANTI KEJUTAN BARU KLA PROJECT
la Project bagi saya, adalah sebuah legenda yang berdiri kokoh diatas kegemilangan jejak yang sudah ditorehkan dengan manis di jagad musik negeri ini lebih dari dua dekade. Sejak pertama kali ...
Posting Terkait
SELAMAT DATANG BLOG ULAS FILM !
epat tanggal 1 November 2016, saya meluncurkan blog baru di alamat http://ulasfilm.id. Ini adalah blog perdana saya berdomain .id, sebagai salah satu komitmen untuk menggunakan domain website Indonesia untuk menyebarkan ...
Posting Terkait
ALHAMDULILLAH, MENANG LOMBA “GOKIL DAD” !
  Alhamdulillah, ternyata saya ini punya bakat gokil juga jadi ayah. Pada lomba "Be A Gokil Dad" yang diselenggarakan oleh sang penulis "Gokil Dad" Iwok Abqary dan Penerbit Gradien Mediatama saya berhasil ...
Posting Terkait
AURA BALAP YANG MENGESANKAN DARI HONDA NEW BLADE-S
epeda Motor Honda sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan keseharian saya.  Sejak bekerja di PT Cameron Services International di Kawasan Industri Jababeka Cikarang lebih dari setahun silam, kendaraan ini ...
Posting Terkait
Mengikuti Program “Immunotherapy by Dr.Terawan” di Nindya Karya
Dalam rangka memperingati HUT ke 65 PT.Nindya Karya, digelar kegiatan "Sosialisasi Program Asta Cita Presiden RI di Bidang Kesehatan" yang dirangkaikan dengan Program "Immunotherapy by Dr.Terawan" khusus bagi pejabat setingkat ...
Posting Terkait
LEBARAN DI RIG : KOKI SEBAGAI IMAM DAN KHATIB
Pengantar Pada tanggal 1 Desember 2006, saya memuat tulisan di situs Panyingkul tentang pengalaman kawan saya Heru Kuswanto yang merayakan lebaran di atas anjungan pengeboran lepas pantai. Menjelang lebaran saat ini, ...
Posting Terkait
Bangkitnya BRICS: Menuju Era Baru Multipolaritas Ekonomi Global
Di tengah lanskap geopolitik global yang terus bergerak dinamis, sebuah kekuatan ekonomi baru telah bangkit dengan kekuatan yang sulit diabaikan. BRICS, yang awalnya hanya sebuah konsep ekonomi yang dicetuskan oleh ...
Posting Terkait
MELESAT BAGAI KILAT BERSAMA TELKOMSEL FLASH
etbook saya si "Deliiani" (Dell Inspiron Mini 9) mendadak menjadi sangat mumpuni dan bagaikan "ngacir" menjelajah dunia maya ketika dalam internal modemnya saya pasangkan dengan kartu Telkomsel Flash. Daya ...
Posting Terkait
Kebahagiaan yang Terlupakan: Perjalanan dari “Ketakutan Terlewat” Menuju “Kedamaian Digital”
"Dalam dunia yang penuh dengan kebisingan, ketenangan menjadi sebuah revolusi." - Mahatma Gandhi Bayangkan sebuah dunia di mana notifikasi ponsel tidak lagi menjadi tuan yang menguasai hidup kita. Dunia di mana ...
Posting Terkait
Ketika Teknologi Menjadi Mitra: Refleksi Intim tentang Laptop yang Memahami Jiwa Kreatif Modern ASUS Zenbook S 14 OLED (UX5406SA)
i tengah hiruk-pikuk era digital yang tak kenal lelah, kita sering terjebak dalam ilusi bahwa kemajuan teknologi hanya sebatas angka-angka spesifikasi yang berjejer rapi di kertas. Namun, ketika saya menatap ...
Posting Terkait
MEMENANGKAN IPOD NANO 8 GB DALAM KONTES YAHOO MIM
Alhamdulillah sebuah kabar gembira datang dari Yahoo Indonesia yang menyatakan saya sebagai pemenang kontes mingguan berhadiah sebuah Ipod Nano 8 GB lewat kompetisi bertajuk Football Mim Minggu ini. Dalam kompetisi ...
Posting Terkait
Kala Lukisan Bunga Menjadi Panggung Kekerasan: Narasi Kehilangan di Tengah Deru Massa
"Kebudayaan adalah buah budi manusia yang hasilnya adalah untuk menciptakan kehidupan, yakni mengatur supaya kehidupan manusia menjadi teratur, aman, tenteram, indah dan sejahtera." - Ki Hadjar Dewantara alam gemuruh hiruk pikuk ...
Posting Terkait
VIDEO KALEIDOSKOP AKHIR TAHUN 2019
BEKASI CYBER CITY, MUNGKINKAH ?
SUKSES, PENYELENGGARAAN ROADSHOW BLOGSHOP KOMPASIANA DI CIKARANG
BUNAKEN, ANDALAN MANADO
MENANTI KEJUTAN BARU KLA PROJECT
SELAMAT DATANG BLOG ULAS FILM !
ALHAMDULILLAH, MENANG LOMBA “GOKIL DAD” !
AURA BALAP YANG MENGESANKAN DARI HONDA NEW BLADE-S
Mengikuti Program “Immunotherapy by Dr.Terawan” di Nindya Karya
LEBARAN DI RIG : KOKI SEBAGAI IMAM DAN
Bangkitnya BRICS: Menuju Era Baru Multipolaritas Ekonomi Global
MELESAT BAGAI KILAT BERSAMA TELKOMSEL FLASH
Kebahagiaan yang Terlupakan: Perjalanan dari “Ketakutan Terlewat” Menuju
Ketika Teknologi Menjadi Mitra: Refleksi Intim tentang Laptop
MEMENANGKAN IPOD NANO 8 GB DALAM KONTES YAHOO
Kala Lukisan Bunga Menjadi Panggung Kekerasan: Narasi Kehilangan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *