Catatan Dari Hati

Narsis : Senja di Pelabuhan Lama

Hujan gerimis membasahi dermaga tua itu, seperti air mata langit yang tak kunjung berhenti. Ardi berdiri di ujung pelabuhan, menatap kapal-kapal yang berlabuh dengan tatapan kosong. Angin laut membawa aroma garam dan kenangan yang tak pernah benar-benar pergi.

Tiga tahun sudah. Tiga tahun sejak Lena pergi tanpa kata perpisahan yang sesungguhnya. Hanya secarik surat tertinggal di meja kecil kamar kos mereka dulu, dengan tulisan tangan yang bergetar: “Maafkan aku. Aku harus pergi.”

Ardi menggenggam surat lusuh itu di saku jaketnya. Sudah ratusan kali ia membacanya, berharap menemukan jawaban yang tak pernah tertulis di sana. Mengapa? Ke mana? Apakah masih ada harapan?

Mereka dulu seperti dua jiwa yang menemukan rumah di tengah hiruk pikuk kota pelabuhan ini. Lena, gadis dari kampung yang datang dengan mimpi sederhana—bekerja di kafe tepi pantai sambil melukis sunset setiap sore. Ardi, pemuda nelayan yang mewarisi perahu tua ayahnya, berlayar mencari ikan dan pulang dengan harapan melihat senyum Lena di dermaga.

“Suatu hari nanti, kita akan punya rumah kecil di bukit itu,” Lena pernah berkata sambil menunjuk perbukitan hijau yang mengitari teluk. “Dengan jendela besar menghadap laut, dan kamu tak perlu melaut terlalu jauh lagi.”

Tapi mimpi itu pupus bersama kepergiannya.

Ardi kemudian mendengar kabar dari Pak Hasan, pemilik kafe tempat Lena bekerja. Keluarga Lena di kampung sakit keras. Ibunya butuh biaya pengobatan yang tak mungkin mereka tanggung. Lena pergi, menikah dengan pria kaya dari kota, mengorbankan cintanya demi keluarga yang membesarkannya.

“Cinta kadang bukan soal memilih yang kita cintai, Nak,” kata Pak Hasan dengan bijak. “Tapi tentang berkorban untuk yang kita cintai.”

Malam itu, Ardi mengeluarkan buku sketsa lama Lena yang tertinggal. Halaman demi halaman berisi gambar-gambar mereka berdua—di bawah pohon kelapa, di atas perahu, menari di bawah rembulan. Di halaman terakhir, sebuah lukisan rumah kecil di bukit, dengan dua siluet di teras depan. Di bawahnya tertulis: “Untuk cinta yang akan selalu tinggal di hati, meski takdir membawa kita terpisah.”

Air mata Ardi jatuh membasahi kertas. Ia akhirnya mengerti. Kepergian Lena bukan karena cinta mereka hilang, tapi karena cintanya terlalu besar—untuk keluarga, untuk pengorbanan, untuk hal-hal yang lebih besar dari sekadar kebahagiaan dua insan.

Ardi menutup buku sketsa itu perlahan. Ia berjalan menuju tepi dermaga, melepaskan sebuah perahu kertas kecil yang ia lipat dari halaman kosong buku itu. Di atasnya tertulis sederhana: “Semoga kau bahagia di sana. Cintaku tetap berlayar bersamamu.”

Perahu kertas itu mengapung perlahan, terbawa ombak menuju lautan luas, menghilang dalam kabut malam. Seperti episode cinta yang hilang, tapi tak pernah benar-benar pergi. Ia akan tetap ada, tersimpan di sudut hati yang paling dalam, menjadi bagian dari diri mereka selamanya.

Ardi berbalik, melangkah pulang dengan langkah yang lebih ringan. Bukan karena ia melupakan, tapi karena ia akhirnya belajar melepaskan dengan cinta. Dan kadang, itu adalah bentuk cinta yang paling tulus.


Di suatu tempat yang jauh, Lena menatap foto lama mereka berdua, tersenyum dalam air mata, berbisik pada angin: “Terima kasih telah mencintaiku dengan tulus. Maafkan aku…”

Related Posts
NARSIS (6) : TENTANG CINTA, PADA TIADA
Dia, yang menurutmu tak pernah bisa kamu mengerti, adalah dia yang kamu cinta. “Jadi apakah itu berarti, kamu membencinya?” tanyaku penuh selidik suatu ketika. “Ya, aku menyukai dan membencinya sekaligus, dalam sebuah ...
Posting Terkait
NARSIS (15) : JARAK RINDU
Pada akhirnya, katamu, cinta akan berhenti pada sebuah titik stagnan. Diam. Walau semua semesta bersekutu menggerakkannya. Sekuat mungkin. Cinta akan beredar pada tepian takdirnya. Pada sesuatu yang telah begitu kuat ...
Posting Terkait
NARSIS (14) : RAHASIA KEPEDIHAN
Sebagaimana setiap cinta dimaknai, seperti itu pula dia, dengan segala pesona yang ia punya menandai setiap serpih luka jiwanya sebagai pelajaran gemilang. Bukan kutukan. Apalagi hukuman. Perih yang ada di ...
Posting Terkait
(Narsis) : Bunga yang Tak Pernah Layu
i sebuah kota kecil yang selalu diselimuti embun pagi, tinggal seorang gadis bernama Aluna. Ia dikenal ramah, namun sejak beberapa bulan terakhir, langkahnya terasa berat. Orang-orang menduga ia hanya lelah. Mereka ...
Posting Terkait
NARSIS (8) : TENTANG DIA, YANG PERGI MEMBAWA KELAM DIHATINYA
"Ini untuk dia, yang pergi membawa kelam dihatinya," suara perempuan itu bergetar di ujung telepon. Aku menggigit bibir seraya menatap Sonny, sang operator lagu pasanganku, yang balas menatapku dengan senyum ...
Posting Terkait
(NARSIS) Cinta Dari Jendela Seberang
ujan deras mengguyur kota Medan sore itu. Di balik jendela kamarnya yang berkabut, Dira menatap kosong ke arah rumah seberang. Rumah itu gelap, seperti biasa. Sudah tiga tahun Daniel pindah ...
Posting Terkait
NARSIS (3) : PEREMPUAN YANG MENGHILANG DI BALIK HUJAN
Lelaki itu menghirup cappuccinonya. Menyesap segala rasa yang menyertai dengan perih menusuk dada. Ia lalu melirik jam tangannya. Sudah 2 jam lebih dia di Cafe tersebut. Sambil menghela nafas panjang ia melihat ...
Posting Terkait
NARSIS (13) : ASMARA, SUATU KETIKA..
Jakarta, 2030, sebuah teras café Lelaki tua itu tersenyum samar. Dipandangnya perempuan seusia dengannya yang duduk tepat dihadapannya dengan tatap takjub. “Kamu tak banyak berubah, walau umur telah menggerogoti tubuh kita. Kamu ...
Posting Terkait
NARSIS (9) : UNTUK PEREMPUAN BERMAHLIGAI REMBULAN
Hai Perempuan Bermahligai Rembulan, Apa kabarmu? Cuaca di awal bulan Oktober ini sungguh sangat tak terduga. Seharusnya--menurut ramalan meteorologi-- hujan akan turun membasahi bumi, dan awal bencana banjir akan tiba. Tapi ternyata ...
Posting Terkait
NARSIS (1) : MENYAPAMU DI RUANG RINDU
Pengantar : Setelah Saberin (Kisah Bersambung Interaktif) saya mencoba sebuah ekspresimen penulisan lagi yang saya beri nama Narsis atau Narasi Romantis. Tulisan Narsis berupa rangkaian prosa puitis pendek dan (diharapkan) akan ...
Posting Terkait
NARSIS (10) : KESEMPATAN KEDUA
My Momma always said: Life was like a box of chocholates You never know What you're gonna get -Tom Hanks, Forrest Gump,1994 Saskia tersenyum tipis setelah membaca sekilas potongan kutipan ungkapan yang ditulis diatas sebuah ...
Posting Terkait
(Narsis) Di Titik yang Tak Kembali
Andi selalu percaya bahwa waktu adalah sesuatu yang tidak bisa dinegosiasikan. Ia berjalan maju tanpa menoleh, tanpa peduli siapa yang tertinggal. Namun sore itu, ketika langit berwarna jingga muda dan ...
Posting Terkait
NARSIS: Diantara Dua Dunia
Langit senja menggantung lesu di atas kota yang mulai lelah. Lampu-lampu jalan menyala satu per satu, membentuk jejak cahaya yang samar. Di bawahnya, seorang pemuda berjaket lusuh berdiri diam di ...
Posting Terkait
NARSIS (7) : BIARKAN AKU MENCINTAIMU DALAM SUNYI
Catatan Pengantar: Narsis kali ini saya angkat dari Cerpen saya yang dimuat (sekaligus menjadi judul utama kumpulan cerpen Blogfam yang diterbitkan Gradien Mediatama tahun 2006 dalam judul "Biarkan Aku Mencintaimu Dalam ...
Posting Terkait
NARSIS (4) : M.F.E.O
M.F.E.O 4 huruf tersebut selalu tertera di akhir email lelaki itu. Juga ketika mereka mengakhiri percakapan chatting didunia maya. Made For Each Other, bisik lirih perempuan hening malam sembari menyunggingkan senyum. Matanya menerawang menatap ...
Posting Terkait
PADA SAMPAN YANG SENDIRI
Inspirasi foto : Suasana Sunset di Pantai Losari Makassar, karya Arfah Aksa Dji Sam Soe Potret Mahakarya Indonesia ada sampan yang sendiri. Terdampar di sisi pantai Losari yang sunyi. Kita menyaksikan rona ...
Posting Terkait
NARSIS (6) : TENTANG CINTA, PADA TIADA
NARSIS (15) : JARAK RINDU
NARSIS (14) : RAHASIA KEPEDIHAN
(Narsis) : Bunga yang Tak Pernah Layu
NARSIS (8) : TENTANG DIA, YANG PERGI MEMBAWA
(NARSIS) Cinta Dari Jendela Seberang
NARSIS (3) : PEREMPUAN YANG MENGHILANG DI BALIK
NARSIS (13) : ASMARA, SUATU KETIKA..
Protected: NARSIS (9) : UNTUK PEREMPUAN BERMAHLIGAI REMBULAN
NARSIS (1) : MENYAPAMU DI RUANG RINDU
NARSIS (10) : KESEMPATAN KEDUA
(Narsis) Di Titik yang Tak Kembali
NARSIS: Diantara Dua Dunia
NARSIS (7) : BIARKAN AKU MENCINTAIMU DALAM SUNYI
NARSIS (4) : M.F.E.O
PADA SAMPAN YANG SENDIRI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *