Catatan Dari Hati

Di Balik Topeng Pemburu: Ketika Predator Menemukan Kemanusiaannya

Ada momen langka dalam sinema ketika sebuah waralaba berani mengubah arah kompas narasinya seratus delapan puluh derajat. Predator: Badlands, yang tayang 7 November 2025 di bioskop-bioskop Amerika Serikat, adalah bukti bahwa keberanian kreatif masih memiliki tempat di industri film yang sering terjebak dalam formula aman.

Di bawah arahan visioner Dan Trachtenberg, sutradara yang sebelumnya menghidupkan kembali franchise ini melalui Prey dan Predator: Killer of Killers, kita diajak memasuki dunia yang sama sekali baru, sebuah planet bernama Genna yang penuh bahaya namun menakjubkan.

Film ini mengisahkan Dek, seorang Predator muda yang diperankan dengan luar biasa oleh Dimitrius Schuster-Koloamatangi, aktor asal Selandia Baru yang sebelumnya dikenal lewat The Panthers dan Red, White & Brass.

Berbeda dengan Predator-Predator sebelumnya yang kita kenal sebagai pemburu mematikan tanpa perasaan, Dek adalah sosok yang rapuh, dibuang oleh klannya sendiri karena dianggap terlalu lemah. Ia adalah anak buangan yang mencari penebusan, ingin membuktikan nilai dirinya dengan berburu Kalisk, makhluk legendaris yang konon tak terkalahkan di planet Genna yang berbahaya.

Yang membuat film ini istimewa adalah keputusan berani untuk menjadikan Predator sebagai protagonis yang kita dukung. Sepanjang satu jam empat puluh tujuh menit durasi film, kita tidak melihat Dek sebagai monster asing yang menakutkan, melainkan sebagai jiwa yang kehilangan tempat, mencari makna dalam dunia yang terus menolaknya.

Elle Fanning, dalam peran ganda yang brilian sebagai Thia dan Tessa, menjadi jembatan emosional bagi penonton. Thia, android Weyland-Yutani yang rusak namun penuh kehangatan, mengajarkan Dek tentang konsep kelemahan yang sebenarnya adalah kekuatan, tentang kepemimpinan yang sejati bukan datang dari kekerasan, melainkan dari kemampuan melindungi.

Pertemuan Dek dan Thia di tengah gurun tandus planet Genna adalah inti dari kekuatan naratif film ini. Ketika Dek menyelamatkan android yang terbelah dua itu, ia tidak tahu bahwa ia sedang menyelamatkan lebih dari sekadar mesin.

Thia membawa perspektif yang belum pernah dikenal Dek: bahwa hidup berdampingan, bukan dominasi, adalah jalan menuju kebebasan sejati. Dialog mereka tentang kawanan serigala dan pemimpin alpha yang sesungguhnya adalah salah satu momen paling menyentuh dalam film ini, mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati terletak pada kasih sayang, bukan kekejaman.

Secara visual, Predator: Badlands adalah mahakarya. Sinematografer Jeff Cutter, yang sebelumnya bekerja sama dengan Trachtenberg dalam Prey, menciptakan lanskap planet Genna yang sekaligus mempesona dan menakutkan.

Flora dan fauna alien yang diciptakan oleh tim efek visual dari Industrial Light & Magic, W?t? FX, dan berbagai studio lainnya terasa hidup dan berbahaya. Setiap frame film ini memerlukan sentuhan efek visual, namun hasilnya tidak pernah terasa berlebihan atau artifisial. Kita merasakan panas padang tandus, merasakan ancaman dari setiap makhluk yang mengintai di bayang-bayang.

Musik karya Sarah Schachner dan Benjamin Wallfisch adalah pelengkap sempurna untuk perjalanan emosional Dek. Perpaduan simfoni orkestra dengan elemen tribal menciptakan atmosfer yang gelap namun epik, mengingatkan kita pada akar franchise Predator namun tetap terasa segar dan kontemporer. Bahkan band folk metal asal Mongolia, The Hu, turut berkontribusi dalam soundtrack yang membuat jantung berdegup kencang.

Yang menarik dari film ini adalah bagaimana Trachtenberg tidak takut menghadirkan humor di tengah intensitas aksi. Berbeda dengan The Predator yang gagal menyeimbangkan komedi dan horor, Badlands menghadirkan momen-momen jenaka yang terasa natural dan tidak memaksakan.

Dek, dengan segala keangkuhannya sebagai pemburu, ternyata memiliki sisi sarkastis yang mengejutkan, memberikan dimensi baru pada ras Yautja yang selama ini kita kenal sebagai makhluk tanpa emosi.

Namun, film ini bukan tanpa kekurangan. Beberapa kritikus menunjukkan bahwa narasi yang sederhana kadang membuat perhatian melayang, terutama di bagian tengah yang cenderung mengulang pola.

Rating PG-13 yang diberikan Motion Picture Association juga membuat film ini kehilangan elemen horor dan kekerasan eksplisit yang menjadi ciri khas franchise Predator. Puris mungkin akan kecewa karena film ini terasa terlalu “jinak” dibandingkan pendahulunya yang berdarah-darah.

Namun, jika kita melihat Badlands sebagai evolusi dari franchise, bukan sekadar kelanjutan formula lama, maka keberanian Trachtenberg patut diapresiasi. Dengan rating 85% di Rotten Tomatoes dan nilai 7.6 di IMDb, film ini membuktikan bahwa penonton siap menerima perspektif baru.

Ini bukan sekadar film aksi fiksi ilmiah biasa; ini adalah meditasi tentang apa artinya menjadi manusia, meski disampaikan melalui karakter yang sama sekali bukan manusia.

Kehadiran aktor pendukung seperti Mike Homik sebagai Kwei, saudara Dek yang diutus untuk membunuhnya, menambah lapisan tragedi pada cerita keluarga yang kompleks. Rohinal Nayaran, Michael Homick, Stefan Grube, Reuben De Jong, Cameron Brown, dan Alison Wright melengkapi ansambel yang kuat, masing-masing membawa kedalaman pada dunia yang diciptakan Trachtenberg.

Film ini diproduseri oleh John Davis, Dan Trachtenberg, Marc Toberoff, Ben Rosenblatt, dan Brent O’Connor, dengan naskah ditulis oleh Patrick Aison yang juga menulis Prey. Pengambilan gambar dilakukan di Selandia Baru mulai Agustus 2024, dan setiap detail produksi terlihat dalam hasil akhir yang memukau.

Premiere dunia di TCL Chinese Theatre pada 3 November 2025 mendapat sambutan hangat, mengisyaratkan bahwa franchise Predator telah menemukan jalur baru yang menjanjikan.

Trachtenberg telah menyatakan bahwa ia memiliki tiga film Predator dalam benaknya, dan Badlands adalah yang kedua. Jika kesuksesan film ini berlanjut, kita mungkin akan melihat visi ketiga yang ia janjikan. Dan setelah menyaksikan apa yang ia capai dengan Badlands, sulit untuk tidak merasa antusias dengan kemungkinan masa depan franchise ini.

Predator: Badlands adalah pengingat bahwa dalam dunia yang terobsesi dengan kemenangan dan dominasi, kadang kekuatan terbesar datang dari kemampuan untuk merangkul kerentanan.

Dek, si Predator yang dibuang, mengajarkan kita bahwa menjadi pemimpin sejati bukan tentang menjadi yang terkuat, melainkan tentang melindungi mereka yang lemah. Dan dalam era di mana sinema blockbuster sering kehilangan jiwa demi spektakel, film ini berani mengutamakan hati di atas segala-galanya.

Ini adalah film yang mengajak kita melihat monster dari sudut pandang yang berbeda, dan dalam prosesnya, mengingatkan kita bahwa kemanusiaan bukan tentang spesies, melainkan tentang pilihan yang kita buat saat menghadapi kesulitan. Predator: Badlands adalah bukti bahwa bahkan di planet paling berbahaya di galaksi, harapan dan kasih sayang tetap memiliki tempat.

Related Posts
FILM SKYFALL : AKSI SANG JAGOAN PADA TEPIAN TAKDIRNYA
aat kunjungan ke Batam pekan silam, saya berkesempatan untuk menonton film "Skyfall" di Nagoya Hill Mal. Sebagai penggemar film serial 007 saya senantiasa tidak melewatkan waktu untuk menonton aksi James ...
Posting Terkait
REVIEW THE AVENGERS : MENIKMATI AKSI SUPERHERO YANG “HUMANIS”
abtu malam (5/5), bersama putra sulung saya, Rizky (9 tahun) berkesempatan menonton film The Avengers di Studio 2 Bioskop XXI Mall Lippo Cikarang. Sejak menonton trailer film ini di Disney ...
Posting Terkait
FILM DOCTOR STRANGE IN THE MULTIVERSE OF MADNESS: DINAMIKA DUNIA MULTI JAGAT YANG SERU DAN MENAKJUBKAN
ari Sabtu(14/5) saya bersama keluarga memanfaatkan waktu libur akhir pekan menonton film anyar semesta Marvel terbaru: Doctor Strange in The Multiverse of Madness (selanjutnya saya sebut Doctor Strange 2)  di ...
Posting Terkait
FILM “BRAVE” : TENTANG KASIH IBU DAN KEBESARAN JIWA
inggu lalu,. dua hari berturut-turut, kami sekeluarga memanfaatkan waktu liburan dengan nonton bioskop. Setelah sebelumnya menonton film "Ambilkan Bulan", keesokan harinya, Minggu (1/7) kami menyempatkan diri menonton film Brave di ...
Posting Terkait
FILM DON’T LOOK UP: KISAH SATIRE JELANG KIAMAT KOMET
Jaringan TV streaming berbayar, Netflix, baru saja meluncurkan film anyarnya bertajuk "Don't Look Up". Film bertabur bintang ini dirilis di Indonesia, 24 Desember 2021 dan mendapatkan beragam pendapat. Disutradarai oleh Adam McKay ...
Posting Terkait
FILM DESPICABLE ME-2 : KEGALAUAN GRU DAN AKSI KOCAK THE MINIONS
abtu siang (6/7), saya dan istri mengajak kedua anak saya (Rizky & Alya) menonton film "Despicable Me-2" di XXI Mal Lippo Cikarang. Kami menonton pada pertunjukan pukul 15.35 di studio ...
Posting Terkait
FILM “ATHIRAH” : SIMPONI SUNYI PEREMPUAN TEGAR DARI BUKAKA
ari Sabtu (1/10) silam, saya mengajak isteri dan kedua anak saya menonton film "Athirah" di Studio 4 Cinemaxx Mal Lippo Cikarang. Setelah melihat trailer filmnya, kami jadi penasaran untuk menyaksikan ...
Posting Terkait
FILM “ANAK MUDA PALSU” : TENTANG KESETIAKAWANAN DAN IKHTIAR MERAIH IMPIAN
ari Kamis petang, 11 Juli 2019, seusai jam kantor, saya bergegas menuju ke Blok M Square, Jakarta Selatan. Disana, tepatnya di Studio XXI lantai 5, saya bergabung dengan teman-teman alumni ...
Posting Terkait
REVIEW FILM KETIKA MAS GAGAH PERGI : TENTANG KOMITMEN & KEPEDULIAN YANG TAK TERLERAI
ari Minggu siang, 31 Januari 2016 akhirnya niat saya untuk menonton film "Ketika Mas Gagah Pergi" (KMGP) kesampaian juga. Bersama keluarga tercinta saya menyaksikan film yang diangkat dari karya cerpen legendaris ...
Posting Terkait
FILM “AMBILKAN BULAN”: MENGABADIKAN KENANGAN LAGU MASA KECIL
ejak pertama kali iklan film "Ambilkan Bulan" tayang di televisi, kedua anak saya, Rizky dan Alya sudah mematok tanggal kapan waktu menontonnya (film ini ditayangkan perdana di bioskop Indonesia, tanggal ...
Posting Terkait
MISSION IMPOSSIBLE 4 (GHOST PROTOCOL) : SPEKTAKULER & MENEGANGKAN !
inggu (18/12), bersama istri tercinta, saya berkesempatan menonton film Mission Impossible IV (Ghost Protocol) di Studio 1 Blitz Megaplex Pacific Place. Hari itu, kedua anak kami sedang mengikuti outing ...
Posting Terkait
PETUALANGAN SERU WARTAWAN PEMBURU MUMI
nilah aksi “Tomb Rider” ala Perancis di awal abad 20-an! Demikian kesan saya seusai menonton “The Extraordinary Adventures of Adèle Blanc-Sec” (selanjutnya disingkat menjadi “Adèle”) akhir pekan lalu. Film ini diadaptasi ...
Posting Terkait
GULLIVERS TRAVELS : RAKSASA CENTIL DI NEGERI LILIPUT
ebuah motivasi romantik menjadi alasan saya untuk penasaran menonton film Gulliver’s Travel ini tanpa perlu membaca resensi filmnya lebih dulu di beberapa media, seperti biasa. Kisah Gulliver di Negeri Liliput ...
Posting Terkait
FILM WRECK-IT RALPH : MAKNA KEPAHLAWANAN DAN SETIA KAWAN
emarin siang, Minggu (11/11) kami sekeluarga menonton film "Wreck it Ralph" di XXI Bekasi Square. Sejak melihat trailer filmnya dalam iklan televisi, kedua anak saya sudah meminta saya menonton film ...
Posting Terkait
FILM “KARTINI” : TENTANG KEMERDEKAAN BERFIKIR & MELEPAS BELENGGU TRADISI
ila pekan lalu saya memenuhi janji anak sulung saya menonton film FF8 (sudah saya review filmnya disini), maka hari Minggu (23/4) siang, di bioskop yang sama, namun film yang berbeda, ...
Posting Terkait
FILM MISSION IMPOSSIBLE 6 “FALL OUT”: KETEGANGAN MENCEKAM DARI AWAL HINGGA AKHIR
om Cruise masih tetap lincah dan gagah. Seperti dulu. Pada bagian keenam rangkaian film laga aksi Mission Impossible ini, Tom Cruise kembali memperlihatkan kemampuan fisiknya yang prima meski usianya sudah ...
Posting Terkait
FILM SKYFALL : AKSI SANG JAGOAN PADA TEPIAN
REVIEW THE AVENGERS : MENIKMATI AKSI SUPERHERO YANG
FILM DOCTOR STRANGE IN THE MULTIVERSE OF MADNESS:
FILM “BRAVE” : TENTANG KASIH IBU DAN KEBESARAN
FILM DON’T LOOK UP: KISAH SATIRE JELANG KIAMAT
FILM DESPICABLE ME-2 : KEGALAUAN GRU DAN AKSI
FILM “ATHIRAH” : SIMPONI SUNYI PEREMPUAN TEGAR DARI
FILM “ANAK MUDA PALSU” : TENTANG KESETIAKAWANAN DAN
REVIEW FILM KETIKA MAS GAGAH PERGI : TENTANG
FILM “AMBILKAN BULAN”: MENGABADIKAN KENANGAN LAGU MASA KECIL
MISSION IMPOSSIBLE 4 (GHOST PROTOCOL) : SPEKTAKULER &
PETUALANGAN SERU WARTAWAN PEMBURU MUMI
GULLIVERS TRAVELS : RAKSASA CENTIL DI NEGERI LILIPUT
FILM WRECK-IT RALPH : MAKNA KEPAHLAWANAN DAN SETIA
FILM “KARTINI” : TENTANG KEMERDEKAAN BERFIKIR & MELEPAS
FILM MISSION IMPOSSIBLE 6 “FALL OUT”: KETEGANGAN MENCEKAM

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *