Ketika Pamer Kekayaan Menjadi Dosa Digital: Pelajaran dari Cina untuk Indonesia
“Kesenjangan yang paling berbahaya bukanlah antara yang kaya dan yang miskin, tetapi antara yang merasa dan yang tidak peduli.” – Franklin D. Roosevelt
Di suatu pagi April 2024, Wang Hongquan, seorang kreator konten yang dijuluki “Kim Kardashian-nya Cina” dengan lebih dari 4 juta pengikut, bangun dan mendapati akunnya hilang dari Douyin.
Bukan karena pelanggaran teknis, bukan pula karena konten berbahaya. Kejahatan Wang hanyalah satu: terlalu sering memamerkan kemewahan hidupnya. Ini adalah babak pertama dari sebuah revolusi digital yang akan mengubah lanskap media sosial Cina selamanya.
Pada 23 April 2024, Badan Pengawas Dunia Maya Cina meluncurkan kampanye “Qinglang” yang secara harfiah berarti “Bersih dan Terang”. Kebijakan ini menargetkan para influencer yang dianggap pamer kekayaan atau sengaja menampilkan gaya hidup mewah di media sosial.
Dalam hitungan minggu, platform seperti Douyin menghapus 4.701 konten yang dianggap tidak pantas dan menutup ratusan akun. Sementara Xiaohongshu membersihkan 4.273 postingan dan menutup 383 akun dalam satu operasi pembersihan terkait konten yang dianggap ‘ilegal’ atau ‘vulgar’.
Ini bukan sekadar tindakan sepele. Ini adalah pernyataan tegas bahwa di tengah perlambatan ekonomi dan ketimpangan yang melebar, pamer kekayaan bukan lagi hal yang dapat ditoleransi.
Kebijakan ini lahir dari kesadaran yang menyakitkan. Ekonomi Cina mengalami tekanan berat. Kelas menengah terpukul keras. Tingkat pengangguran pemuda mencapai rekor tertinggi.
Di tengah situasi ini, layar ponsel dipenuhi gambar tas mewah, mobil sport, dan pesta di vila pribadi. Bagi jutaan warga yang berjuang memenuhi kebutuhan dasar, pemandangan ini bukan inspirasi, melainkan tamparan keras di wajah.
Pemerintah Cina memahami bahwa media sosial bukan ruang netral. Ia adalah panggung di mana persepsi ketidakadilan dapat menyulut amarah kolektif yang lebih berbahaya daripada krisis ekonomi itu sendiri.
Dampak dari kebijakan anti pamer kekayaan ini terasa segera. Industri konten berubah drastis. Para influencer yang dulunya berlomba memamerkan koleksi tas bermerek kini beralih ke konten yang lebih sederhana dan membumi.
Ada yang berbagi resep masakan rumahan, ada yang mengajar keterampilan praktis, ada pula yang menceritakan kisah perjuangan mereka yang sebenarnya. Pergeseran ini bukan hanya soal topik, tetapi juga nada. Media sosial Cina mulai bergeser dari ruang pamer menjadi ruang berbagi. Dari panggung kompetisi status menjadi platform empati kolektif.
Namun, kebijakan ini tidak datang tanpa kritik. Beberapa pengamat menilai ini sebagai pembatasan kebebasan berekspresi. Yang lain mempertanyakan efektivitasnya dalam jangka panjang.
Apakah menutup akun beberapa influencer benar-benar mengatasi akar masalah ketimpangan? Atau ini hanya menutupi gejala tanpa menyembuhkan penyakitnya?
Pertanyaan-pertanyaan ini sah, namun tidak boleh mengaburkan satu fakta penting: pamer kekayaan di media sosial memiliki dampak nyata terhadap kesehatan mental dan kohesi sosial masyarakat.
Kini mari kita arahkan pandangan ke Indonesia. Negara dengan 185 juta pengguna media sosial ini memiliki cerita yang sangat mirip, bahkan mungkin lebih mengkhawatirkan. Empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih besar daripada gabungan 100 juta orang termiskin. Angka ini bukan sekadar statistik dingin. Ini adalah cermin dari jurang yang begitu dalam sehingga sulit dibayangkan jembatan apa yang bisa menyeberanginya.
Budaya pamer atau “flexing” telah menjadi cara hidup bagi banyak orang Indonesia. Dari selebritas hingga pejabat publik, dari pengusaha hingga anak-anak muda yang ingin terlihat sukses, semua berlomba menampilkan versi terbaik, paling mewah, paling sempurna dari kehidupan mereka.
Instagram dipenuhi foto di restoran mahal. TikTok dibanjiri video unboxing barang branded. YouTube penuh dengan vlog liburan ke luar negeri. Sementara itu, jutaan warga berjuang untuk makan tiga kali sehari.
Penelitian menunjukkan bahwa di masyarakat dengan ketimpangan dramatis seperti Indonesia, media sosial dapat memicu iri hati dan kepahitan karena individu miskin terpapar pada kebahagiaan dan citra positif dari teman-teman mereka yang lebih kaya.
Dampaknya bukan hanya pada kesehatan mental individu, tetapi juga pada keutuhan sosial. Ketika kesenjangan terasa semakin lebar setiap kali kita membuka ponsel, rasa solidaritas perlahan terkikis digantikan oleh kecemburuan dan kekecewaan.
Yang lebih mengganggu adalah ketika budaya pamer ini tidak hanya dilakukan oleh individu biasa, tetapi juga oleh mereka yang seharusnya melayani rakyat. Pejabat publik yang memamerkan jam tangan mewah, tas branded, atau liburan ke luar negeri di akun media sosial mereka bukan hanya menunjukkan kurangnya empati, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap institusi.
Rakyat yang membayar pajak dengan susah payah melihat uang mereka mungkin saja dihamburkan untuk gaya hidup glamor para pemimpin. Ini adalah resep untuk kemarahan sosial.
Lalu apa yang bisa dipelajari Indonesia dari langkah berani Cina?
Pertama, kita perlu mengakui bahwa media sosial bukan ruang bebas nilai. Ia membentuk persepsi, menciptakan standar, dan mempengaruhi kesejahteraan kolektif. Membiarkan budaya pamer berkembang tanpa kontrol sama saja dengan membiarkan luka ketimpangan terus bernanah.
Kedua, regulasi tidak selalu berarti pembatasan. Ia bisa menjadi bentuk perlindungan terhadap dampak psikologis dari paparan konstan terhadap kemewahan yang tidak terjangkau. Ketiga, perubahan budaya harus dimulai dari atas. Ketika pemimpin dan figur publik menunjukkan kesederhanaan, itu menciptakan norma baru yang lebih sehat.
Namun, menerapkan kebijakan serupa di Indonesia menghadapi tantangan yang tidak sederhana. Tantangan pertama adalah soal definisi. Apa yang dimaksud dengan pamer kekayaan? Di mana garis antara berbagi kebahagiaan dan pamer yang berlebihan? Ini adalah wilayah abu-abu yang memerlukan diskusi mendalam dan kebijaksanaan dalam pelaksanaan.
Tantangan kedua adalah resistensi dari industri. Influencer marketing telah menjadi industri bernilai triliunan rupiah. Banyak pihak yang memiliki kepentingan ekonomi untuk mempertahankan status quo.
Tantangan ketiga adalah soal kebebasan berekspresi. Indonesia adalah negara demokratis di mana kebebasan individu dijunjung tinggi. Kebijakan yang terlalu represif bisa dianggap sebagai pelanggaran hak asasi.
Solusinya harus seimbang dan bertahap. Pertama, kita bisa mulai dengan edukasi literasi digital yang lebih masif. Masyarakat perlu memahami dampak psikologis dari konten media sosial dan bagaimana melindungi diri mereka. Kedua, platform media sosial perlu didorong untuk menerapkan algoritma yang lebih bertanggung jawab.
Alih-alih mempromosikan konten yang paling sensasional, algoritma bisa dirancang untuk menyeimbangkan paparan dengan konten yang lebih memberdayakan dan mendidik. Ketiga, perlu ada kode etik yang jelas untuk figur publik, terutama pejabat negara, mengenai penggunaan media sosial. Ini bukan pembatasan, tetapi panduan untuk menjaga kepercayaan publik.
Keempat, kampanye budaya yang menekankan nilai-nilai kesederhanaan, rasa syukur, dan kepedulian sosial perlu diperkuat. Media massa, tokoh agama, dan influencer yang memiliki pengaruh positif bisa menjadi ujung tombak perubahan ini.
Kelima, penting untuk mengatasi akar masalah: ketimpangan itu sendiri. Kebijakan anti pamer hanya akan efektif jika disertai dengan upaya nyata untuk mengurangi kesenjangan ekonomi melalui kebijakan pajak yang adil, program bantuan sosial yang efektif, dan penciptaan lapangan kerja yang layak.
Kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa generasi muda Indonesia tumbuh dalam budaya digital di mana validasi datang dari jumlah like dan followers. Mereka belajar bahwa nilai seseorang diukur dari barang yang mereka miliki dan tempat yang mereka kunjungi.
Ini adalah tragedi pendiam yang sedang berlangsung. Kita membentuk generasi yang haus pengakuan eksternal dan kehilangan kemampuan untuk menghargai diri sendiri tanpa perbandingan dengan orang lain.
Kebijakan Cina mungkin terlihat keras, bahkan otoriter bagi sebagian orang. Namun di balik itu ada kepedulian terhadap kesehatan sosial masyarakat. Ada pengakuan bahwa kemewahan yang dipamerkan di layar ponsel bukan hanya soal pribadi, tetapi memiliki dampak kolektif.
Ada keberanian untuk mengatakan bahwa tidak semua yang legal secara teknis adalah etis secara sosial. Indonesia tidak harus meniru persis model Cina, tetapi kita perlu keberanian yang sama untuk menghadapi masalah ini.
Bayangkan sebuah Indonesia di mana media sosial menjadi ruang yang lebih sehat, di mana orang berbagi bukan untuk pamer tetapi untuk menginspirasi, di mana kesuksesan dirayakan tanpa merendahkan mereka yang belum sampai di sana, di mana kepedulian lebih dihargai daripada kepemilikan. Ini bukan utopia yang mustahil. Ini adalah pilihan yang bisa kita buat hari ini, dimulai dari diri kita sendiri, dari keluarga kita, dari komunitas kita.
Perubahan besar selalu dimulai dari kesadaran kecil. Setiap kali kita memilih untuk tidak memposting foto barang mewah baru, setiap kali kita memilih untuk berbagi cerita perjuangan alih-alih hanya pamer hasil, setiap kali kita memilih empati di atas kompetisi status, kita sedang menanam benih untuk budaya digital yang lebih manusiawi.
Cina telah menunjukkan bahwa perubahan sistemik adalah mungkin. Sekarang giliran Indonesia untuk menemukan jalannya sendiri, jalan yang sesuai dengan nilai-nilai kita, tetapi tetap berani menghadapi kenyataan yang tidak nyaman.
Akhirnya, di tengah kilau dan tampilan, penting diingat bahwa nilai sebuah masyarakat tidak ditentukan oleh berapa banyak tas bertabur berlian yang terpajang di feed seseorang, melainkan oleh seberapa manusiawi kita merawat kesempatan bagi semua.
Kebijakan anti-flexing dapat menjadi cermin: memaksa kita melihat apakah kita memilih solusi permukaan atau pemberdayaan mendalam.
Di Indonesia, kita punya peluang untuk merancang jalan yang menyeimbangkan kebebasan, keadilan, dan tanggung jawab tanpa menenggelamkan suara kreatif yang sehat.
“Ukuran kehebatan suatu bangsa dan kemajuan moralnya dapat dilihat dari cara ia memperlakukan yang paling lemah di antara warganya.” – Mahatma Gandhi