Penanganan Sampah Perkotaan: Solusi Komprehensif, Tantangan Teknis, dan Peluang Transformasi Industri di Era Prabowo
“Sampah adalah kekayaan yang menunggu untuk diambil. Setiap ons limbah yang dibuang adalah potensi energi yang tersia-siakan.” —Ban Ki-moon, Sekretaris Jenderal PBB (2007-2016)
Kita berdiri di persimpangan sejarah bangsa. Indonesia, negeri yang gemilang dengan kekayaan alam melimpah, kini menghadapi tantangan besar di balik kesuksesan pembangunan perkotaannya.
Menurut Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) dari Kementerian Lingkungan Hidup, timbulan sampah Indonesia pada tahun 2023 mencapai 56,63 juta ton, namun baru 39,01 persen (22,09 juta ton) yang dikelola secara layak, sementara mayoritas sisanya masih dibuang ke tempat pembuangan akhir terbuka yang mencemari lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik dingin. Mereka mewakili cerita nyata ribuan keluarga yang hidup dalam polusi, kesehatan yang tergoyahkan, dan masa depan yang tidak pasti.
Namun, dalam setiap krisis, tersimpan benih harapan. Pada tanggal 10 Oktober 2025, Presiden Prabowo Subianto resmi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Ini bukan sekadar dokumen birokrasi. Perpres ini merupakan komitmen tertulis dari negara untuk mengubah paradigma, merevolusi cara kita melihat limbah, dan menciptakan masa depan yang lebih bersih, lebih hijau, dan lebih berkelanjutan.
Perpres 109/2025 lahir dari urgensi yang sangat nyata. Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup mengungkapkan rasa syukur atas langkah besar ini, yang menunjukkan komitmen Presiden RI yang kuat untuk menyelesaikan permasalahan sampah nasional melalui solusi inovatif yaitu mengubah sampah menjadi energi terbarukan berbasis teknologi ramah lingkungan.
Ini bukan sekadar kata-kata. Kedaruratan sampah terutama di perkotaan telah menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan serta gangguan kesehatan masyarakat, mendorong pemerintah untuk mengambil tindakan decisif dan terukur.
Visi Perpres 109/2025 sangat jelas dan ambisius. Pemerintah tidak hanya ingin menangani sampah, tetapi mengubahnya menjadi aset berharga. Hasil pengolahan sampah dapat berupa listrik, bioenergi, bahan bakar minyak (BBM) terbarukan, dan produk ikutan lainnya.
Bayangkan: setiap sampah yang kita buang berpotensi menerangi rumah, menggerakkan mesin industri, atau mengalirkan energi ke komunitas yang membutuhkan. Inilah potensi transformasi yang sesungguhnya.
Skala ambisi ini tercermin dalam angka-angka investasi yang mengesankan. Berdasarkan laporan dari ESG Now Republika, investasi yang dibutuhkan untuk proyek mengubah sampah menjadi energi (waste to energy) mencapai Rp 91 triliun untuk mengembangkan 33 fasilitas pengolahan sampah menjadi energi listrik (PSEL) di seluruh Indonesia.
Setiap stasiun PSEL dirancang dengan kapasitas pengelolaan sekitar 1.000 ton sampah per hari di daerah kabupaten/kota yang memenuhi kriteria tertentu. Ini adalah investasi masif, namun proporsional dengan besarnya masalah yang dihadapi.
Dalam menjalankan visi ini, Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara melalui holding investasi, holding operasional, BUMN, dan anak usaha BUMN berperan dalam pemilihan Badan Usaha Pelaksana PSEL serta pelaksanaan investasi.
Struktur Tatakelola ini dirancang untuk memastikan efisiensi, akuntabilitas, dan keberlanjutan jangka panjang. Kepercayaan pada institusi BUMN bukan tanpa alasan—mereka memiliki track record dalam mengelola proyek infrastruktur skala besar dengan komitmen terhadap kepentingan publik.
Namun, perjalanan menuju visi ini tidaklah mulus. Tantangan teknis, finansial, dan kelembagaan berdiri menghadang. Pertama adalah tantangan teknologi dan efisiensi operasional.
Teknologi PSEL yang akan dipilih, dicontohkan antara lain, teknologi thermal seperti Gasification, Pyrolysis, Combustion, maupun Plasma Arc. Seluruhnya tetap memerlukan pre-treatment agar fasilitas dapat beroperasi dengan baik dan berkelanjutan.
Ini berarti investasi tidak hanya pada peralatan utama, tetapi juga pada infrastruktur pendukung yang komprehensif. Indonesia, sebagai negara dengan iklim tropis dan sampah yang belum terpilah dengan baik, memerlukan sistem pre-treatment yang canggih dan terintegrasi.
Tantangan kedua adalah aspek kelembagaan dan operasional. Dari pengalaman sebelumnya, lokasi PSEL yang telah beroperasi adalah PSEL Benowo di Kota Surabaya yang mampu menghasilkan kapasitas energi listrik sebesar 8 megawatt, sementara PSEL Putri Cempo di Solo berada pada fase konstruksi, dan lokasi-lokasi lainnya masih menghadapi berbagai tantangan dalam proses pembangunannya.
Pelajaran dari proyek-proyek ini menunjukkan bahwa keberhasilan PSEL memerlukan lebih dari sekadar teknologi canggih—diperlukan manajemen yang solid, kepemimpinan yang visioner, dan komitmen jangka panjang dari semua pihak terlibat.
Tantangan ketiga adalah soal kepastian pasokan sampah dan pemilahan pada sumber. Mengingat kondisi sampah di Indonesia yang umumnya belum terpilah dengan baik dari sumbernya, maka hal ini memerlukan perencanaan yang terintegrasi dari hulu ke hilir sejak awal dari Pemda dan dilaksanakan seiring dengan pelaksanaan PSEL.
Inilah inti dari tantangan sistemik. Tanpa edukasi masyarakat dan penguatan kultur pemilahan sampah dari sumber, bahkan teknologi paling canggih sekalipun akan mengalami kesulitan dalam operasional optimal.
Namun, di balik tantangan ini tersimpan solusi-solusi yang menjanjikan. Pertama, pemerintah perlu memperkuat edukasi dan kesadaran lingkungan di tingkat masyarakat. Program sosialisasi yang masif, dimulai dari jenjang pendidikan dasar hingga dewasa, akan membentuk budaya pemilahan sampah yang sehat. Ini adalah investasi jangka panjang, tetapi fundamental untuk keberhasilan program ini.
Kedua, infrastruktur dasar harus diperkuat secara paralel dengan pembangunan PSEL. Sistem pengumpulan sampah, pengangkutan yang efisien, dan tempat pembuangan sementara yang tersebar merata di berbagai titik kota adalah prasyarat mutlak.
Pemerintah daerah, melalui dukungan anggaran dari APBD untuk pengumpulan serta pengangkutan sampah ke lokasi fasilitas PSEL, harus menjalankan peran ini dengan sungguh-sungguh.
Ketiga, kolaborasi lintas sektor perlu diperdalam. Swasta, NGO, akademisi, dan masyarakat harus bergerak sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pengelolaan sampah. Menurut laporan Liputan6, sekitar 120 perusahaan sudah mengajukan penawarannya untuk tender proyek pengolahan sampah menjadi energi, menunjukkan antusiasme industri swasta yang luar biasa tinggi. Komitmen mereka akan menjadi kunci akselerasi implementasi program ini.
Sekarang, mari kita bergerak ke aspek yang sangat relevan untuk konteks Indonesia sebagai negara konstruksi—bagaimana Perpres 109/2025 akan mempengaruhi industri konstruksi nasional? Jawabannya sangat signifikan dan multi-dimensional.
Pertama, secara langsung, Perpres 109/2025 akan menciptakan lonjakan permintaan atas jasa konstruksi dan engineering. Pembangunan 33 fasilitas PSEL di berbagai kota memerlukan mobilisasi sumber daya konstruksi yang sangat besar.
Perencanaan, desain, persiapan lahan, pondasi, struktur bangunan utama, sistem utilitas, dan finishing—semuanya memerlukan keahlian konstruksi kelas dunia. Menurut CNBC Indonesia, fase pertama proyek ini melibatkan pengembangan 10 pabrik pengolahan sampah menjadi energi di lima kota besar Indonesia, dengan target konstruksi dimulai pada akhir tahun ini.
Ini berarti industri konstruksi Indonesia akan mengalami akselerasi pekerjaan yang signifikan, menciptakan ribuan lapangan kerja bagi tenaga kerja konstruksi, engineer, dan profesional teknis.
Kedua, pembangunan PSEL akan mendorong inovasi dalam teknologi konstruksi berkelanjutan. Fasilitas-fasilitas PSEL ini bukan sekadar bangunan konvensional. Mereka memerlukan spesifikasi teknis khusus—sistem penanganan limbah B3, pengelolaan emisi, isolasi akustik yang canggih, dan kontrol lingkungan yang presisi.
Menurut portal Indonesia.go.id dan data dari PT Semen Indonesia (SIG), di Indonesia sekitar 30 persen konstruksi di IKN memanfaatkan semen hijau, sejalan dengan putusan pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang menetapkan model pembangunan berkelanjutan.
Perpres 109/2025 akan mendorong adopsi lebih luas dari material konstruksi ramah lingkungan, semen hijau, dan teknologi konstruksi yang mengurangi jejak karbon.
Ketiga, Perpres 109/2025 akan membuka peluang bagi industri konstruksi untuk mengembangkan expertise dalam proyek-proyek khusus yang bernilai tinggi. Berdasarkan informasi dari PT Maharaksa Biru Energi Tbk (OASA), sejumlah emiten di Indonesia mulai serius menggarap proyek pengolahan sampah menjadi energi listrik (waste to energy), dengan perusahaan ini membangun fasilitas PSEL dengan kapasitas olah 1.000 ton sampah per hari di TPA Cipeucang Tangsel, senilai Rp 2,65 triliun dan ditargetkan selesai pada 2028. Partisipasi emiten publik dan swasta besar menunjukkan kredibilitas dan bankabilitas proyek ini, menarik talenta terbaik dari industri konstruksi ke sektor ini.
Keempat, Perpres ini akan menciptakan ekosistem industri konstruksi yang lebih matang. Dengan proyek bernilai Rp91 triliun di 33 lokasi dengan setiap stasiun PSEL memiliki kapasitas pengelolaan sekitar 1.000 ton sampah per hari, akan tercipta pembelajaran kolektif, standarisasi, dan best practice yang dapat dipindahkan ke proyek-proyek infrastruktur lainnya. Ini adalah proses pendewasaan industri konstruksi Indonesia menuju standar internasional.
Namun, tantangan juga menanti industri konstruksi. Pertama, keterbatasan kapasitas teknis. Tidak semua kontraktor konstruksi di Indonesia memiliki pengalaman membangun fasilitas dengan spesifikasi teknis setinggi PSEL.
Pelatihan dan capacity building untuk tenaga kerja konstruksi menjadi kebutuhan mendesak. Program sertifikasi dan pelatihan harus dikembangkan bersama antara pemerintah, BUMN, dan asosiasi industri konstruksi.
Kedua, tantangan supply chain material konstruksi. Dengan 33 proyek PSEL berjalan secara paralel, permintaan material konstruksi berkualitas tinggi akan melonjak drastis. Industri semen, baja, dan bahan konstruksi lainnya harus bersiap meningkatkan produksi dan memastikan kualitas konsisten. Ini adalah peluang bagi industri manufaktur nasional, tetapi juga tantangan logistik yang serius.
Ketiga, tantangan pendanaan dan cash flow proyek. Meskipun investasi total mencapai Rp91 triliun, pembagian risiko antara pemerintah, BUMN, dan swasta perlu dirancang dengan cermat.
Peraturan Presiden No. 35/2018 sebelumnya menjadi pembelajaran penting tentang kompleksitas pembiayaan infrastruktur energi dari sampah. Perpres 109/2025 perlu didukung dengan mekanisme pembiayaan yang jelas, termasuk skema KPBU yang lebih streamlined atau Build-Operate-Transfer yang transparan.
Solusi untuk tantangan-tantangan konstruksi ini terletak pada koordinasi dan kolaborasi intensif. Pertama, pemerintah harus membentuk task force khusus untuk mengelola akselerasi konstruksi PSEL secara terkoordinasi.
Task force ini harus melibatkan Kementerian PUPR, BUMN konstruksi, asosiasi industri konstruksi, dan stakeholder relevan lainnya. Mereka harus mengidentifikasi bottleneck, mengalokasikan resources secara optimal, dan memastikan timeline konstruksi terpenuhi.
Kedua, program pengembangan sumber daya manusia harus dimulai segera. Partnership antara pemerintah, institusi pendidikan teknik, dan industri konstruksi untuk mengembangkan kurikulum spesifik, laboratorium praktik, dan skema magang berbayar akan menciptakan talenta baru yang siap berkontribusi dalam proyek PSEL.
Ketiga, mekanisme pembiayaan harus dioptimalkan melalui inovasi keuangan. Obligasi hijau, green sukuk, blended finance, dan carbon credit mechanisms dapat dimanfaatkan untuk menurunkan biaya modal dan meningkatkan bankabilitas proyek.
Menurut ANTARA News, proyek ini akan sebagian didanai melalui Obligasi Patriot, yang berhasil menghimpun dana sebesar Rp50 triliun dari 46 konglomerat Indonesia, menunjukkan komitmen finansial yang kuat dari pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam mendukung program pengelolaan sampah menjadi energi terbarukan.
Keempat, transparansi dalam seleksi kontraktor dan tender proyek harus dipastikan. Kompetisi yang sehat antara kontraktor akan mendorong efisiensi, inovasi, dan kualitas kerja yang lebih baik. Kriteria seleksi harus jelas, berbasis merit, dan didasarkan pada track record serta kapabilitas teknis, bukan hanya pada penawaran harga terendah.
Namun, di antara tantangan dan solusi, ada dimensi manusiawi yang tidak boleh dilupakan. Perpres 109/2025 bukan hanya tentang angka dan teknologi. Ini tentang ribuan pekerja konstruksi yang akan mendapat pekerjaan, keluarga-keluarga yang hidup di sekitar lokasi PSEL yang akan merasakan udara lebih bersih, anak-anak yang akan tumbuh di lingkungan yang lebih sehat. Ini tentang menciptakan masa depan yang lebih adil, di mana pembangunan tidak mengorbankan lingkungan, tetapi malah memperbaikinya.
Perpres 109/2025 juga membawa pesan filosofis yang penting. Ini adalah perubahan cara berpikir. Selama ini, sampah dilihat sebagai limbah, beban, masalah yang harus disingkirkan dari pandangan mata.
Perpres ini mengubah narasi. Sampah adalah sumber daya yang belum dimanfaatkan. Ini adalah mindset shift yang fundamental—dari ekonomi linear menuju ekonomi sirkular, dari pemikiran jangka pendek menuju visi pembangunan berkelanjutan.
Tentu, Perpres 109/2025 bukan obat mujarab yang akan menyelesaikan semua masalah sampah Indonesia dalam semalam. Masalah sampah adalah masalah kompleks yang melibatkan aspek budaya, edukasi, infrastruktur, dan governance. Perpres ini adalah satu langkah besar, tetapi hanya satu langkah dalam perjalanan panjang menuju pengelolaan sampah yang truly sustainable.
Langkah-langkah lain yang sama pentingnya adalah pengurangan sampah dari sumber, peningkatan daur ulang material, pengembangan industri ramah lingkungan, dan perubahan pola konsumsi masyarakat yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Di level implementasi, kesuksesan Perpres 109/2025 akan sangat tergantung pada konsistensi komitmen pemerintah, partisipasi aktif pemerintah daerah, dukungan nyata dari sektor swasta, dan yang paling penting, kesadaran dan keterlibatan masyarakat luas. Ini adalah gerakan bersama menuju Indonesia yang lebih bersih, lebih hijau, dan lebih berkelanjutan.
Bagi industri konstruksi Indonesia khususnya, Perpres 109/2025 adalah peluang emas untuk menunjukkan bahwa konstruksi bukan hanya tentang membangun bangunan, tetapi tentang membangun solusi untuk tantangan sosial dan lingkungan yang mendesak.
Kontraktor, insinyur, dan pekerja konstruksi Indonesia berkesempatan untuk menjadi bagian dari gerakan global menuju ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan.
Melalui kolaborasi lintas kementerian, dukungan investasi hijau, serta partisipasi aktif pemerintah daerah, kita menata arah baru menuju Indonesia yang bersih, sehat, dan berkelanjutan.
Harapan besar tergantung pada kecepatan eksekusi, kualitas implementasi, dan integritas pengelolaan. Jika dijalankan dengan serius dan terukur, Perpres 109/2025 bukan hanya akan mengatasi krisis sampah, tetapi akan membuka chapter baru dalam perjalanan pembangunan Indonesia menuju negara yang modern, inklusif, dan berkelanjutan.
Ini adalah warisan yang akan dikenang oleh generasi mendatang—warisan di mana sampah mengubah menjadi energi, masalah berubah menjadi solusi, dan krisis berubah menjadi peluang.
Di balik setiap ton sampah yang berhasil diolah menjadi energi terbarukan, ada cerita harapan. Cerita tentang masyarakat urban yang menghirup udara lebih bersih, cerita tentang keluarga yang memiliki akses ke listrik yang lebih terjangkau, cerita tentang anak-anak yang tumbuh tanpa khawatir tentang kontaminasi lingkungan di sekitar mereka. Ini adalah cerita Indonesia yang lebih baik. Inilah visi Perpres 109/2025.
Dengan Perpres 109/2025, Indonesia telah mengambil langkah penting dalam transformasi energi dan pengelolaan sampah.
Kini, giliran semua pemangku kepentingan: pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat, untuk bersatu mewujudkan visi ini menjadi kenyataan yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi semua.