Lebih Sederhana, Lebih Kuat: Redenominasi sebagai Jembatan Menuju Konstruksi Modern
Bayangkan sebuah pagi di lokasi proyek konstruksi. Seorang mandor berdiri mengamati truk-truk material yang datang silih berganti. Di tangannya tergenggam nota pembelian semen: Rp 145.000.000. Seratus empat puluh lima juta rupiah. Sembilan digit angka yang harus ia cermati satu per satu, khawatir salah satu nol terlewat dalam pencatatan. Hari itu, ia menghabiskan waktu lebih lama dari biasanya hanya untuk memastikan bahwa semua angka nol dalam nota, kwitansi, dan laporan keuangan proyek telah tercatat dengan benar.
Di ujung kota yang sama, seorang pengusaha kontraktor tengah duduk di hadapan sistem pembukuan digitalnya, memandang deretan angka dengan belasan digit yang memenuhi layar. Ia merasakan lelah yang sama seperti yang dirasakan ayahnya dulu, ketika menghitung nilai proyek menggunakan kalkulator manual.
Inilah realitas sehari-hari industri konstruksi Indonesia. Industri yang dalam tahun 2024 saja menyumbang lebih dari 10 persen terhadap Produk Domestik Bruto dan mencapai nilai bisnis Rp 423,4 triliun dari total anggaran belanja negara. Industri yang mempekerjakan lebih dari delapan juta jiwa.
Industri yang membangun jalan, jembatan, rumah sakit, sekolah, dan mimpi-mimpi kita tentang masa depan yang lebih baik. Dan kini, industri ini akan menghadapi sebuah perubahan besar yang mungkin terdengar sederhana namun penuh makna: redenominasi rupiah.
Pada bulan Oktober 2025, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menandatangani Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025-2029. Di dalamnya tertuang sebuah rencana besar: Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah, yang lebih dikenal dengan istilah redenominasi.
Kebijakan ini menargetkan penyederhanaan nilai mata uang dengan mengurangi tiga angka nol di belakang — mengubah Rp 1.000 menjadi Rp 1, Rp 100.000 menjadi Rp 100. Target penyelesaiannya? Tahun 2026 hingga 2027.
Bagi industri konstruksi, redenominasi bukan sekadar urusan mengganti angka di kalkulator. Ini adalah transformasi yang akan menyentuh setiap aspek operasional, mulai dari cara menghitung RAB proyek, menyusun kontrak kerja, mencatat transaksi material, hingga membayar upah pekerja. Untuk memahami dampaknya, kita perlu melihat lebih dalam ke jantung industri ini.
Tahun 2025 membawa angin segar bagi konstruksi nasional. Total pasar konstruksi Indonesia diproyeksikan tumbuh 5,48 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sektor bangunan diperkirakan meningkat 9,09 persen mencapai Rp 227,76 triliun, sementara proyek sipil seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan pembangkit listrik tetap menjadi tulang punggung pembangunan.
Bahkan, laporan ASEAN Briefing memperkirakan nilai pasar konstruksi Indonesia dapat melampaui 535 miliar dolar Amerika pada 2030. Di tengah optimisme ini, redenominasi datang bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai kesempatan untuk merapikan sistem yang selama ini terasa rumit.
Bayangkan seorang arsitek muda yang baru lulus. Ia menatap dokumen anggaran proyek rumah tinggal dua lantai: Rp 850.000.000. Delapan ratus lima puluh juta. Sembilan digit.
Ia harus memecah angka itu menjadi ratusan pos biaya — pondasi, struktur, finishing, mekanikal elektrikal — masing-masing dengan nilai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Setiap kesalahan satu nol bisa berarti kerugian puluhan juta. Setiap hari, ribuan profesional konstruksi di Indonesia menghadapi tantangan yang sama.
Inilah yang ingin diselesaikan oleh redenominasi. Tujuan utamanya mencakup empat aspek penting: pertama, meningkatkan efisiensi perekonomian melalui peningkatan daya saing nasional; kedua, menjaga kesinambungan perkembangan ekonomi; ketiga, menjaga stabilitas nilai rupiah sebagai cermin terpeliharanya daya beli masyarakat; dan keempat, meningkatkan kredibilitas rupiah di mata dunia.
Untuk industri konstruksi, efisiensi ini akan terasa nyata dalam keseharian. Perhitungan Rencana Anggaran Biaya yang selama ini memakan waktu berjam-jam karena harus teliti dengan deretan angka panjang, akan menjadi lebih sederhana.
Proyek senilai Rp 50.000.000.000 akan ditulis sebagai Rp 50.000 — tetap bernilai lima puluh miliar dalam daya beli, namun jauh lebih mudah dicerna, ditulis, dan diverifikasi.
Sistem pembukuan digital yang selama ini harus mengalokasikan kapasitas penyimpanan besar untuk menampung deretan angka, akan menjadi lebih efisien. Pencatatan material yang melibatkan jutaan transaksi setiap tahunnya akan lebih ringkas dan minim kesalahan.
Namun, seperti kata pepatah, setiap perubahan besar membawa tantangan tersendiri. Bayangkan seorang pemilik perusahaan konstruksi kelas menengah yang telah mengelola bisnisnya selama dua puluh tahun.
Selama dua dekade itu, ia dan timnya telah terbiasa dengan sistem perhitungan yang ada. Mereka telah mengembangkan template kontrak, sistem akuntansi, bahkan cara berpikir mereka tentang nilai uang, semuanya berdasarkan rupiah dengan deretan nol yang panjang. Ketika redenominasi diterapkan, mereka harus mengubah segalanya.
Kontrak-kontrak konstruksi yang sedang berjalan akan menghadapi periode transisi yang krusial. Bayangkan sebuah proyek pembangunan jembatan dengan nilai kontrak Rp 75.000.000.000 yang ditandatangani sebelum redenominasi, dengan pembayaran bertahap selama tiga tahun.
Di tengah pelaksanaan, redenominasi berlaku. Bagaimana cara mengkonversi sisa pembayaran? Bagaimana memastikan tidak ada pihak yang dirugikan dalam proses konversi? Bagaimana menghindari kesalahpahaman antara kontraktor dan pemilik proyek tentang nilai pembayaran yang tersisa?
Pengalaman negara lain memberikan pelajaran berharga. Rusia gagal dalam redenominasi tahun 1998 karena dilaksanakan saat ekonomi internasional tidak stabil dan tidak berhasil meyakinkan masyarakat akan manfaatnya.
Brasil juga pernah mengalami kesulitan karena redenominasi tidak diiringi dengan stabilitas ekonomi makro. Namun ada juga kisah sukses, seperti Turki yang berhasil melakukan redenominasi dengan persiapan matang dan sosialisasi yang baik.
Untuk industri konstruksi Indonesia, kunci keberhasilan terletak pada persiapan yang menyeluruh. Pertama, perlu ada pedoman teknis yang jelas tentang bagaimana mengkonversi nilai kontrak yang sedang berjalan.
Kedua, sistem akuntansi dan pembukuan harus disesuaikan dengan cermat, termasuk perangkat lunak yang digunakan oleh perusahaan konstruksi. Ketiga, dan mungkin yang terpenting, adalah sosialisasi masif kepada seluruh pemangku kepentingan — dari pengusaha besar hingga tukang bangunan di lapangan.
Bayangkan seorang tukang las di sebuah proyek gedung bertingkat. Setiap hari ia menerima upah Rp 200.000. Ketika redenominasi berlaku, uang itu akan menjadi Rp 200. Baginya, perubahan ini bisa menimbulkan kekhawatiran: apakah daya belinya akan tetap sama? Apakah ia masih bisa membeli beras, sayuran, dan kebutuhan keluarganya seperti sebelumnya? Inilah mengapa edukasi menjadi sangat penting.
Setiap pekerja, dari level paling bawah hingga paling atas, perlu memahami bahwa redenominasi tidak mengubah nilai riil mata uang mereka.
Dari sisi positif, redenominasi membuka peluang besar untuk modernisasi industri konstruksi. Selama ini, salah satu hambatan adopsi teknologi digital dalam konstruksi adalah kompleksitas pengelolaan data finansial dengan angka yang sangat besar.
Dengan sistem yang lebih sederhana, akan lebih mudah mengintegrasikan sistem Building Information Modeling dengan manajemen keuangan proyek. Aplikasi mobile untuk pelaporan progres dan keuangan akan lebih user-friendly. Bahkan untuk pekerja dengan pendidikan terbatas, sistem yang lebih sederhana akan mengurangi risiko kesalahan input data.
Kredibilitas rupiah di mata internasional juga akan membaik. Saat ini, ketika investor asing melihat proposal proyek infrastruktur senilai Rp 500.000.000.000, mereka harus melakukan perhitungan mental untuk mengkonversi ke mata uang mereka.
Lima ratus miliar rupiah , berapa itu dalam dolar? Dengan redenominasi, angka Rp 500.000 akan jauh lebih mudah dipahami dan dibandingkan. Ini bukan soal gengsi, tetapi tentang efisiensi komunikasi bisnis di era global.
Industri konstruksi juga akan merasakan dampak pada hubungan dengan supplier material. Saat ini, pemesanan material seperti besi, semen, atau keramik melibatkan perhitungan dengan angka besar.
Sebuah supplier bahan bangunan bisa menangani ratusan transaksi per hari, masing-masing dengan nilai jutaan hingga miliaran rupiah. Kesalahan pencatatan, meski hanya satu digit, bisa berarti kerugian besar. Sistem yang lebih sederhana akan mengurangi friksi dalam rantai pasokan, mempercepat transaksi, dan mengurangi sengketa yang muncul akibat kesalahan administratif.
Namun kita tidak boleh naif. Ada risiko pembulatan harga yang perlu diantisipasi. Misalnya, biaya pengecatan per meter persegi yang saat ini Rp 28.500 akan menjadi Rp 28,5 setelah redenominasi. Ada godaan bagi kontraktor atau supplier untuk membulatkan menjadi Rp 30 atau bahkan Rp 35.
Jika ini terjadi secara massal, bisa memicu inflasi tersembunyi yang merugikan industri. Untuk itu, perlu ada pengawasan ketat dan standarisasi harga yang jelas selama periode transisi.
Biaya adaptasi juga bukan hal yang bisa diabaikan. Perusahaan konstruksi harus mengupdate sistem akuntansi mereka, melatih karyawan, mencetak ulang template dokumen, dan bahkan mungkin menghadapi kerugian sementara karena kebingungan administratif.
Untuk perusahaan besar dengan sumber daya memadai, ini mungkin bukan masalah besar. Tetapi bagi kontraktor kecil dan menengah yang beroperasi dengan margin tipis, biaya transisi ini bisa terasa berat.
Di sinilah peran pemerintah menjadi krusial. Bank Indonesia telah menyatakan bahwa persiapan redenominasi sudah dilakukan sejak 2010, termasuk desain mata uang baru dan tahapan implementasi.
Namun persiapan teknis saja tidak cukup. Perlu ada paket bantuan khusus untuk industri konstruksi, terutama UMKM konstruksi, agar mereka bisa beradaptasi tanpa terlalu terbebani secara finansial. Ini bisa berupa subsidi untuk upgrade sistem digital, pelatihan gratis, atau bahkan insentif pajak selama periode transisi.
Menariknya, redenominasi bisa menjadi momentum untuk mereformasi praktik-praktik bisnis yang selama ini bermasalah. Salah satu isu kronis dalam industri konstruksi Indonesia adalah keterlambatan pembayaran dan praktik uang muka yang tidak transparan.
Dengan sistem perhitungan yang lebih sederhana dan transparan, akan lebih mudah untuk melacak arus kas dan mengidentifikasi penyimpangan. Digitalisasi yang dipercepat oleh redenominasi juga akan membuat audit menjadi lebih mudah dan korupsi lebih sulit disembunyikan.
Kita bisa membayangkan masa depan dimana seorang pekerja konstruksi bisa mengecek gaji dan riwayat pembayarannya melalui aplikasi smartphone dengan tampilan yang sederhana dan mudah dipahami.
Dimana seorang engineer muda bisa menyusun RAB proyek dalam hitungan menit, bukan jam, karena tidak perlu berkutat dengan deretan angka panjang. Dimana investor asing bisa dengan mudah membandingkan biaya konstruksi di Indonesia dengan negara lain, mendorong masuknya lebih banyak investasi infrastruktur.
Tentu saja, semua ini tidak akan terjadi secara otomatis. Sukses atau tidaknya redenominasi dalam konteks industri konstruksi bergantung pada kualitas implementasi. Pemerintah perlu memastikan kondisi makroekonomi stabil, sosialisasi dilakukan secara masif dan merata, dan regulasi pendukung disiapkan dengan matang.

Asosiasi profesi seperti Gapensi dan AKI perlu dilibatkan sejak dini dalam penyusunan pedoman teknis. Lembaga pendidikan vokasi perlu mempersiapkan kurikulum yang mengantisipasi perubahan ini.
Yang paling penting adalah memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal dalam proses transformasi ini. Tukang bangunan di pelosok desa yang mungkin tidak punya akses internet perlu mendapat edukasi yang sama kualitasnya dengan engineer di Jakarta. Kontraktor kecil yang membangun rumah-rumah sederhana perlu mendapat dukungan yang sama dengan pengembang besar yang membangun gedung pencakar langit. Ini adalah soal keadilan, tetapi juga soal efektivitas — redenominasi hanya akan berhasil jika seluruh ekosistem industri bergerak bersama.
Di balik semua angka dan kebijakan teknis, redenominasi adalah tentang kepercayaan. Kepercayaan bahwa mata uang kita bisa lebih baik. Kepercayaan bahwa sistem ekonomi kita bisa lebih efisien.
Kepercayaan bahwa perubahan, meskipun menantang, pada akhirnya akan membawa kita ke tempat yang lebih baik. Bagi industri konstruksi yang telah membuktikan ketangguhannya melewati krisis demi krisis, redenominasi adalah ujian baru — tetapi juga kesempatan untuk melompat ke tingkat yang lebih tinggi.
Saat mandor tadi kembali ke lokasi proyek keesokan harinya, mungkin ia akan memegang nota yang sama tetapi dengan angka yang berbeda. Rp 145.000 untuk semen — lima digit yang mudah dibaca, mudah dicatat, mudah diverifikasi. Ia tersenyum, menyadari bahwa pekerjaannya hari itu akan sedikit lebih mudah.
Dan ketika puluhan ribu mandor, engineer, arsitek, dan pekerja konstruksi lainnya merasakan kemudahan yang sama, secara kolektif mereka akan membangun fondasi bagi industri yang lebih kuat, lebih efisien, dan lebih siap bersaing di panggung global.
Redenominasi bukanlah akhir dari sebuah era, melainkan awal dari babak baru. Babak dimana industri konstruksi Indonesia, yang telah membangun jembatan-jembatan penghubung pulau, jalan-jalan yang membentang ribuan kilometer, dan gedung-gedung yang menjulang tinggi, kini akan membangun sistem yang lebih baik untuk dirinya sendiri.
Dan seperti setiap bangunan kokoh, semuanya dimulai dari fondasi yang kuat : dalam hal ini, kepercayaan dan kesiapan menghadapi perubahan.
“The secret of change is to focus all of your energy not on fighting the old, but on building the new.” — Socrates