Ketika Dunia Berdenyut dengan Gula yang Membisu: Refleksi Hari Diabetes Sedunia
Setiap sembilan detik, seseorang meninggal karena komplikasi penyakit Diabetes. Setiap tiga puluh detik, satu anggota tubuh diamputasi akibat diabetes.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik dingin, melainkan suara diam dari jutaan keluarga yang berjuang, tangis yang tertelan di balik senyuman pagi, dan harapan yang terus menerus diuji oleh jarum suntik dan pemantau gula darah.
Pada tanggal 14 November 2025 lalu, dunia kembali memperingati Hari Diabetes Sedunia. Tanggal yang dipilih bukan tanpa alasan, ia menandai hari kelahiran Frederick Banting, sang penemu insulin yang telah menyelamatkan jutaan nyawa sejak 1922.
Peringatan tahun ini membawa tema yang sangat manusiawi: “Breaking Barriers, Bridging Gaps” atau “Meruntuhkan Hambatan, Menjembatani Kesenjangan”. Tema ini mengajak kita semua untuk melihat diabetes bukan hanya sebagai masalah medis, tetapi sebagai persoalan kemanusiaan yang memerlukan empati, pemahaman, dan tindakan kolektif.
Realitas yang kita hadapi hari ini sangatlah mendesak. Berdasarkan data terbaru yang dirilis WHO pada November 2024, jumlah orang dewasa yang hidup dengan diabetes di seluruh dunia telah melampaui 800 juta jiwa, meningkat lebih dari empat kali lipat sejak tahun 1990. Di balik angka yang mengejutkan ini, 537 juta orang dewasa global (1 dari 10 orang) telah didiagnosis dengan diabetes pada tahun 2021, dan diproyeksikan akan mencapai 643 juta pada 2030 dan 783 juta pada 2045.
Di kawasan Asia Tenggara tempat kita berada, situasinya tidak kalah mengkhawatirkan. Wilayah Asia Tenggara WHO mencatat hampir 246 juta orang dewasa berusia 30 tahun ke atas diperkirakan hidup dengan diabetes. Yang lebih memprihatinkan, lebih dari 60% dari mereka tidak menyadari kondisi mereka. Bayangkan, jutaan orang berjalan setiap hari tanpa mengetahui bahwa di dalam tubuh mereka, sebuah proses yang dapat mengancam nyawa sedang berlangsung secara diam-diam.
Indonesia sendiri tidak luput dari tsunami diabetes ini. Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, kita menduduki peringkat kelima negara dengan jumlah penderita diabetes terbanyak, dengan 19,5 juta penderita pada tahun 2021.
Proyeksi untuk tahun 2045 bahkan lebih menakutkan: angka tersebut diprediksi akan melonjak menjadi 28,6 juta jiwa. Dalam konteks yang lebih mendetail, penelitian yang diterbitkan dalam Scientific Reports memproyeksikan prevalensi diabetes di Indonesia akan meningkat dari 9,19% pada 2020 (18,69 juta kasus) menjadi 16,09% pada 2045 (40,7 juta kasus).
Tetapi di balik deretan angka yang menggelisahkan itu, ada wajah-wajah manusia. Ada Ibu Siti yang harus memilih antara membeli insulin atau membeli buku untuk anaknya yang akan ujian. Ada Pak Budi yang menyembunyikan penyakitnya dari atasan karena takut kehilangan pekerjaan. Ada remaja bernama Rina yang merasa berbeda dari teman-temannya karena harus membawa alat pengukur gula darah ke sekolah.
Mereka adalah sebagian dari jutaan wajah diabetes di Indonesia yang setiap hari berjuang tidak hanya melawan penyakit, tetapi juga melawan stigma, kesenjangan akses kesehatan, dan beban ekonomi yang menghimpit.
Diabetes bukan hanya soal kadar gula darah yang tinggi. Ia adalah pembuka pintu bagi berbagai komplikasi serius yang mengubah kualitas hidup seseorang secara dramatis. Penyakit ini menjadi penyebab utama kebutaan, gagal ginjal, serangan jantung, stroke, dan amputasi tungkai bawah.
Di Indonesia, proyeksi kematian akibat diabetes meningkat dari 433.752 pada 2020 menjadi 944.468 pada 2045. Kematian akibat stroke di antara penderita diabetes meningkat dari 52.397 menjadi 114.092 dalam periode yang sama.
Angka-angka ini mewakili kehilangan yang tidak terhitung: orang tua yang tidak bisa melihat cucu mereka tumbuh, anak-anak yang kehilangan ayah atau ibu terlalu dini, dan mimpi-mimpi yang terpaksa dikubur bersama harapan akan kehidupan yang sehat.
Yang lebih menyakitkan, kesenjangan akses terhadap perawatan diabetes sangatlah lebar. Hanya sekitar 50% orang dengan diabetes tipe 2 mendapatkan insulin yang mereka butuhkan, seringkali karena sistem kesehatan negara mereka tidak mampu menjangkaunya.
Di wilayah Asia Tenggara, kurang dari satu dari tiga orang dewasa dengan diabetes menjalani pengobatan, dan kurang dari 15% penderita diabetes memiliki kontrol penyakit yang baik. Ini bukan hanya statistik kesehatan, ini adalah cerminan dari ketidakadilan sistemik yang membuat penyakit yang dapat dikelola menjadi ancaman mematikan bagi mereka yang kurang beruntung.
Namun, di tengah kegelapan ini, masih ada cahaya harapan. WHO telah menetapkan lima target global cakupan diabetes yang harus dicapai pada tahun 2030, salah satunya memastikan 80% orang dengan diabetes yang terdiagnosis mencapai kontrol glikemik yang baik.
Lebih dari 23 juta orang dengan diabetes telah ditempatkan dalam manajemen berbasis protokol pada pertengahan 2024, dengan target 100 juta orang dengan diabetes dan hipertensi akan mendapatkan pengobatan standar pada tahun 2025.
Di Indonesia, upaya pencegahan dan penanganan diabetes terus ditingkatkan. Namun tantangan yang dihadapi sangat kompleks. Ironisnya, sementara jutaan orang Indonesia berjuang dengan diabetes, konsumsi gula nasional justru mencapai rekor tertinggi dalam satu dekade terakhir, mencapai 3,4 juta ton pada akhir tahun 2023.
Data Riset Kesehatan Dasar Indonesia 2018 menunjukkan tingkat konsumsi makanan dan minuman manis masih sangat tinggi, masing-masing mencapai 87,9% dan 91,49%. Padahal, anjuran konsumsi gula per hari menurut Peraturan Menteri Kesehatan hanya 10% dari total energi atau setara dengan 4 sendok makan per orang per hari.
Peringatan Hari Diabetes Sedunia tahun ini mengingatkan kita bahwa diabetes adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah perlu memperkuat sistem kesehatan primer, memastikan ketersediaan obat dan insulin yang terjangkau, serta mengimplementasikan kebijakan yang mendorong gaya hidup sehat.
Tenaga kesehatan perlu terus meningkatkan kompetensi dalam pengelolaan diabetes yang holistik dan berbasis bukti. Masyarakat perlu mendapat edukasi yang memadai tentang pencegahan, deteksi dini, dan manajemen diabetes.
Tetapi yang paling penting, kita perlu mengubah cara pandang kita terhadap diabetes dan para penyandangnya. Hampir 36% individu dengan diabetes mengalami tekanan mental, 63% ketakutan akan komplikasi, dan 28% berjuang untuk tetap positif tentang kondisi mereka.
Angka-angka ini menggarisbawahi tantangan kesehatan mental yang signifikan yang harus ditangani dalam manajemen diabetes. Mereka membutuhkan dukungan, bukan stigma. Mereka memerlukan pemahaman, bukan penghakiman. Mereka berhak mendapatkan kehidupan yang bermartabat, penuh harapan, dan produktif.
Diabetes tipe 2, yang menyumbang 90-95% dari semua kasus diabetes, sebagian besar dapat dicegah melalui pola makan sehat, aktivitas fisik teratur, menjaga berat badan normal, dan menghindari penggunaan tembakau. Ini berarti setiap dari kita memiliki kekuatan untuk mengubah narasi diabetes di keluarga dan komunitas kita. Pilihan yang kita buat hari ini tentang apa yang kita makan, bagaimana kita bergerak, dan bagaimana kita mendukung orang-orang di sekitar kita dapat menyelamatkan nyawa di masa depan.
Bagi mereka yang sudah hidup dengan diabetes, teknologi dan pendekatan pengobatan terus berkembang. Program pendidikan pasien terapeutik, pemantauan berkelanjutan, pendekatan perawatan yang berpusat pada pasien, dan integrasi layanan diabetes ke dalam sistem kesehatan primer telah terbukti meningkatkan hasil kesehatan.
Yang diperlukan adalah komitmen politik, investasi sumber daya, dan yang paling penting, kemauan kolektif untuk menjadikan kesehatan sebagai prioritas.
Pertemuan Tingkat Tinggi keempat Majelis Umum PBB tentang pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular yang akan berlangsung pada September 2025 menyajikan peluang signifikan untuk mengkatalisasi tindakan melawan peningkatan diabetes yang mengkhawatirkan di seluruh dunia. Ini adalah momen penting untuk memperkuat sistem kesehatan global dan menghentikan laju epidemi diabetes.
Ketika kita merenungkan Hari Diabetes Sedunia ini, mari kita ingat bahwa di balik setiap statistik ada manusia dengan cerita, mimpi, dan hak untuk hidup sehat. Mari kita berkomitmen untuk meruntuhkan hambatan yang memisahkan mereka dari perawatan yang layak mereka dapatkan. Mari kita menjembatani kesenjangan pengetahuan, akses, dan empati yang telah terlalu lama memperburuk krisis kesehatan ini.
Diabetes mungkin adalah penyakit kronis yang belum ada obatnya, tetapi ia bukan akhir dari segalanya. Dengan diagnosis dini, manajemen yang tepat, dukungan yang memadai, dan perubahan gaya hidup yang berkelanjutan, jutaan orang dapat hidup produktif, bahagia, dan bermakna.
Tantangannya bukan pada penyakitnya sendiri, melainkan pada kemauan kita sebagai masyarakat global untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tertinggal dalam perjuangan melawan diabetes.
Hari ini, saat kita menyalakan cahaya biru simbol kesatuan melawan diabetes, mari kita juga menyalakan harapan di hati jutaan orang yang berjuang setiap hari.
Mari kita jadikan komitmen kita bukan hanya kata-kata, tetapi tindakan nyata yang mengubah hidup. Karena pada akhirnya, perang melawan diabetes adalah perang untuk kemanusiaan itu sendiri, untuk hak setiap orang untuk hidup dengan sehat, bermartabat, dan penuh harapan.