Mawar Putih dan Air Mata: Ketika Kemenkeu Melepas Sang Ibu dengan Bahasa Kalbu
Pada sebuah Selasa yang akan terukir dalam memori kolektif bangsa, 9 September 2025, Gedung Djuanda I Kementerian Keuangan menjadi saksi dari sebuah drama kemanusiaan yang menghanyutkan. Para pegawai Kemenkeu kompak menyanyikan lagu “Bahasa Kalbu” dan “Karena Cinta” untuk mengantarkan Sri Mulyani Indrawati yang telah memimpin Kementerian Keuangan selama 17 tahun. Bukan sekadar prosesi administratif biasa, melainkan sebuah perayaan kasih yang melampaui hierarki dan protokol.
Di tengah riuh rendah kehidupan politik yang kerap dipenuhi kalkulasi kepentingan, momen ini menghadirkan oasis ketulusan yang langka. Ratusan Aparatur Sipil Negara berbaris rapi, masing-masing membawa setangkai mawar putih untuk melepas Sri Mulyani.
Mawar putih yang melambangkan kemurnian niat, keikhlasan pengabdian, dan penghormatan tertinggi terhadap sosok yang telah menjadi mercusuar dalam badai ekonomi nasional.
Ketika suara pertama “Bahasa Kalbu” bergema di Aula Mezanine, sesuatu yang magis terjadi. Lagu ciptaan Titi DJ yang sarat akan perenungan tentang komunikasi batin antara dua jiwa ini seakan menjadi jembatan emosional yang menghubungkan ribuan hati yang hadir.
Makna tersurat dari lagu ini bicara tentang pemahaman mendalam tanpa kata, tentang kegelisahan dan kekecewaan yang dipahami dalam diam. Namun makna tersiratnya jauh lebih dalam, ia berbicara tentang ikatan spiritual yang terbentuk melalui perjalanan panjang, tentang loyalitas yang tumbuh dari kesamaan visi dan misi.
Momen paling emosional terjadi saat pegawai Kemenkeu menyanyikan lagu Bahasa Kalbu, Sri Mulyani tampak tak kuasa menahan air mata dan beberapa kali menyeka wajahnya. Di sinilah kita menyaksikan transformasi seorang teknokrat yang selama ini dikenal dengan keteguhan dan kecerdasan analitisnya menjadi manusia biasa yang terharu oleh ungkapan kasih sayang murni dari anak buahnya.
Yang paling menyentuh dari seluruh rangkaian peristiwa ini adalah kehadiran Tonny Sumartono, suami setia yang telah mendampingi Sri Mulyani dalam setiap lika-liku perjalanan kariernya.
Sri Mulyani bersandar di bahu sang suami, Tonny Sumartono, saat tangisnya pecah dan dipeluk oleh suaminya di hadapan jajaran Kemenkeu. Dalam momen yang penuh emosi ini, Tonny tidak hanya hadir secara fisik, tetapi menjadi pilar kekuatan yang memungkinkan Sri Mulyani untuk tetap tegar sambil merasakan seluruh spektrum emosi yang mengalir.
Sosok Tonny Sumartono dalam konteks ini menjadi representasi ideal dari pendamping hidup yang memahami esensi pengabdian publik. Tonny Sumartono adalah suami Sri Mulyani yang dulu pekerjaannya sebagai pegawai bank.
Latar belakangnya di dunia perbankan memberikan pemahaman mendalam tentang dinamika ekonomi dan tekanan pekerjaan yang dihadapi istrinya. Kehadirannya yang konsisten di sisi Sri Mulyani, terutama dalam momen-momen krusial seperti ini, menunjukkan kematangan emosional dan komitmen yang luar biasa terhadap institusi pernikahan.
Peran Tonny dalam momen perpisahan ini memiliki dimensi simbolis yang mendalam. Ia tidak hanya menjadi sandaran fisik ketika Sri Mulyani terharu, tetapi juga menjadi cerminan dari kekuatan sistem pendukung yang memungkinkan seseorang untuk memberikan yang terbaik dalam pengabdian publiknya.
Air matanya kian deras saat sang suami, Tonny Sumartono, merangkulnya erat di tengah suasana penuh haru. Dalam pelukan tersebut, terkandung narasi tentang partnership sejati yang telah melewati berbagai ujian, mulai dari tekanan politik, kritik publik, hingga tantangan global seperti krisis finansial 2008 dan pandemi COVID-19.
Makna sentimental yang tersurat dari prosesi ini adalah ungkapan terima kasih dan penghargaan dari institusi kepada pemimpinnya. Namun makna tersiratnya jauh lebih kompleks dan universal. Ia berbicara tentang kemanusiaan dalam birokrasi, tentang bagaimana hubungan profesional dapat berevolusi menjadi ikatan emosional yang tulus.
Pegawai kompak menyanyikan: “Hanya diriku paling mengerti kegelisahan jiwamu, kasih. Dan arti kata kecewamu”. Lirik ini seperti menjadi cermin dari perjalanan panjang Sri Mulyani bersama tim Kemenkeu, di mana setiap kebijakan yang kontroversial, setiap keputusan sulit yang harus diambil, dipahami dan didukung oleh mereka yang bekerja di bawah kepemimpinannya.
Data menunjukkan bahwa Sri Mulyani telah mengabdi sebagai Menteri Keuangan dari 2005–2010 dan 2016–2025, total hampir 14 tahun memimpin keuangan negara melalui berbagai era pemerintahan. Pencapaian ini bukan hanya soal durasi, tetapi juga konsistensi dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional. Pada Oktober 2024, ketika Presiden Prabowo mengumumkan Kabinet Merah Putih, Sri Mulyani kembali menduduki kursi nomor 1 di Kemenkeu, menunjukkan kepercayaan lintas pemerintahan terhadap kapabilitasnya.
Dalam konteks budaya Jawa yang kental dengan konsep “tepo seliro” (empati) dan “gotong royong” (kebersamaan), prosesi perpisahan ini menjadi manifestasi nyata dari nilai-nilai luhur bangsa.
Ribuan pegawai Kemenkeu menunggu Sri Mulyani di lobi, menunjukkan spontanitas perasaan yang tidak bisa direkayasa. Mereka tidak datang karena instruksi atasan, tetapi karena dorongan hati untuk memberikan penghormatan terakhir.
Lagu “Karena Cinta” dari Joy Tobing yang juga dinyanyikan dalam prosesi ini menambah dimensi makna yang lebih dalam. Para pegawai kembali menyanyikan Karena Cinta dari Joy Tobing ketika Sri Mulyani menuruni anak tangga terakhir gedung.
Jika “Bahasa Kalbu” bicara tentang pemahaman, maka “Karena Cinta” bicara tentang motivasi fundamental yang menggerakkan setiap tindakan. Dalam konteks pelayanan publik, cinta ini bukan romantisme semata, tetapi komitmen mendalam terhadap kesejahteraan bangsa dan negara.
Kehadiran Tonny Sumartono dalam momen-momen seperti ini juga memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana membangun keluarga yang solid di tengah tekanan karier publik yang tinggi.
Dalam budaya patriarki yang masih kental, sosok suami yang mendukung penuh karier istri di level tertinggi pemerintahan bukanlah hal yang umum. Tonny menunjukkan bahwa kekuatan sejati seorang laki-laki bukan terletak pada dominasi, tetapi pada kemampuan untuk menjadi pendukung yang solid bagi pasangan hidupnya.
Tampak Sri Mulyani menyeka air matanya dan sempat bersandar di tubuh suaminya, Tonny Sumartono. Isak tangis terus terdengar sepanjang lagu itu dinyanyikan, menunjukkan eratnya ikatan antara Sri Mulyani dan insan Kemenkeu.
Dalam momen ini, kita melihat sintesis yang indah antara kekuatan profesional dan kerentanan manusiawi, antara pencapaian individu dan dukungan keluarga, antara layanan publik dan kehangatan personal.
Prosesi ini juga menjadi cermin dari evolusi budaya organisasi di Indonesia. Kemenkeu di bawah kepemimpinan Sri Mulyani tidak hanya menjadi mesin birokrasi yang efisien, tetapi juga komunitas yang memiliki ikatan emosional. Hal ini tercermin dari spontanitas ekspresi emosi para pegawai, yang menunjukkan bahwa kepemimpinan yang humanis mampu menciptakan loyalitas yang tulus, bukan sekadar kepatuhan prosedural.
Sri Mulyani tak bisa menahan air matanya yang menetes, ia seolah meleleh haru saat ratusan pegawai Kementerian Keuangan melepas kepergiannya. Air mata ini bukan tanda kelemahan, tetapi tanda kemanusiaan. Dalam budaya Timur yang menghargai kontrol emosi, momen ini justru menunjukkan keaslian dan kedalaman hubungan yang terbangun.
Dari perspektif sosiologis, prosesi ini menggambarkan fenomena “emotional labor” dalam konteks positif. Para pegawai tidak hanya memberikan tenaga dan pikiran untuk institusi, tetapi juga investasi emosional yang mendalam.
Para pegawai bersama-sama menyanyikan lagu milik diva pop Indonesia Titi DJ yakni Bahasa Kalbu dan lagu internasional milik Phil Collins ‘You’ll Be in My Heart’. Kombinasi lagu lokal dan internasional ini juga simbolis, menunjukkan bahwa nilai-nilai universal tentang kasih sayang dan pengorbanan dapat diekspresikan melalui berbagai medium budaya.
Peran Tonny sebagai pendamping dalam momen melankolis ini juga memberikan perspektif baru tentang maskulinitas modern. Ia tidak berusaha mengendalikan emosi istrinya atau memberikan nasihat praktis, tetapi hadir sebagai penyangga emosional yang memungkinkan Sri Mulyani untuk merasakan dan mengekspresikan perasaannya secara utuh. Ini adalah bentuk kecerdasan emosional yang tinggi, di mana kehadiran fisik dan dukungan moral menjadi lebih bermakna daripada kata-kata.
Dalam konteks yang lebih luas, prosesi perpisahan Sri Mulyani ini menjadi katalis untuk refleksi nasional tentang kualitas kepemimpinan dan loyalitas institusi.
Tangis, tepuk tangan, hingga salam perpisahan mengiringi kepergian Menteri Keuangan yang telah mengabdi lebih dari satu dekade. Spontanitas respon emosional ini tidak bisa dipalsukan atau dimanipulasi, ia muncul dari pengalaman kolektif yang otentik.
Ketika kita menyaksikan Tonny merangkul Sri Mulyani di tengah keharu-biruan, kita juga melihat metafora tentang bagaimana cinta dan dukungan personal menjadi fondasi bagi pencapaian publik.
Tidak ada yang namanya sukses individual yang murni, selalu ada jaringan dukungan yang memungkinkannya terjadi. Dalam kasus Sri Mulyani, dukungan ini datang dari berbagai sumber: tim kerja yang solid, keluarga yang mendukung, dan suami yang memahami tuntutan kariernya.
Momen ini juga mengingatkan kita pada nilai-nilai fundamental tentang pengabdian dan kesetiaan. Dalam era yang sering diwarnai oleh pergantian kepemimpinan yang cepat dan loyalitas yang mudah berubah, prosesi di Kemenkeu menunjukkan bahwa masih ada ruang untuk hubungan yang mendalam dan bermakna dalam konteks profesional.
“The best and most beautiful things in the world cannot be seen or even touched — they must be felt with the heart.” — Helen Keller











