Nepal Berdarah, Indonesia Terjaga : Pelajaran Tragis tentang Kemarahan Generasi Muda dan Masa Depan Demokrasi
Suara tembakan menggema di jalanan Kathmandu pada 9 September 2025, menandai hari yang akan dikenang sebagai salah satu hari paling kelam dalam sejarah modern Nepal. Setidaknya 25 orang tewas ketika polisi menembakkan gas air mata dan peluru karet ke arah demonstran yang mencoba menyerbu gedung parlemen karena marah atas pemblokiran media sosial dan korupsi.
Tragedi ini bukan hanya soal angka kematian, melainkan cerminan dari kemarahan generasi muda yang telah lama terpendam terhadap elite politik yang korup dan sistem yang gagal memberikan kesempatan ekonomi yang layak.
Bentrokan terjadi dipicu oleh larangan pemerintah terhadap platform media sosial, yang pada saat yang sama didorong oleh dendam yang mengakar pada korupsi merajalela oleh elite politik negara dan kurangnya peluang ekonomi. Angka ini terus bertambah seiring berjalannya waktu, mencapai korban yang tak terbayangkan sebelumnya dalam sejarah Nepal modern.
Generasi muda Nepal, yang sering disebut sebagai “Gen Z”, telah menjadi tulang punggung gerakan protes ini. Mereka tidak hanya memprotes kebijakan pelarangan media sosial yang dianggap membungkam suara mereka, tetapi juga mengekspresikan frustrasi mendalam terhadap sistem politik yang telah gagal memberikan masa depan yang cerah. Protes yang dipicu larangan platform media sosial ini telah menewaskan 19 orang dan menjadi gerakan yang dipimpin Gen Z.
Ironisnya, tragedi ini terjadi di tengah bencana alam yang juga melanda Nepal sepanjang tahun 2024. Lebih dari 215 orang, termasuk 35 anak, tewas dan puluhan hilang setelah hujan lebat memicu banjir bandang dan tanah longsor di seluruh Nepal. Kombinasi antara bencana alam dan krisis politik ini menciptakan kondisi yang sangat rapuh bagi stabilitas negara Himalaya tersebut.
Ketika kita menatap ke selatan, Indonesia menghadapi dinamika yang mengkhawatirkan serupa. Gelombang protes yang terjadi di Indonesia sepanjang 2024 dan 2025 menunjukkan pola yang tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Nepal.
Di negeri kita, ketidakpuasan masyarakat muda juga mengendap: angka pengangguran muda, ketidaksetaraan ekonomi antar wilayah, serta persepsi lemahnya tata kelola dan akuntabilitas publik, semuanya bisa menjadi bahan bakar jika dipertemukan dengan pemicu langsung seperti tindakan represif atau pemutusan saluran informasi yang dipandang penting oleh publik.
Saat kepercayaan publik terhadap institusi melemah, fragmen-fragmen ketidakpuasan mudah bersatu di ruang-ruang daring dan nyata dimana jika tidak dikelola, bisa berubah menjadi tindakan massa yang sulit dikendalikan.
Protes “peringatan darurat” pada Agustus 2025 dan protes “Indonesia gelap” pada Februari 2025 memiliki pemicu dan target langsung yang berbeda, namun semua gelombang ini mengekspresikan kritik serupa terhadap elite politik Indonesia dan korupsi yang merajalela.
Fenomena “Indonesia Gelap” yang muncul pada awal 2025 menunjukkan bahwa generasi muda Indonesia juga mengalami frustrasi serupa dengan rekan-rekan mereka di Nepal.
Ribuan mahasiswa menggelar protes “Indonesia Gelap” di berbagai kota karena pemotongan anggaran dan kebijakan lainnya telah memicu kemarahan. Kondisi ini diperparah oleh ketimpangan ekonomi yang semakin melebar dengan Indonesia memiliki 44 juta pemuda yang kesulitan mendapat pekerjaan.
Data mengenai gaji anggota DPR Indonesia yang mencapai hingga 230 juta rupiah per bulan atau sekitar 2,8 miliar rupiah per tahun menurut data Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) DPR untuk periode 2023-2025, semakin memicu kemarahan publik di tengah kondisi ekonomi yang sulit. Kontras antara kehidupan mewah para elite politik dengan perjuangan rakyat biasa menciptakan jurang ketidakadilan yang semakin dalam.
Peran media sosial dalam kedua negara juga menunjukkan pola yang menarik. Di Nepal, upaya pembatasan media sosial justru menjadi pemicu utama protes massal. Sementara di Indonesia, kampanye-kampanye ini memiliki kehadiran yang signifikan di platform media sosial terutama di beranda individu, per 21 Agustus 2025, yang menjadi katalis untuk protes besar di berbagai kota pada 22 Agustus 2025. Media sosial telah menjadi ruang demokratis baru bagi generasi muda untuk menyuarakan aspirasi dan mengorganisir gerakan perlawanan.
Transparansi Internasional telah mengeluarkan peringatan keras terkait respons pemerintah Indonesia terhadap protes-protes damai. Transparansi Internasional dengan tegas mengutuk respons kekerasan pemerintah Indonesia terhadap protes damai dan meminta otoritas untuk menghormati hak-hak sipil warga negara. Peringatan ini menjadi indikator bahwa situasi di Indonesia telah menarik perhatian komunitas internasional.
Apakah Indonesia berisiko mengalami tragedi serupa dengan Nepal? Jawabannya tidak sederhana. Namun, beberapa indikator menunjukkan kesamaan pola yang mengkhawatirkan: ketimpangan ekonomi yang melebar, korupsi yang masih merajalela, frustrasi generasi muda yang meningkat, dan respons negara yang cenderung represif terhadap protes. Kombinasi faktor-faktor ini dapat menciptakan kondisi yang eksplosif jika tidak ditangani dengan bijaksana.
Antisipasi yang dapat dilakukan meliputi beberapa langkah strategis. Pertama, pemerintah harus menunjukkan komitmen nyata dalam memberantas korupsi, bukan hanya dalam retorika politik tetapi dalam tindakan konkret. Kedua, perlu adanya upaya sistematis untuk mengurangi ketimpangan ekonomi melalui kebijakan yang pro-rakyat dan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas bagi generasi muda. Ketiga, dialog yang konstruktif antara pemerintah dan masyarakat sipil harus dipelihara untuk mencegah akumulasi frustrasi yang dapat meledak menjadi kekerasan.
Keempat, reformasi sistem politik yang memungkinkan partisipasi yang lebih luas dan representatif dari berbagai kelompok masyarakat, terutama generasi muda. Kelima, perlindungan ruang sipil dan kebebasan berekspresi harus dijaga, termasuk penggunaan media sosial sebagai platform demokratis. Terakhir, pembelajaran dari pengalaman negara-negara lain, termasuk Nepal, harus dijadikan referensi dalam menyusun strategi pencegahan krisis serupa.
Indonesia memiliki keunggulan dibandingkan Nepal dalam hal stabilitas institusi dan pengalaman transisi demokrasi yang relatif sukses. Namun, keunggulan ini tidak boleh membuat kita lengah terhadap potensi krisis yang mengintai.
Sejarah telah mengajarkan bahwa kestabilan politik bukanlah sesuatu yang dapat dianggap pasti, melainkan harus terus dipelihara melalui tata kelola yang baik, keadilan sosial, dan responsivitas terhadap aspirasi rakyat.
Tragedi Nepal mengingatkan kita bahwa demokrasi bukan hanya soal pemilihan umum yang rutin, tetapi juga tentang kualitas kehidupan rakyat, keadilan sosial, dan akuntabilitas pemerintah.
Akhirnya, nada kepemimpinan menentukan suasana. Pemimpin yang bersikap terbuka, cepat menanggapi keluhan riil dengan solusi konkret, dan menolak penggunaan kekerasan yang berlebihan, akan menurunkan kemungkinan protes berubah menjadi anarki.
Sebaliknya, kebijakan yang arogan atau langkah-langkah paternalistik yang mengabaikan aspirasi muda berpotensi memicu ledakan yang lebih besar. Pelajaran Nepal menegaskan bahwa celah antara aspirasi generasi baru dan kemauan politik yang lambat untuk berubah mudah menjadi jurang.
Ketika kepercayaan rakyat terhadap sistem politik hilang, dan ketika frustrasi ekonomi bertemu dengan korupsi yang merajalela, maka benih-benih konflik akan mudah tumbuh subur.
Generasi muda Indonesia dan Nepal memiliki kesamaan dalam hal harapan dan aspirasi mereka terhadap masa depan yang lebih baik. Mereka adalah generasi yang tumbuh dengan teknologi digital, memiliki akses informasi yang luas, dan tidak ragu untuk menyuarakan pendapat mereka.
Namun, mereka juga menghadapi tantangan ekonomi yang berat, kompetisi yang ketat, dan sistem politik yang sering kali tidak responsif terhadap kebutuhan mereka.
Dalam konteks Indonesia, pelajaran dari Nepal harus menjadi pengingat bahwa stabilitas politik bukanlah sesuatu yang dapat dianggap remeh. Investasi dalam pendidikan, penciptaan lapangan kerja, pemberantasan korupsi, dan penguatan institusi demokratis adalah kunci untuk mencegah terjadinya krisis serupa.
Pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta harus bekerja sama untuk memastikan bahwa aspirasi generasi muda dapat disalurkan melalui jalur-jalur yang konstruktif dan damai.
Pada akhirnya, tragedi Nepal bukan hanya sekadar peristiwa yang terjadi di negara tetangga, tetapi cermin yang menunjukkan betapa rapuhnya stabilitas politik ketika kepercayaan rakyat hilang dan ketidakadilan sosial merajalela. Indonesia memiliki kesempatan untuk belajar dari pengalaman ini dan mengambil langkah-langkah preventif sebelum terlambat.
Pilihan ada di tangan kita semua: apakah kita akan menunggu hingga tragedi serupa terjadi, atau kita akan bertindak sekarang untuk membangun sistem yang lebih adil, responsif, dan berkelanjutan.














