Paradoks Zaman Now: Melarikan Diri dari Teknologi yang Kita Cintai Sendiri
“Kita membentuk alat, dan kemudian alat itu membentuk kita.” — Marshall McLuhan
Ada sesuatu yang lucu sekaligus menyedihkan ketika seorang eksekutif muda di Jakarta rela merogoh kocek puluhan juta rupiah untuk menghabiskan seminggu di pedalaman Bali, tanpa ponsel, tanpa WiFi, tanpa notifikasi.
Ia datang ke sana bukan untuk liburan biasa, melainkan untuk sebuah program yang dijuluki digital detox retreat, sebuah tempat pelarian dari teknologi yang ironisnya, ia sendiri yang memilih untuk menggenggamnya erat setiap hari.
Ini bukan lagi tentang kejenuhan fisik semata, melainkan tentang jiwa yang terkuras oleh dunia maya yang kita ciptakan sendiri.
Di Indonesia, fenomena ini bukan lagi sekadar tren kesehatan mental dari negara Barat. Ia telah menjadi bisnis yang tumbuh subur di tengah masyarakat yang memegang rekor menghabiskan lebih dari enam jam sehari di aplikasi ponsel, tertinggi di dunia.
Bayangkan, seperempat dari waktu bangun kita setiap hari dihabiskan menatap layar kecil yang tak pernah mati. Kita menggulir tanpa henti, menyerap informasi yang tak kita butuhkan, membandingkan hidup kita dengan gambar-gambar indah yang dikurasi sempurna di media sosial. Lalu ketika lelah, kita mencari pelarian—dengan membayar mahal.
Survei Asia Care 2024 menunjukkan bahwa 56% masyarakat Indonesia paling khawatir dengan stres dan kelelahan mental, mengungguli kekhawatiran lain seperti gangguan tidur atau kecemasan. Angka ini bukan kebetulan.
Kita hidup di era di mana batas antara waktu kerja dan waktu pribadi telah luluh, diterobos oleh pesan WhatsApp dari atasan pada malam minggu, email yang menunggu dibaca saat makan malam bersama keluarga, atau unggahan media sosial yang membuat kita merasa tertinggal jika tidak segera merespons. Teknologi yang dijanjikan akan membebaskan kita, justru menjadi belenggu baru yang lebih halus tapi lebih mengikat.
Maka muncullah bisnis pelarian ini. Bali, dengan alam tropisnya dan pemandangan gunung yang menenangkan, kini menjadi surga bagi tempat-tempat yang menawarkan program lepas dari teknologi.
Ada yang menawarkan paket yoga di tengah sawah tanpa gangguan notifikasi. Ada yang menyediakan terapi Ayurveda (sistem pengobatan holistik tradisional India kuno yang menekankan keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan jiwa) sambil memaksa tamu menyerahkan gawai mereka di hari pertama.
Harganya? Mulai dari jutaan hingga puluhan juta rupiah untuk beberapa hari saja. Paradoksnya menohok: kita membayar mahal untuk merasakan kembali ketenangan yang seharusnya gratis, ketenangan dari kehidupan yang tidak terus-menerus terganggu.
Namun siapa yang salah? Teknologi? Diri kita sendiri? Atau sistem yang membangun ekspektasi bahwa kita harus selalu terhubung, selalu responsif, selalu produktif? Jawabannya mungkin ketiganya sekaligus.
Kita mengunduh aplikasi media sosial dengan sukarela, tapi algoritma di baliknya dirancang oleh para ahli psikologi dan ilmuwan perilaku untuk membuat kita terus kembali, terus menggulir, terus terperangkap.
Kita membeli ponsel pintar karena praktis, tapi tanpa sadar menjadi budaknya. Kita ingin sukses dalam karier, jadi kita selalu siaga, sampai akhirnya tubuh dan pikiran meminta berhenti.
Di sinilah ironi terbesar muncul. Digital detox retreat sebenarnya adalah solusi sementara untuk masalah sistemik yang jauh lebih dalam. Ketika seseorang pulang dari retreat itu dengan pikiran segar dan jiwa yang tenang, ia kembali ke dunia yang sama, dunia yang penuh tekanan, notifikasi, dan tuntutan untuk selalu terhubung.
Dalam hitungan hari, bahkan jam, ia akan kembali ke pola lama. Ini seperti mengobati demam tanpa menghilangkan infeksinya. Bisnis ini berkembang justru karena akar masalahnya tidak pernah benar-benar diatasi.
Tantangan terbesar di Indonesia adalah kesadaran kolektif yang masih rendah tentang bahaya kecanduan teknologi. Kita masih menganggapnya sebagai sesuatu yang normal, bahkan keren.
Seorang anak muda yang menghabiskan delapan jam di media sosial tidak dianggap bermasalah, melainkan dianggap “gaul” dan “update”. Orang tua yang membelikan ponsel pintar untuk anak berusia lima tahun tidak merasa bersalah, melainkan merasa telah memberikan fasilitas terbaik. Kita tidak menyadari bahwa teknologi, seperti halnya makanan atau obat, perlu dikonsumsi dengan bijak dan dalam takaran yang tepat.
Kemudian ada soal akses. Digital detox retreat yang berkualitas harganya sangat mahal, hanya terjangkau oleh kalangan menengah ke atas. Padahal kelelahan mental akibat teknologi tidak mengenal kelas sosial.
Seorang pekerja pabrik yang terus-menerus memeriksa TikTok hingga larut malam mengalami gangguan yang sama dengan seorang profesional yang tidak bisa melepaskan email kantor. Tapi hanya yang terakhir yang punya uang untuk melarikan diri ke Bali. Ini menciptakan ketimpangan baru dalam akses terhadap kesehatan mental—ketimpangan yang semakin dalam karena solusinya dikomersialisasi.
Lalu apa solusinya? Tentu bukan melarang teknologi atau kembali ke zaman batu. Teknologi telah membawa banyak manfaat luar biasa: menghubungkan orang yang terpisah jarak, membuka akses pendidikan, menciptakan peluang ekonomi baru.
Yang kita butuhkan adalah literasi digital yang lebih baik dan budaya yang lebih sehat dalam menggunakan teknologi. Ini dimulai dari hal-hal kecil: menetapkan jam malam untuk ponsel, menciptakan zona bebas gawai di rumah, belajar mengatakan tidak pada tuntutan untuk selalu responsif, dan yang paling penting, mengajarkan anak-anak kita untuk memiliki hubungan yang sehat dengan teknologi sejak dini.
Pemerintah dan perusahaan juga punya peran. Kebijakan tentang hak karyawan untuk terputus dari pekerjaan di luar jam kerja perlu diterapkan dengan serius. Perusahaan teknologi perlu lebih bertanggung jawab dalam desain produk mereka, tidak hanya fokus pada waktu layar yang lebih lama tetapi juga pada kesejahteraan pengguna. Kampanye kesadaran publik tentang kesehatan mental digital perlu digalakkan, sama seperti kampanye anti-rokok atau bahaya narkoba.
Kita juga perlu mengubah narasi tentang kesuksesan dan produktivitas. Budaya “selalu sibuk” yang diagungkan di media sosial perlu dipertanyakan. Apakah benar orang yang paling sukses adalah yang paling sibuk, yang paling cepat membalas email, yang paling update dengan segala hal? Atau justru yang paling sukses adalah yang punya keseimbangan, yang tahu kapan harus bekerja dan kapan harus berhenti, yang punya waktu untuk diri sendiri dan orang-orang tercinta?
Digital detox retreat tetap akan eksis, dan tidak ada yang salah dengan itu. Bagi mereka yang mampu, ini bisa jadi jeda yang berharga, kesempatan untuk refleksi dan pemulihan.
Tapi jangan sampai kita terjebak dalam ilusi bahwa ini adalah solusi akhir. Solusi sejati terletak pada perubahan perilaku jangka panjang, pada budaya yang lebih bijak dalam menggunakan teknologi, dan pada kesadaran bahwa ketenangan jiwa bukan komoditas yang harus dibeli dengan harga mahal.
Kita perlu belajar menciptakan digital detox dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari hal sederhana: sarapan tanpa melihat ponsel, berjalan-jalan di taman tanpa mengambil foto untuk Instagram, berbincang dengan teman tanpa memeriksa notifikasi setiap lima menit. Ketenangan sejati bukan di resort mewah di Bali, melainkan dalam kemampuan kita untuk hadir sepenuhnya dalam momen ini, di mana pun kita berada.
Pada akhirnya, ironi dari digital detox retreat mengingatkan kita pada pertanyaan mendasar: untuk siapa kita hidup? Apakah untuk algoritma yang tak pernah puas, untuk notifikasi yang tak pernah berhenti, untuk citra diri di media sosial yang tak pernah cukup sempurna? Atau untuk diri kita sendiri, untuk kebahagiaan sejati, untuk hubungan yang bermakna dengan orang-orang yang kita cintai?
Teknologi adalah alat, bukan tuan. Kita yang memilih apakah akan mengendalikannya atau dikontrol olehnya. Dan pilihan itu tidak memerlukan uang banyak atau tempat pelarian yang mahal.
Pilihan itu dimulai dari keputusan kecil yang kita buat setiap hari, setiap jam, setiap kali tangan kita refleks meraih ponsel tanpa alasan jelas. Di situlah kebebasan sejati dimulai, bukan di resort bebas teknologi yang mewah, melainkan dalam kesadaran dan keberanian kita untuk mengatakan: cukup.