Dari Tangan Para Pahlawan: Delapan Dekade Kedaulatan Energi Bangsa
Pada pagi hari 27 Oktober 1945, ketika negeri ini baru saja menapaki usia dua bulan kemerdekaan, sekelompok pemuda dan buruh listrik mengambil langkah berani yang kelak mengubah wajah Indonesia. Mereka merebut perusahaan-perusahaan listrik dari tangan penjajah Jepang, bukan dengan kekerasan yang membabi buta, melainkan dengan keyakinan bahwa cahaya adalah hak setiap bangsa merdeka.
Hari itu, melalui Penetapan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1945, lahirlah Jawatan Listrik dan Gas di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga. Tanggal itulah yang kini kita kenang sebagai Hari Listrik Nasional, sebuah momentum yang menandai dimulainya kedaulatan energi bangsa Indonesia.
Delapan puluh tahun kemudian, ketika kita memperingati Hari Listrik Nasional ke-80 pada tahun 2025, perjalanan panjang kelistrikan Indonesia telah mencatat catatan yang mencengangkan.
Dari sebuah negara yang pada masa awal kemerdekaan hanya memiliki kapasitas listrik terbatas di beberapa kota besar, kini Indonesia telah mencapai rasio elektrifikasi 99,83 persen, dengan konsumsi listrik nasional yang diperkirakan mencapai 430 terawatt-hour pada tahun 2025. Angka-angka ini bukan sekadar statistik dingin, melainkan cerminan dari jutaan kehidupan yang tersentuh, mimpi-mimpi yang terwujud, dan harapan yang terus menyala di setiap sudut nusantara.
Sebagai seorang praktisi di bidang elektrikal dan konstruksi, saya telah menyaksikan secara langsung bagaimana listrik menjadi nadi kehidupan pembangunan negeri ini. Setiap proyek pembangunan infrastruktur, setiap gedung pencakar langit yang menjulang, setiap pabrik yang beroperasi, semuanya bergantung pada pasokan listrik yang stabil dan memadai.
Industri konstruksi Indonesia, yang menyerap lebih dari 8,7 juta tenaga kerja dan menyumbang 9,48 persen terhadap PDB nasional, tidak akan pernah bisa berkembang tanpa kehadiran listrik yang andal. Bahkan proyeksi pertumbuhan industri konstruksi sebesar 5,48 persen pada tahun 2025 sangat bergantung pada ketersediaan energi listrik untuk pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan, dan pembangkit listrik itu sendiri.
Namun di balik kemegahan angka-angka ini, terdapat kisah-kisah manusiawi yang jauh lebih menyentuh. Saya masih mengingat dengan jelas ketika terlibat dalam sebuah proyek elektrifikasi desa di ujung timur Indonesia beberapa tahun lalu. Ketika lampu pertama menyala di rumah-rumah sederhana itu, saya melihat air mata kebahagiaan mengalir di wajah para orang tua yang selama puluhan tahun hidup dalam kegelapan setelah matahari terbenam.
Anak-anak yang sebelumnya belajar dengan cahaya lentera sekarang bisa membaca buku hingga larut malam. Para ibu yang dulunya harus menumbuk padi secara manual sekarang bisa menggunakan mesin penggiling listrik, menghemat waktu dan tenaga untuk hal-hal yang lebih bermakna. Itulah wajah sejati dari apa yang kita sebut pemerataan energi.
Program Listrik Desa yang telah menjangkau 10.068 lokasi dan memberi manfaat bagi lebih dari 1,2 juta pelanggan baru bukanlah sekadar pencapaian administratif. Setiap sambungan listrik yang terpasang adalah sebuah jembatan menuju masa depan yang lebih baik.
Ketika klinik kesehatan di daerah terpencil akhirnya bisa mengoperasikan alat medis modern, ketika sekolah di pedalaman bisa menggunakan komputer untuk pembelajaran, ketika usaha kecil di desa bisa menggunakan mesin-mesin modern untuk meningkatkan produktivitas, di situlah kita melihat transformasi sejati sebuah bangsa.
Bagi dunia konstruksi Indonesia, listrik bukan hanya soal penerangan atau penggerak mesin. Listrik adalah fondasi dari setiap inovasi yang kami ciptakan. Ketika kami membangun gedung bertingkat, sistem kelistrikan yang canggih memastikan lift berjalan lancar, sistem pendingin udara bekerja optimal, dan perangkat keamanan berfungsi sempurna.
Ketika kami membangun jalan tol, penerangan yang memadai tidak hanya meningkatkan keselamatan berkendara, tetapi juga memungkinkan pekerjaan konstruksi berlangsung hingga malam hari, mempercepat penyelesaian proyek. Ketika kami membangun pelabuhan modern, sistem kelistrikan yang andal memastikan crane-crane raksasa bisa mengangkat kontainer dengan presisi, mendukung kelancaran arus perdagangan nasional.
Perayaan Hari Listrik Nasional tahun ini mengusung tema yang sangat menyentuh: Terangi Negeri, Wujudkan Mimpi, Menguatkan Empati. Tema ini bukan sekadar slogan kosong. Dalam setiap proyek yang saya tangani, saya melihat bagaimana listrik benar-benar mewujudkan mimpi.
Mimpi seorang pengusaha kecil yang ingin mengembangkan bisnisnya, mimpi seorang guru yang ingin memberikan pendidikan terbaik bagi murid-muridnya, mimpi seorang petani yang ingin menggunakan teknologi modern untuk meningkatkan hasil panennya. Listrik memberikan mereka kesempatan yang sama untuk maju, terlepas dari di mana mereka tinggal.
Tantangan ke depan tentu tidak mudah. Masih terdapat sekitar 5.700 desa yang belum sepenuhnya menikmati listrik, sebagian besar berada di wilayah dengan kondisi geografis yang menantang seperti pulau-pulau kecil dan kawasan pedalaman.
Saya memahami betul kompleksitas membangun infrastruktur kelistrikan di wilayah-wilayah tersebut. Medan yang sulit, akses yang terbatas, cuaca yang ekstrem, semua itu membutuhkan keterampilan teknis tinggi, kesabaran luar biasa, dan komitmen yang tidak tergoyahkan.
Namun justru di sinilah semangat juang para pahlawan listrik di masa lalu harus terus kita warisi. Mereka yang pada 27 Oktober 1945 berani mengambil alih perusahaan listrik dari penjajah tidak memiliki teknologi canggih seperti yang kita miliki sekarang. Yang mereka punya hanyalah keyakinan bahwa bangsa ini layak mendapatkan cahaya sendiri, tanpa bergantung pada bangsa lain. Keyakinan itulah yang harus terus membara dalam dada setiap insan kelistrikan dan konstruksi Indonesia.
Transformasi menuju energi terbarukan juga membuka peluang besar bagi industri konstruksi. Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 2025-2034 menargetkan 76 persen kapasitas pembangkit baru berasal dari energi terbarukan, yang berarti akan ada ribuan proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya, pembangkit listrik tenaga angin, pembangkit listrik tenaga panas bumi, dan berbagai infrastruktur pendukungnya. Ini bukan hanya soal membangun struktur fisik, tetapi juga tentang membangun masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan bagi anak cucu kita.
Dalam dunia konstruksi, kami juga terus berinovasi mengadopsi teknologi ramah lingkungan. Penggunaan alat berat listrik, material konstruksi rendah karbon, sistem pencahayaan hemat energi, semuanya adalah bagian dari komitmen kami untuk tidak hanya membangun dengan cepat dan efisien, tetapi juga bertanggung jawab terhadap lingkungan. Investasi sebesar 26,6 miliar dolar AS untuk infrastruktur harus dimanfaatkan dengan bijak untuk membangun sistem kelistrikan yang tidak hanya memenuhi kebutuhan saat ini, tetapi juga lestari untuk generasi mendatang.
Yang paling membanggakan adalah melihat bagaimana kolaborasi antara pemerintah, PLN, kontraktor konstruksi, dan masyarakat telah menciptakan sinergi luar biasa. Program Light Up The Dream yang memberikan sambungan listrik gratis kepada 21 keluarga kurang mampu di Banyuwangi adalah contoh nyata bagaimana listrik bukan sekadar komoditas bisnis, melainkan hak dasar setiap warga negara yang harus dijamin pemenuhannya. Ini adalah wujud empati yang sesungguhnya, ketika mereka yang mampu mengulurkan tangan membantu mereka yang belum berkesempatan.
Saya melihat Hari Listrik Nasional bukan hanya sebagai peringatan seremonial. Ini adalah pengingat akan tanggung jawab besar yang kami pikul. Setiap tiang listrik yang kami dirikan, setiap kabel yang kami pasang, setiap trafo yang kami instalasi, semuanya adalah bagian dari jaringan kehidupan yang menghubungkan mimpi-mimpi jutaan orang Indonesia.
Ketika seorang anak di Papua menyalakan lampu untuk belajar di malam hari, ketika seorang ibu di Maluku menyalakan mesin jahit listriknya untuk mencari nafkah, ketika seorang petani di Nusa Tenggara Timur menggunakan pompa air listrik untuk mengairi sawahnya, di situlah kami merasakan makna sejati dari pekerjaan kami.
Perjalanan 80 tahun kelistrikan Indonesia mengajarkan kita bahwa pembangunan sejati bukan hanya tentang gedung-gedung megah atau infrastruktur raksasa. Pembangunan sejati adalah ketika setiap warga negara, tidak peduli di mana mereka tinggal, memiliki akses yang sama terhadap sumber daya yang memungkinkan mereka mengembangkan potensi diri sepenuhnya.
Listrik adalah salah satu sumber daya paling fundamental tersebut. Dengan listrik, seorang anak dari desa terpencil bisa belajar sama baiknya dengan anak di kota besar. Dengan listrik, seorang pengusaha kecil di pelosok bisa bersaing di pasar global. Dengan listrik, kualitas layanan kesehatan di daerah tertinggal bisa meningkat drastis.
Ke depan, tantangan akan semakin kompleks. Permintaan listrik yang terus meningkat, kebutuhan akan energi terbarukan, modernisasi infrastruktur lama, ekspansi ke wilayah-wilayah terpencil yang semakin sulit dijangkau, semuanya membutuhkan kerja keras, keterampilan tinggi, dan dedikasi luar biasa.
Namun saya yakin, dengan semangat yang sama seperti para pahlawan listrik yang merebut kedaulatan energi pada 1945, dengan teknologi yang terus berkembang, dengan kolaborasi yang kuat antara pemerintah dan swasta, dengan kepedulian yang tulus terhadap sesama, kita pasti bisa mewujudkan Indonesia terang 100 persen, bahkan melampaui itu.
Hari Listrik Nasional ke-80 ini adalah momentum untuk merenungkan kembali makna cahaya dalam kehidupan kita. Cahaya bukan hanya soal terang secara fisik, tetapi juga soal pencerahan, harapan, dan kemungkinan.
Setiap lampu yang menyala adalah simbol dari potensi yang terbuka, dari mimpi yang bisa diwujudkan, dari masa depan yang lebih baik. Dan sebagai profesional di bidang elektrikal dan konstruksi, kami bangga menjadi bagian dari perjalanan panjang ini, menjadi bagian dari upaya menerangi setiap jengkal tanah air tercinta.
Mari kita teruskan estafet perjuangan para pendahulu kita. Mari kita pastikan bahwa cahaya yang mereka nyalakan 80 tahun lalu tidak pernah padam, malah semakin terang menerangi seluruh negeri.
Karena pada akhirnya, pembangunan negeri ini bukan hanya soal berapa banyak gedung yang kita bangun atau berapa panjang jalan yang kita bentangkan.
Pembangunan sejati adalah ketika setiap anak bangsa, di mana pun mereka berada, bisa menyalakan lampu di rumah mereka dengan penuh harapan, mengetahui bahwa mereka memiliki kesempatan yang sama untuk meraih mimpi mereka.