Saat Kehidupan Mengajarkan tentang Kepergian: Film “Sampai Titik Terakhirmu” dan Keberanian untuk Tetap Mencintai
Ada kalanya perfilman Indonesia tidak sekadar menawarkan hiburan belaka, tetapi menyuguhkan perenungan mendalam tentang arti kemanusiaan, tentang cinta yang tak tergoyahkan oleh apapun, bahkan oleh maut sekalipun.
Film “Sampai Titik Terakhirmu”, yang tayang sejak 13 November 2025 lalu, adalah salah satu karya yang berhasil menerjemahkan kisah nyata menjadi sebuah puisi visual yang menggetarkan.
Disutradarai oleh Dinna Jasanti dan diproduksi oleh LYTO Pictures, film ini bukan sekadar cerita romansa biasa?—?ini adalah testimoni tentang keteguhan hati manusia ketika dunia terasa begitu kejam.
Kisah ini berawal dari dua insan dengan dunia yang berbeda. Shella Selpi Lizah, yang diperankan dengan penuh kedalaman emosi oleh Mawar Eva de Jongh, adalah sosok perempuan muda yang memancarkan energi kehidupan. Ia seorang atlet, pembuat konten, dan jiwa yang selalu menjadi cahaya bagi orang-orang di sekelilingnya.
Di sisi lain, ada Albi Dwizky, seorang perantau introvert yang bekerja sebagai pengelola acara pernikahan, diperankan dengan kehangatan luar biasa oleh Arbani Yasiz. Albi adalah pria sederhana yang tidak pernah membayangkan hidupnya akan disentuh oleh cinta sebesar ini.
Pertemuan mereka terjadi dengan cara yang tak terduga: sebuah bola futsal yang nyasar mengenai kepala Albi menjadi titik awal dari sebuah kisah yang kemudian menggetarkan jutaan hati di media sosial. Dari sapaan ringan, berkembanglah kedekatan yang tulus dan dalam.
Mereka jatuh cinta bukan karena pesona fisik semata, tetapi karena kesamaan jiwa, karena rasa nyaman yang tumbuh perlahan namun pasti. Keluarga mereka merestui, masa depan terasa cerah, dan cinta seperti membuka jalan menuju kebahagiaan yang sempurna.
Namun takdir berkata lain. Shella mulai mengeluhkan rasa sakit di perutnya. Apa yang semula dikira kista biasa, ternyata berkembang menjadi kanker ovarium yang ganas.
Diagnosis medis itu datang seperti petir di siang bolong, menghancurkan semua mimpi yang mereka bangun bersama. Tetapi di sinilah kekuatan sejati dari film ini terletak , bukan pada kemalangan yang menimpa, melainkan pada respons keduanya terhadap kemalangan itu.
Mawar Eva de Jongh memberikan penampilan yang berani dan menggetarkan. Untuk menghidupkan karakter Shella, ia rela menurunkan berat badan hingga enam hingga tujuh kilogram dalam dua bulan, bahkan tampil botak untuk menggambarkan efek kemoterapi. Ini bukan sekadar akting teknis, tetapi dedikasi terhadap penghormatan pada sosok nyata yang kisahnya diangkat.
Mawar tidak hanya memerankan Shella, ia merasakan penderitaan, ketakutan, dan sekaligus keberanian Shella. Di setiap tatapan matanya, kita menyaksikan perempuan muda yang menolak untuk menyerah, yang tetap tersenyum meski tubuhnya digerogoti penyakit.
Sementara itu, Arbani Yasiz membawakan karakter Albi dengan penuh kehangatan dan ketulusan yang menyentuh. Ia menggambarkan sosok dengan “golden retriever energy”?—?kehadirannya membuat siapa pun merasa aman dan diterima.
Untuk mendalami peran ini, Arbani bahkan meluangkan banyak waktu bersama Albi asli, mempelajari caranya berbicara, tertawa, dan yang terpenting, cara Albi mencintai Shella tanpa syarat. Arbani menaikkan berat badannya tiga kilogram untuk mencocokkan fisik dengan sosok aslinya, menunjukkan komitmen penuh terhadap peran yang diembannya.
Film ini juga diperkuat oleh kehadiran pemain pendukung yang memberikan warna tersendiri, di antaranya Unique Priscilla, Kiki Narendra, Yasamin Jasem, Shakeel Fauzi, Tika Panggabean, Onadio Leonardo, Siti Fauziah, TJ Ruth, Vonny Felicia, Verina Ardiyanti, Alfie Alfandy, Dana Wardhana, dan Ricky Cemor. Mereka semua berkontribusi dalam membangun suasana kehangatan keluarga dan persahabatan yang menjadi fondasi bagi perjuangan Albi dan Shella.
Sutradara Dinna Jasanti menangani materi yang sangat sensitif ini dengan kepekaan luar biasa. Ia tidak jatuh ke dalam perangkap melodrama yang murahan atau manipulasi emosi yang berlebihan. Sebaliknya, Dinna membiarkan cerita berbicara sendiri, membiarkan momen-momen kecil: tatapan, sentuhan tangan, tawa di tengah air mata , menyampaikan pesan yang jauh lebih kuat daripada dialog panjang lebar.
Setiap adegan dirancang dengan cermat untuk menghormati kisah nyata di baliknya. Keluarga Albi dan Shella ikut terlibat dalam proses riset dan produksi, memastikan bahwa film ini tetap setia pada kenyataan tanpa kehilangan kekuatan emosionalnya.
Yang membuat film ini begitu istimewa adalah penggambaran cinta yang bukan tentang keindahan, tetapi tentang kesetiaan. Ketika Shella mulai kehilangan rambutnya, ketika tubuhnya melemah dan ia harus menggunakan kursi roda, ketika rasa sakitnya tak tertahankan, Albi tetap di sana.
Ia tidak pergi. Ia tidak lari. Ia memilih untuk tinggal, untuk menjadi sandaran, untuk menjadi cahaya di kegelapan. Dan itulah yang dimaksud dengan cinta sejati: bukan tentang janji di hari-hari indah, tetapi tentang kehadiran di hari-hari tergelap.
Film berdurasi 114 menit ini mengajak penonton menyaksikan perjalanan dari diagnosis hingga pernikahan sederhana mereka pada 14 Agustus 2024 di kediaman Shella di Tangerang. Namun kebahagiaan itu hanya berlangsung singkat.
Dua pekan setelah pernikahan, pada 29 Agustus 2024, Shella mengembuskan napas terakhirnya. Film ini tidak berusaha menyembunyikan kesedihan itu, tetapi juga tidak membiarkan kesedihan itu menjadi satu-satunya yang tersisa. Yang tersisa adalah cinta , cinta yang telah melampaui batas waktu dan ruang.
Aspek visual film ini juga patut diapresiasi. Penggunaan warna kuning dan hijau yang dominan dalam poster dan beberapa adegan menciptakan nuansa hangat sekaligus penuh harapan.
Sinematografi tidak mencoba untuk memperindah penderitaan, tetapi justru menampilkannya apa adanya?—?mentah, nyata, dan karena itu lebih menyentuh. Adegan Albi membawa payung melindungi Shella yang duduk di kursi roda di tengah hujan menjadi metafora visual yang kuat: ia adalah pelindung, tempat berlindung, ketika badai kehidupan datang menghantam.
Namun, film ini bukan tanpa kelemahan. Beberapa penonton mungkin merasa bahwa alur di bagian tengah sedikit terlalu lambat, dengan beberapa adegan yang terasa repetitif. Namun, bisa jadi ini adalah pilihan artistik yang disengaja , untuk membiarkan penonton benar-benar merasakan panjangnya perjuangan, untuk memahami bahwa melawan penyakit bukan sprint, tetapi maraton yang melelahkan.
Selain itu, ada beberapa dialog yang terasa terlalu on the nose, terlalu eksplisit dalam menyampaikan pesan. Namun kekurangan-kekurangan kecil ini tidak mengurangi dampak emosional keseluruhan dari film ini.
Yang paling berharga dari “Sampai Titik Terakhirmu” adalah pesan universalnya tentang ketakutan kehilangan. Seperti yang diungkapkan oleh Arbani Yasiz dalam wawancara, harapan dari film ini adalah agar penonton yang telah menontonnya akan merasa takut kehilangan orang yang mereka sayangi, dan karena rasa takut itu, mereka akan lebih menghargai kehadiran orang-orang tersebut.
Film ini mengajarkan kita untuk tidak menunda-nunda dalam mengungkapkan cinta, untuk tidak menyia-nyiakan waktu dengan orang-orang yang kita cintai, karena kita tidak pernah tahu kapan waktu itu akan berakhir.
Ketika ditanya mengapa ia bertahan mendampingi Shella meski gadis itu menyuruhnya pergi, Albi asli memberikan jawaban yang sederhana namun sangat kuat: tidak ada alasan lain selain cinta.
Dan di sinilah letak keindahan sejati dari kisah ini. Dalam dunia yang sering kali penuh dengan perhitungan, dengan logika untung-rugi, dengan pertimbangan rasional , cinta Albi dan Shella mengingatkan kita bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dihitung dengan angka, ada keputusan yang tidak membutuhkan alasan selain hati yang berbicara.
Film “Sampai Titik Terakhirmu” adalah karya yang berani, jujur, dan sangat manusiawi. Ia tidak berusaha memberikan jawaban tentang mengapa hal buruk terjadi pada orang baik, tetapi ia menunjukkan bahwa bahkan di tengah kegelapan paling pekat, cinta bisa menjadi cahaya yang menerangi.
Ia mengajarkan kita bahwa keberanian bukan tentang tidak takut, tetapi tentang tetap berdiri meski ketakutan itu begitu nyata. Dan yang terpenting, ia mengingatkan kita bahwa kehadiran, kesetiaan, dan cinta yang tulus adalah hal-hal yang paling berharga yang bisa kita berikan kepada seseorang, sampai titik terakhir mereka.