Di sudut kamar, ada koper tua berwarna hijau lumut. Lapuk di bagian resleting, berdebu di pegangannya. Sudah bertahun-tahun tak disentuh, tapi tetap tak dibuang.
Itu koper milik Dara.
Ia mengemasnya sendiri: dua baju hangat, satu buku puisi, dan selembar tiket kereta yang tak pernah digunakan. “Aku hanya perlu waktu,” katanya, malam sebelum pergi.

Ibu menunggu di ambang pintu setiap sore. Ayah diam-diam memperbaiki pagar rumah, seolah Dara akan pulang dan menyuruhnya berhenti karena berisik.
Tapi musim terus berganti. Surat tak datang. Nomor teleponnya sunyi. Dan koper itu tetap di sana—seperti jantung kedua rumah ini, berdetak pelan-pelan lewat ingatan.
Kadang adik bungsu mereka berdiri di depan koper itu, menempelkan telinga seperti mendengar suara.
“Apa yang kamu dengar?” tanya ibu.
“Langkah kaki,” jawabnya pelan. “Tapi makin lama makin jauh.”
Related Posts
Sebuah pesan tampil atraktif di layar handphone ku.
Dari Rita, pacarku dan ia dengan yakin menyatakan aku adalah pacar pertamanya.
"Kapan bisa ketemu say? Bisa hari inikah?"
Aku menggigit bibir, memikirkan jawaban yang ...
Posting Terkait
Aku menatapnya. Takjub.
Dia menatapku. Marah.
Aku tak tahu apa yang berada di benak wanita muda itu sampai memandangku penuh kebencian. Padahal dia hanya melihat pantulan dirinya sendiri disitu. Dan aku, cukuplah ...
Posting Terkait
Restoran itu masih sama. Dinding bata merah, lampu gantung kuning redup, dan pelayan tua yang hafal pesanannya—nasi goreng pedas tanpa kecap.
Tapi ada yang tak lagi sama: kursi sebelah kanan kosong.
Dulu, ...
Posting Terkait
Dio menciptakan lagu untuk Raline, gadis pemilik piano putih di rumah besar ujung jalan. Mereka bertemu di les musik, ketika Dio hanya siswa magang dan Raline anak pemilik yayasan.
Mereka sering ...
Posting Terkait
Pagi pertama sebagai istri. Intan menyeduh dua cangkir kopi di dapur sempit apartemen mereka. Aroma robusta mengisi udara, menyamarkan gugup yang belum juga hilang.
Rio keluar dari kamar mandi, rambut masih ...
Posting Terkait
Seperti yang pernah saya lakukan diblog lama, saya akan menayangkan karya flash-fiction saya diblog ini secara teratur, paling tidak minimal 2 minggu sekali. Contoh koleksi flash-fiction lama saya bisa anda lihat ...
Posting Terkait
Lelaki itu berdiri tegak kaku diatas sebuah tebing curam. Tepat dibawah kakinya, gelombang laut terlihat ganas datang bergulung-gulung, menghempas lalu terburai dihadang karang yang tajam. Sinar mentari terik menghunjam ubun-ubun ...
Posting Terkait
am tangan itu sudah berhenti berdetak. Jarumnya membeku di angka 10:15. Itu waktu Papa pergi, tertidur selamanya di kursi malasnya, dengan tangan menggenggam jam tangan perak itu.
Aku menyentuh kacanya yang ...
Posting Terkait
Seperti Janjimu
Kita akan bertemu pada suatu tempat, seperti biasa, tanpa seorang pun yang tahu, bahkan suamimu sekalipun. Kita akan melepas rindu satu sama lain dan bercerita tentang banyak hal. Apa ...
Posting Terkait
Baginya, cinta adalah nonsens.
Tak ada artinya. Dan Sia-sia.
Entahlah, lelaki itu selalu menganggap cinta adalah sebentuk sakit yang familiar. Ia jadi terbiasa memaknai setiap desir rasa yang menghentak batin tersebut sebagai ...
Posting Terkait
Lelaki tua yang mengenakan blankon yang duduk persis didepanku menatapku tajam. Pandangannya terlihat misterius. Kumis tebalnya menambah sangar penampilannya. Menakutkan.
Aku bergidik. Dukun itu mendengus dan mendadak ruangan remang-remang disekitarku menerbitkan ...
Posting Terkait
Baginya menanti adalah niscaya.
Karena hidup itu sendiri adalah bagian dari sebuah proses menunggu. Begitu asumsi yang terbangun pada benak wanita yang berdiri tegak kaku di pinggir pantai dengan rambut tergerai ...
Posting Terkait
Keterangan foto: Menggigit Buntut, karya Andy Surya Laksana, Dji Sam Soe Potret Mahakarya Indonesia
elaki itu menatap nanar dua sapi yang berada di hadapannya.
Matahari siang menjelang petang terik membakar arena pertandingan. ...
Posting Terkait
Hancur!. Hatiku betul-betul hancur kali ini. Berantakan!
Semua anganku untuk bersanding dengannya, gadis cantik tetanggaku yang menjadi bunga tidurku dari malam ke malam, lenyap tak bersisa.
Semua gara-gara pelet itu.
Aku ingat bulan ...
Posting Terkait
Setiap malam, Randy duduk di jendela rumahnya, menatap jalan. Ibunya bilang itu kebiasaan bodoh—menunggu orang yang tak akan kembali.
Ayahnya pergi tujuh bulan lalu.
Bukan karena perang atau kecelakaan, tapi karena kelelahan. ...
Posting Terkait
Dari balik jendela yang buram aku menyaksikan sosoknya menari riang diiringi lagu hip-hop yang menghentak dari CD Player dikamar. Poni rambutnya bergoyang-goyang lucu dan mulutnya bersenandung riang mengikuti irama lagu. ...
Posting Terkait
FLASH FICTION: PACAR PERTAMA
FLASH FICTION : CERMIN TOILET
Flash Fiction : Kursi Sebelah Kanan
Flash Fiction: Nada yang Hilang
Flash Fiction: Seragam yang Sama
FLASH FICTION : AKHIR SEBUAH MIMPI
Flash Fiction : Jam Tangan Ayah
FLASH FICTION : SEPERTI JANJIMU
FLASH FICTION : CINTA SATU MALAM
FLASH FICTION : DALAM PENANTIAN
BERPACULAH ! MENGGAPAI KEMENANGAN !
Flash Fiction : Jendela yang Selalu Terbuka
FLASH FICTION : BALADA SI KUCING BUTUT