Air, Kepercayaan, dan Algoritma: Anatomi Krisis Komunikasi di Indonesia Digital
Sebuah kunjungan rutin seorang gubernur ke pabrik air kemasan di Subang, Jawa Barat, pada 20 Oktober 2025, tiba-tiba berubah menjadi badai komunikasi yang menghantam salah satu merek paling ikonik di Indonesia.
Ketika Kang Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat yang dikenal dengan gaya komunikasinya yang blak-blakan dan populis, mengunggah video sidaknya ke pabrik Aqua, tidak ada yang menduga bahwa temuan tentang sumber air dari sumur bor sedalam 100-130 meter akan memicu gelombang perdebatan nasional tentang kejujuran merek, perlindungan konsumen, dan tanggung jawab lingkungan.
Yang terjadi kemudian adalah sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana mengelola “voice” dan “noise” di era digital yang serba cepat ini. Voice atau suara adalah narasi yang kita ingin sampaikan, pesan yang terencana dan terukur.
Sementara noise adalah hiruk pikuk yang muncul di luar kendali, kegaduhan yang bisa menenggelamkan suara asli kita. Dalam kasus Aqua, voice dari perusahaan tentang “19 gunung terpilih” yang selama ini menjadi identitas merek, tiba-tiba harus berhadapan dengan noise dari berbagai pihak yang mempertanyakan kebenaran klaim tersebut.
Data menunjukkan betapa dahsyatnya kekuatan media sosial dalam membentuk krisis ini. Indonesia memiliki 143 juta pengguna media sosial aktif pada Januari 2025, atau setara dengan 50,2 persen dari total populasi. Masyarakat Indonesia menghabiskan rata-rata 188 menit atau lebih dari 3 jam setiap hari untuk berselancar di media sosial.
Dengan ekosistem digital yang begitu masif, sebuah video dari kanal YouTube Kang Dedi Mulyadi yang memiliki lebih dari 8 juta pelanggan dapat tersebar dalam hitungan menit ke berbagai platform, dari Instagram hingga TikTok, dari grup WhatsApp hingga percakapan di warung kopi.
Gubernur Dedi Mulyadi, dengan 6 juta pengikut di Instagram dan 8 juta pelanggan di YouTube, telah menciptakan model komunikasi politik baru yang disebut para pengamat sebagai “kepemimpinan performatif”.
Gaya komunikasinya yang emosional, menggunakan bahasa Sunda sehari-hari, dan kerap menampilkan diri sebagai “pelindung rakyat” melawan berbagai ketidakadilan, terbukti sangat efektif dalam era media sosial.
Ketika ia menyatakan bahwa Aqua mengambil 2,8 juta liter air per hari secara “gratis” dari tanah, narasi ini langsung menyentuh rasa keadilan publik. “Kalau pabrik semen, kain, otomotif, mereka harus beli bahan baku. Kalau perusahaan ini, bahan bakunya enggak beli,” ujarnya dalam video yang viral itu.
Tantangan pertama yang muncul adalah kecepatan. Di era digital, kecepatan merespons lebih penting daripada kesempurnaan respons. Aqua baru mengklarifikasi beberapa hari setelah video viral tersebut beredar. Dalam klarifikasi yang dirilis pada 23 Oktober 2025, perusahaan menjelaskan bahwa mereka menggunakan air dari “akuifer dalam yang merupakan bagian dari sistem hidrogeologi pegunungan”, bukan sekadar sumur bor biasa.
Mereka menyebutkan bahwa air tersebut telah melalui kajian ilmiah dari Universitas Gadjah Mada dan Universitas Padjadjaran, dan sebagian titik sumber bahkan bersifat “self-flowing” atau mengalir alami.
Namun, klarifikasi yang datang terlambat seringkali harus berjuang lebih keras untuk didengar. Noise sudah terlanjur menggunung. Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode Muhammad Syarif ikut berkomentar di media sosial, memberikan sindiran telak dengan mempertanyakan apakah klaim “19 gunung terpilih” adalah fakta atau fiksi.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional turun tangan untuk menyelidiki. Komisi VI DPR mengumumkan akan memanggil produsen Aqua. Bahkan lembaga lingkungan Walhi menyebut sidak tersebut sebagai “drama”, mengindikasikan kerumitan narasi yang berkembang.
Tantangan kedua adalah soal kepercayaan publik yang rapuh. Di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi, di mana menurut Edelman Trust Barometer 2023 kepercayaan terhadap media di Indonesia mencapai 72 persen (tertinggi kedua di dunia), namun tantangan tetap ada dalam membangun kepercayaan terhadap klaim korporasi.
Ketika sebuah merek yang telah puluhan tahun membangun citra “kebaikan alam” dan “kemurnian pegunungan” tiba-tiba dikonfrontasi dengan fakta teknis tentang sumur bor dan akuifer, jarak antara persepsi dan realitas menjadi begitu lebar. Publik merasa telah “ditipu” bukan semata karena cara pengambilan airnya, tetapi karena ketidaksesuaian antara citra yang dijual dengan realitas operasional.
Tantangan ketiga adalah fragmentasi narasi. Di media sosial, tidak ada lagi narasi tunggal yang bisa dikontrol. Ada narasi Dedi Mulyadi tentang perlindungan lingkungan dan keadilan ekonomi. Ada narasi aktivis lingkungan tentang eksploitasi air tanah yang dapat menyebabkan penurunan muka tanah dan krisis air bersih. Ada narasi konsumen yang merasa tertipu.
Ada narasi Aqua tentang proses ilmiah dan kepatuhan regulasi. Bahkan ada narasi politik yang menyebutkan bahwa sidak Aqua adalah upaya mengalihkan perhatian dari isu dana pemerintah daerah yang mengendap di bank, seperti yang disinggung oleh pengamat komunikasi politik M. Jamiluddin Ritonga.
Solusi yang diperlukan dalam mengelola krisis komunikasi seperti ini memerlukan pendekatan berlapis. Pertama adalah transparansi radikal. Di era keterbukaan informasi, mencoba menyembunyikan fakta atau menggunakan bahasa teknis yang membingungkan hanya akan memperburuk situasi.
Aqua perlu menjelaskan dengan gamblang dan dalam bahasa sederhana tentang perbedaan antara “mata air pegunungan” dalam pemahaman awam versus “akuifer dalam dari sistem hidrogeologi pegunungan” dalam terminologi ilmiah. Jika ada kesenjangan antara persepsi publik dan realitas operasional, maka kesenjangan itu harus diakui dan dijelaskan dengan jujur.
Kedua adalah kecepatan respons. Dalam dunia digital, jam pertama setelah krisis adalah golden hour. Menunggu beberapa hari untuk merespons berarti membiarkan noise berkembang tanpa terkendali.
Perusahaan perlu memiliki protokol manajemen krisis yang memungkinkan mereka merespons dalam hitungan jam, bukan hari. Respons awal tidak harus sempurna dan detail, tetapi harus menunjukkan bahwa perusahaan peduli dan sedang menangani isu tersebut dengan serius.
Ketiga adalah pendekatan multi-saluran. Klarifikasi tidak cukup hanya melalui siaran pers atau media arus utama. Di era di mana 143 juta orang Indonesia aktif di media sosial, klarifikasi harus menjangkau platform-platform tempat noise berkembang, yaitu YouTube dengan 143 juta pengguna, Facebook dengan 122 juta pengguna, Instagram dengan 103 juta pengguna, dan TikTok dengan 108 juta pengguna.
Pesan harus disesuaikan dengan karakteristik masing-masing platform, menggunakan video pendek untuk TikTok, infografis untuk Instagram, dan penjelasan detail untuk YouTube.
Keempat adalah membangun koalisi. Ketika kepercayaan publik sedang rendah, suara perusahaan saja tidak cukup. Perlu ada suara-suara pihak ketiga yang kredibel, seperti ahli geologi, akademisi, lembaga independen, bahkan petani atau masyarakat lokal yang merasakan langsung dampak operasional perusahaan.
Dalam kasus Aqua, mereka menyebutkan kajian dari UGM dan Unpad, tetapi suara langsung dari para ahli tersebut tidak terdengar di ruang publik. Padahal, di era di mana influencer dan tokoh publik memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini, endorsement dari pihak-pihak yang dipercaya publik menjadi sangat penting.
Kelima adalah mengubah krisis menjadi kesempatan untuk membangun kembali kepercayaan. Krisis adalah momentum ketika publik memberikan perhatian penuh. Alih-alih hanya membela diri, perusahaan bisa menggunakan momentum ini untuk menunjukkan komitmen jangka panjang terhadap keberlanjutan, transparansi, dan tanggung jawab sosial.
Misalnya, membuka akses publik untuk melihat langsung proses pengambilan air, melakukan audit independen oleh pihak ketiga, memperkuat program konservasi air, atau bahkan mengubah komunikasi pemasaran agar lebih akurat dan tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Pengaruh kasus ini terhadap lanskap komunikasi Indonesia sangat signifikan. Pertama, kasus ini menunjukkan pergeseran kekuatan dalam komunikasi publik. Gubernur dengan jutaan pengikut di media sosial kini memiliki kemampuan untuk menggerakkan opini publik yang setara atau bahkan melebihi media massa tradisional.
Dedi Mulyadi sendiri mengklaim bahwa dengan konten media sosialnya, belanja iklan Pemprov Jabar turun dari Rp 50 miliar menjadi Rp 3 miliar per tahun, namun informasi tetap “viral terus”. Ini adalah sinyal bahwa kekuatan komunikasi telah terdesentralisasi dari institusi ke individu yang mampu membangun audiens.
Kedua, kasus ini memperkuat pentingnya literasi media bagi publik sekaligus tanggung jawab para pembentuk opini. Ketika informasi menyebar begitu cepat, kemampuan publik untuk memilah antara fakta dan interpretasi, antara data dan emosi, antara voice yang terukur dan noise yang sensasional, menjadi sangat krusial.
Di sisi lain, mereka yang memiliki platform besar seperti Dedi Mulyadi juga memikul tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa informasi yang mereka bagikan akurat dan tidak menyesatkan.
Ketiga, kasus ini membuka diskusi yang lebih luas tentang tanggung jawab korporasi dalam era transparansi. Masyarakat tidak lagi puas dengan klaim pemasaran yang kabur atau bahasa teknis yang sulit dipahami.
Mereka menuntut kejujuran, kejelasan, dan bukti konkret. Perusahaan yang tidak mampu beradaptasi dengan ekspektasi baru ini akan terus menghadapi krisis kepercayaan, terlepas dari seberapa baik kualitas produk mereka.
Keempat, kasus ini menyoroti pentingnya manajemen krisis proaktif, bukan reaktif. Perusahaan tidak bisa lagi menunggu krisis terjadi baru kemudian merespons. Mereka harus terus memantau sentimen publik, mengidentifikasi potensi isu sejak dini, dan membangun narasi positif secara konsisten bahkan sebelum krisis terjadi.
Dalam konteks Aqua, jika selama bertahun-tahun mereka telah secara konsisten mengedukasi publik tentang perbedaan antara berbagai jenis sumber air dan proses ilmiah di balik pemilihan sumber air mereka, mungkin krisis ini tidak akan sebesar ini.
Kelima, kasus ini menunjukkan bahwa di era digital, setiap stakeholder bisa menjadi jurnalis, setiap konsumen bisa menjadi kritikus, dan setiap krisis bisa menjadi viral. Indonesia, dengan 212 juta pengguna internet dan 143 juta pengguna media sosial, telah menjadi salah satu arena komunikasi digital terbesar di dunia.
Perusahaan tidak bisa lagi mengendalikan narasi seperti di masa lalu. Yang bisa mereka lakukan adalah berpartisipasi dalam percakapan dengan jujur, cepat, dan konsisten. Voice yang kuat dibangun bukan dengan volume yang keras, tetapi dengan konsistensi, kejujuran, dan keterbukaan untuk berdialog.
Pelajaran terbesar dari krisis Aqua ini adalah tentang pentingnya keaslian dalam komunikasi. Di dunia yang penuh dengan noise, voice yang akan bertahan adalah yang autentik, yang selaras antara apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan, antara citra yang diproyeksikan dan realitas yang dijalani.
Keaslian tidak berarti sempurna, tetapi berarti jujur tentang ketidaksempurnaan, terbuka tentang proses, dan konsisten dalam komitmen.
Indonesia, dengan 212 juta pengguna internet dan 143 juta pengguna media sosial, telah menjadi salah satu arena komunikasi digital terbesar di dunia. Dalam arena ini, krisis komunikasi akan terus terjadi, dan akan semakin kompleks.
Tetapi krisis juga adalah guru terbaik. Dari kasus Aqua ini, kita belajar bahwa dalam menghadapi badai noise, voice yang akan terdengar adalah yang berakar pada kebenaran, yang disampaikan dengan kerendahan hati untuk mengakui kesalahan, dan yang didukung oleh komitmen nyata untuk melakukan yang lebih baik.
Ke depan, perusahaan-perusahaan di Indonesia perlu memahami bahwa mereka tidak lagi berkomunikasi dalam ruang yang terkontrol. Mereka berkomunikasi dalam ekosistem digital yang dinamis, di mana gubernur bisa menjadi pembentuk opini, di mana video sidak bisa menjadi viral dalam hitungan menit, di mana setiap klaim pemasaran bisa diverifikasi dalam sekejap, dan di mana kepercayaan adalah mata uang paling berharga yang mudah hilang tetapi sangat sulit dibangun kembali.
Krisis Aqua pasca kunjungan Dedi Mulyadi adalah cermin bagi kita semua tentang bagaimana komunikasi telah bertransformasi, bagaimana kekuatan telah bergeser, dan bagaimana kejujuran, kecepatan, dan keaslian kini menjadi fondasi komunikasi yang efektif.
Ini bukan hanya tentang satu botol air atau satu perusahaan, tetapi tentang kontrak sosial baru antara merek dan konsumen, antara pemimpin dan rakyat, antara voice dan noise dalam era digital Indonesia.
“The single biggest problem in communication is the illusion that it has taken place.” — George Bernard Shaw