
Lelaki itu berdiri tegak kaku diatas sebuah tebing curam. Tepat dibawah kakinya, gelombang laut terlihat ganas datang bergulung-gulung, menghempas lalu terburai dihadang karang yang tajam. Sinar mentari terik menghunjam ubun-ubun kepalanya. Panas dan membakar. Ia tidak peduli.
Jamal, lelaki itu, dengan dada telanjang dan otot berkilat keringat, menatap nanar kedepan. Kedua kakinya kuat mencengkeram ketanah tempat ia berpijak seperti akar pohon beringin yang kokoh tak tergoyahkan. Tangannya terkepal. Kedua ruas bahunya meregang kencang. Rahangnya mengeras. Tak ada rasa gentar dimatanya. Ia sudah siap dengan segala kemungkinan terburuk sekalipun.
Seberkas sinar menyilaukan mendadak datang dari kejauhan. Di ufuk cakrawala. Jamal memicingkan mata untuk lebih cermat melihat apa yang tengah terjadi saat itu. Cahaya pelangi muncul dari. Indah. Bercahaya. Berpendar. Membiaskan warna-warni cerah. Membentuk lengkung ibarat “jembatan” yang mengarah kearahnya. Ke tempat ia berdiri.
Jamal terkesima. Ia tak percaya pada apa yang dilihatnya. Seperti mimpi. Disana, dari kejauhan, perlahan tapi pasti, sosok gadis yang sangat dikenalnya muncul. Dalam balutan gaun putih berkibar dan rambut panjangnya bergerai ditiup angin. Anggun berjalan meniti pelangi. Seperti peri menyapa pagi. Seperti bidadari melukis hari.
“Tina..,”bisik Jamal lirih. Penuh rindu. Juga pilu.
Gadis itu mengangguk dan tersenyum. Matanya berbinar ceria. Ia lalu mengulurkan tangan kearahnya.
Jamal menyambut uluran tangan itu dengan gemetar. Senyumnya pun mengembang. Hatinya berbunga menyambut kebahagiaan yang siap ia reguk sepuasnya. Tanpa henti.
Tapi hal yang tak terduga terjadi. Tebing tempat ia berdiri tiba-tiba runtuh. Pijakan kakinya goyah. Dan iapun jatuh dengan tangan menggapai-gapai tak rela. Gadis itu menjerit tertahan dan berusaha meraih tangan Jamal. Tapi sia-sia.
Jamal meluncur deras kebawah. Tak terbendung. Ia berteriak sekuatnya memanggil nama Tina. Gema suaranya memantul pada dinding-dinding tebing. Tubuhnya melayang. Menuju laut yang ganas menerjang dan karang yang tajam menghunjam.
Lalu semua menjadi gelap. Pekat. Hitam. Kelam.
Samar-samar Jamal mendengar Kahlil Gibran melantunkan sepotong syairnya:
“Cinta tidak menyadari kedalamannya,
Sampai ada saat perpisahan”
Jamal terbangun dengan peluh mengalir di sekujur tubuhnya. Nafasnya memburu. Ia lalu bergegas meraih segelas air disamping pembaringannya. Diteguknya dengan rakus sisa air yang ada digelas itu. Tak bersisa. Ia lalu mengatur nafasnya perlahan, mengembalikan kesadarannya hingga benar-benar pulih. “Mimpi yang aneh,” gumamnya gusar.
Ditatapnya foto Tina, kekasih tercintanya yang memilih pergi meninggalkannya dan bersanding bahagia bersama lelaki lain. “Dia lebih memahami perasaan perempuan dibanding kamu. Jadi, selamat tinggal, sayang,” ucap Tina padanya saat mereka terakhir bertemu. Dan Jamal hanya tergugu pilu menyaksikan punggung kekasihnya itu berlalu pergi ketika senja mulai merona.
Jamal menggigit bibir. Sembari menghela nafas panjang ia bangkit dan berjalan ke arah meja kerja dimana laptopnya berada. Ia menyalakan komputer dan tak lama kemudian lelaki itu sudah asyik berselancar didunia maya. Senyumnya tersungging saat ia baru saja selesai menulis email kepada sebuah perusahaan pengelola wisata bungee jumping yang khusus menyediakan fasilitas lompat dari pinggir tebing disisi laut. Isinya:
“Saya tertarik untuk ikut mendaftar sebagai peserta bungee jumping di tempat anda. Saya siap membayar berapapun juga asal dengan satu syarat : saya ingin melompat dengan memakai gaun wanita. Tertanda, Jamal”
Catatan:
Flash Fiction ini merupakan sebuah versi modifikasi dari Cerita Estafet Blogfam “Selebritiku, Pulanglah!”di episode ke-11 yang saya tulis bersama 4 penulis yang lain.
Foto diambil dari sini
Related Posts
Hancur!. Hatiku betul-betul hancur kali ini. Berantakan!
Semua anganku untuk bersanding dengannya, gadis cantik tetanggaku yang menjadi bunga tidurku dari malam ke malam, lenyap tak bersisa.
Semua gara-gara pelet itu.
Aku ingat bulan ...
Posting Terkait
Aku meradang. Merah. Juga bernanah.
Sudah tiga hari aku bercokol disini, di bokong sebelah kiri salah satu penyanyi dangdut terkenal ibukota, Nana Daranoni.
Sang pemilik bokong tampaknya kurang merasa nyaman atas kehadiranku. ...
Posting Terkait
Perempuan itu memandang mesra ke arahku. Aku pangling. Salah tingkah. Dia lalu memegang lenganku erat-erat seakan tak ingin melepaskan.
Kami lalu berjalan bergandengan tangan di sebuah mall yang ramai.
"Aku selalu berharap ...
Posting Terkait
Pagi pertama sebagai istri. Intan menyeduh dua cangkir kopi di dapur sempit apartemen mereka. Aroma robusta mengisi udara, menyamarkan gugup yang belum juga hilang.
Rio keluar dari kamar mandi, rambut masih ...
Posting Terkait
Mereka pernah berjanji: tak ada kebohongan, tak ada rahasia.
Tapi malam itu, saat Kay mendapati pesan masuk di ponsel Rendra—"Aku rindu. Kapan kita bertemu lagi?"—semua janji runtuh seperti kartu domino.
Rendra terdiam. ...
Posting Terkait
Seusai resepsi yang riuh, rumah kontrakan kecil itu sunyi. Nadira menatap kotak kayu di pangkuannya—mas kawin dari Reza: satu buku tulis, berisi 30 halaman tulisan tangan.
“Aku tahu kamu nggak suka ...
Posting Terkait
Keterangan foto: Menggigit Buntut, karya Andy Surya Laksana, Dji Sam Soe Potret Mahakarya Indonesia
elaki itu menatap nanar dua sapi yang berada di hadapannya.
Matahari siang menjelang petang terik membakar arena pertandingan. ...
Posting Terkait
Bangga rasanya menjadi anak seorang dukun terkenal di seantero kota. Dengan segala kharisma dan karunia yang dimilikinya, ayah memiliki segalanya: rumah mewah, mobil mentereng dan tentu saja uang berlimpah hasil ...
Posting Terkait
Setiap sore, Anita duduk di jendela kamarnya, memandangi ujung jalan tempat Andi dulu biasa berdiri, mengacungkan dua jari—kode rahasia mereka: "tunggu aku."
Orangtuanya bilang Andi bukan pilihan. "Anak sopir, masa depanmu ...
Posting Terkait
“Segini cukup?” lelaki setengah botak dengan usia nyaris setengah abad itu berkata seraya mengangsurkan selembar cek kepadaku.
Ia tersenyum menyaksikanku memandang takjub jumlah yang tertera di lembaran cek tersebut.
“Itu Istrimu? ...
Posting Terkait
Hening. Sunyi.
Di ujung telepon aku hanya mendengar helaan nafasnya yang berat.
"Jadi beneran mbak tidak marah?", terdengar suara adikku bergetar.
"Lho, kenapa harus marah?", sergahku gusar
"Karena Titin melangkahi mbak, menikah lebih dulu,"sahutnya ...
Posting Terkait
Menjelang berpisah, perempuan itu, yang sudah memiliki hatiku sepenuhnya, tersenyum samar. Pandangannya tajam namun mesra.
"Kamu tetap sayang aku kan'?", tanyanya manja. Disentuhnya daguku pelan.
Aku tersenyum.
"Jawab dong, jangan hanya senyum doang",rengeknya.
"Tentu ...
Posting Terkait
Memanggilnya Ayah, buatku sesuatu yang membuat canggung. Lelaki separuh baya dengan uban menyelimuti hampir seluruh kepalanya itu tiba-tiba hadir dalam kehidupanku, setelah sekian lama aku bersama ibu. Berdua saja.
"Itu ayahmu ...
Posting Terkait
Aku menyeringai puas. Bangga.
Sebagai Debt Collector yang disegani dan ditakuti, membuat debitur bertekuk lutut tanpa daya dan akhirnya terpaksa membayar utangnya merupakan sebuah prestasi tersendiri buatku.
Sang debitur, lelaki tua dengan ...
Posting Terkait
Sebuah pesan tampil atraktif di layar handphone ku.
Dari Rita, pacarku dan ia dengan yakin menyatakan aku adalah pacar pertamanya.
"Kapan bisa ketemu say? Bisa hari inikah?"
Aku menggigit bibir, memikirkan jawaban yang ...
Posting Terkait
Di sudut kamar, ada koper tua berwarna hijau lumut. Lapuk di bagian resleting, berdebu di pegangannya. Sudah bertahun-tahun tak disentuh, tapi tetap tak dibuang.
Itu koper milik Dara.
Ia mengemasnya sendiri: dua ...
Posting Terkait
FLASH FICTION : TRAGEDI BISUL
FLASH FICTION: ROMANSA DI MALL
Flash Fiction: Seragam yang Sama
Flash Fiction : Luka di Balik Janji
BERPACULAH ! MENGGAPAI KEMENANGAN !
FLASH FICTION: AYAHKU, IDOLAKU
Flash Fiction: Kode Rahasia
FLASH FICTION: TAKDIR TAK TERLERAI
FLASH FICTION: HATI-HATI DI JALAN
FLASH FICTION: SETAN KREDIT
FLASH FICTION: PACAR PERTAMA
Flash Fiction: Koper Hijau