Dari Konservatif Menuju Progresif: Transformasi Manajemen Keuangan Negara Era Purbaya
Dalam lanskap politik ekonomi Indonesia yang dinamis, September 2025 mencatat babak baru yang mengguncang dunia keuangan nasional. Prabowo Subianto melantik Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan pada 8 September 2025, menggantikan Sri Mulyani Indrawati yang telah menjabat selama bertahun-tahun. Pergantian ini bukan sekadar rotasi birokrasi, melainkan transformasi filosofi mendasar dalam pendekatan kebijakan fiskal Indonesia.
Dengan pengalaman lebih dari 25 tahun di bidang ekonomi sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Purbaya membawa visi yang berbeda namun komplementer dari pendahulunya.
Jika Sri Mulyani dikenal dengan kehati-hatian dalam mengelola anggaran negara, Purbaya justru menghadirkan paradigma baru yang lebih agresif dan berorientasi pada percepatan pertumbuhan ekonomi.
Perbandingan dengan era Sri Mulyani bukan soal baik atau buruk, melainkan pergeseran paradigma. Sri Mulyani dikenal karena pendekatan “fiskal prudent” yang kaku pada disiplin anggaran, perbaikan administrasi perpajakan, dan reputasi internasional yang kuat sehingga membawa kepercayaan pasar global. Di bawah kepemimpinannya, rasio pajak dan upaya konsolidasi fiskal menjadi pijakan utama.
Sebaliknya, Purbaya tampak lebih bertipikal “pelaksana cepat” dan pragmatis, berani mencoba insentif fiskal terukur, serta tak segan mengumumkan paket stimulus untuk menopang konsumsi juga lapangan kerja tanpa melewati perubahan besar pada kerangka defisit fiskal.
Laporan pemerintah memastikan komitmen untuk tetap mempertahankan batas defisit di bawah 3% dari PDB, sehingga klaim tindakan pro-pertumbuhan Purbaya tetap dibingkai oleh aturan fiskal yang ada
Gebrakan spektakuler pertama Purbaya terlihat dari keputusannya yang berani. Kebijakan perdananya adalah memindahkan dana sebesar 200 triliun rupiah dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) dari Bank Indonesia ke lima bank milik negara yaitu Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Tabungan Negara (BTN), dan Bank Syariah Indonesia (BSI) dengan tujuan meningkatkan likuiditas perbankan untuk mendorong penyaluran kredit. Langkah ini mencerminkan keberanian yang jarang terlihat dalam dunia birokrasi Indonesia, di mana kehati-hatian seringkali menjadi norma yang tidak tertulis.
Perbandingan dengan gaya kepemimpinan Sri Mulyani menjadi tak terhindarkan. Mantan Menteri Keuangan ini dikenal dengan pendekatan konservatif yang memprioritaskan stabilitas fiskal di atas segalanya.
Selama masa kepemimpinannya, Sri Mulyani berhasil menjaga rasio utang pemerintah tetap terkendali dan membangun reputasi Indonesia sebagai negara dengan manajemen fiskal yang prudent di mata internasional.
Namun, Purbaya memiliki filosofi yang berbeda: “anggaran harus dihabiskan” dan menjalankan kebijakan fiskal secara sebenar-benarnya. Pendekatan ini mencerminkan pemahaman bahwa dalam kondisi ekonomi yang membutuhkan stimulus, kehati-hatian yang berlebihan justru dapat menjadi penghambat pertumbuhan.
Konteks ekonomi saat ini memang menantang, dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang memangkas anggaran secara besar-besaran yaitu Rp306,69 triliun secara keseluruhan, dengan Rp50,59 triliun dipotong langsung dari dana ke daerah. Dalam situasi seperti ini, kepemimpinan Purbaya diuji untuk menemukan keseimbangan antara efisiensi anggaran dan kebutuhan akan stimulus ekonomi.
Respons positif terhadap kepemimpinan baru ini mulai terlihat. Purbaya telah menyatakan komitmennya untuk menaikkan anggaran Transfer ke Daerah (TKD) pada RAPBN 2026 dari target awal Rp650 triliun menjadi Rp693 triliun, sebuah sinyal yang menunjukkan keseriusannya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi di tingkat regional. Langkah ini sejalan dengan visi pemerintah Prabowo yang menekankan pemerataan pembangunan.
Dari perspektif investasi, kebijakan Purbaya membawa angin segar bagi dunia usaha. Pemindahan dana 200 triliun rupiah ke bank-bank milik negara berpotensi meningkatkan likuiditas pasar dan mempermudah akses kredit bagi pelaku usaha.
Dalam jangka pendek, kebijakan ini dapat merangsang aktivitas ekonomi yang lebih dinamis, terutama di sektor usaha kecil dan menengah yang selama ini kesulitan mengakses pembiayaan.
Namun, seperti mata uang yang memiliki dua sisi, kebijakan agresif ini juga mengandung risiko. Peningkatan likuiditas yang masif tanpa diimbangi dengan mekanisme kontrol yang tepat dapat memicu inflasi.
Selain itu, pendekatan yang terlalu ekspansif dalam kebijakan fiskal dapat mengancam keberlanjutan jangka panjang keuangan negara jika tidak dikelola dengan bijak.
Ada risiko-risiko serius yang perlu dicermati investor dan pembuat kebijakan. Pertama, perubahan tiba-tiba di kabinet dan gaya kebijakan yang berbeda mengundang ketidakpastian pasar.
Media keuangan internasional mencatat bahwa penggantian Sri Mulyani menimbulkan sinyal yang bisa memicu gejolak pasar jika dirasa mengganggu kontinuitas kebijakan makro. Bloomberg misalnya menyoroti potensi turbulensi pasar ketika perubahan mendadak terjadi pada pucuk pimpinan fiskal. Ketidakpastian ini berpotensi menahan arus modal asing jangka pendek, meningkatkan biaya pinjaman bagi pemerintah, serta menurunkan sentimen investasi portofolio.
Kedua, insentif untuk menahan dolar di domestik adalah pedang bermata dua: bila sukses, cadangan devisa menguat dan stabilitas kurs terjaga; bila gagal atau diterapkan tanpa kajian pasar, kebijakan semacam ini bisa dilihat sebagai upaya yang mengintervensi mekanisme pasar, sehingga investor asing khawatir tentang kemungkinan pembatasan modal di masa depan. Reuters melaporkan rencana insentif ini dengan catatan bahwa tujuannya adalah memperkuat cadangan dan memastikan pendanaan dolar bagi proyek nasional namun bagaimana mekanismenya dan seberapa besar efek sampingnya masih perlu diuji.
Tantangan terbesar Purbaya terletak pada kemampuannya menyeimbangkan antara stimulus jangka pendek dan stabilitas jangka panjang. Dalam rapat perdana dengan Komisi XI DPR-RI, Purbaya mengusulkan anggaran Kementerian Keuangan di 2026 sebesar Rp52.016.000.000.000 untuk stabilitas fiskal dan ekonomi yang inklusif berkelanjutan. Angka ini mencerminkan komitmennya pada pendekatan yang terukur meskipun agresif.
Keberhasilan kebijakan Purbaya akan sangat bergantung pada eksekusi di lapangan. Lima bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) memiliki proporsi tanggung jawab yang paling besar dalam proses eksekusinya. Koordinasi yang efektif antara Kementerian Keuangan dan perbankan nasional menjadi kunci keberhasilan implementasi kebijakan ini.
Dalam konteks global, pendekatan Purbaya sejalan dengan tren kebijakan fiskal ekspansif yang diterapkan berbagai negara untuk menghadapi tantangan ekonomi pasca-pandemi. Namun, Indonesia memiliki karakteristik unik yang membutuhkan penyesuaian khusus dalam implementasinya.
Saya menilai gebrakan Purbaya berpotensi menyumbang dampak positif jangka pendek bagi aktivitas ekonomi dan kesejahteraan kelompok rentan bila pelaksanaannya cermat, transparan, dan disertai pengukuran dampak yang ketat.
Kunci keberhasilan adalah ketegasan pada tiga hal: membuktikan bahwa bantuan benar-benar sampai ke kelompok yang membutuhkan; keterbukaan mekanisme insentif dolar agar tidak disalahpahami sebagai intervensi ad hoc; dan komitmen yang jelas untuk menjaga disiplin fiskal sambil mempercepat reformasi perpajakan agar penerimaan negara meningkat secara berkelanjutan.
Tanpa tiga pilar ini, langkah cepat yang penuh semangat bisa berubah menjadi kilasan yang menumbuhkan optimisme semu, sementara risiko pembiayaan dan penurunan kepercayaan investor menjadi batu sandungan yang berat.
Gaya Purbaya yang lebih lincah dan pro-pertumbuhan bisa menjadi pelengkap jika ia memadukannya dengan warisan Sri Mulyani yang kuat pada tata kelola fiskal dan integritas.
Sinergi antara keberanian bertindak dan disiplin jangka panjang akan menjadi resep terbaik: berani melakukan stimulus terukur, namun tidak meninggalkan upaya meningkatkan basis pajak, memperbaiki penyerapan anggaran, dan menjaga transparansi komunikasi kebijakan kepada publik serta investor.
Jika berhasil, reformasi semacam ini tidak hanya menyelamatkan pertumbuhan jangka pendek tetapi membangun fondasi bagi pertumbuhan inklusif yang lebih kuat.
Melihat track record dan visinya, Purbaya membawa harapan baru bagi percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Latar belakang tekniknya dari Institut Teknologi Bandung memberikan perspektif yang berbeda dalam melihat permasalahan ekonomi, tidak semata-mata dari sudut pandang teoritis tetapi juga praktis dan solutif.
Namun, keberhasilan sejati akan diukur bukan dari keberanian mengambil keputusan, melainkan dari dampak nyata yang dirasakan masyarakat. Apakah kebijakan-kebijakan progresif ini akan berhasil menggerakkan roda ekonomi tanpa mengorbankan stabilitas? Apakah pendekatan yang lebih agresif ini dapat menciptakan ekosistem investasi yang lebih kondusif?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan terbentuk seiring berjalannya waktu. Yang pasti, era Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan menandai babak baru dalam sejarah kebijakan fiskal Indonesia.
Sebuah babak yang membutuhkan keberanian untuk mengambil risiko, kebijaksanaan dalam mengukur dampak, dan keteguhan dalam mencapai tujuan.
Pada akhirnya, kedua menteri ini bukanlah dua kutub yang bertolak belakang, melainkan dua sisi dari koin yang sama untuk membawa Indonesia maju.
Sri Mulyani adalah fondasi yang kokoh, sementara Purbaya adalah mesin pertumbuhan yang bertenaga. Yang kita butuhkan bukanlah pilihan di antara keduanya, tetapi sebuah simfoni harmonis di antara keduanya.
Seperti kata negarawan dan filsuf Amerika, Benjamin Franklin, “Dengan persiapan dan disiplin, kita mengamankan perdamaian. Dengan kelalaian dan kecerobohan, kita mengundang peperangan.”
Fondasi disiplin dan stabilitas yang telah dibangun dengan susah payah adalah senjata terbaik kita. Gebrakan spektakuler adalah amunisi untuk maju. Tugas Pak Purbaya adalah menembakkan amunisi itu dengan tepat sasaran, tanpa merusak senjatanya sendiri.
Masa depan ekonomi Indonesia tergantung pada bagaimana kita merayakan perubahan ini dengan bijak, penuh semangat, namun tetap humanis dan memikat bagi semua pihak.
Indonesia kini berada di persimpangan antara kehati-hatian masa lalu dan keberanian masa depan. Purbaya Yudhi Sadewa menjadi nahkoda yang memandu perjalanan ini, dengan harapan dapat membawa bangsa menuju prosperitas yang lebih merata dan berkelanjutan.