Ketika Piring Harapan Menjadi Luka: Catatan tentang Gelombang Keracunan Anak Akibat Program MBG
Tangisan Nanik S. Deyang, Wakil Kepala Badan Gizi Nasional, pecah di tengah ruang konferensi pers yang hening. Air mata yang tumpah bukan sekadar ungkapan penyesalan pribadi, melainkan cermin dari luka kolektif bangsa Indonesia.
Saat data 6.452 anak keracunan MBG dilaporkan pada 21 September 2025, dunia seakan berhenti berputar. Program Makan Bergizi Gratis yang digadang-gadang sebagai revolusi gizi nasional, kini menjadi tragedi kemanusiaan yang memilukan.
Ketika Presiden Prabowo Subianto meluncurkan program MBG sebagai salah satu prioritas utama pemerintahannya, harapan membuncah di setiap sudut nusantara. Visi mulia untuk memastikan setiap anak Indonesia mendapat asupan gizi yang layak tampak seperti jawaban atas doa jutaan keluarga.
Namun, kenyataan berkata lain. Lonjakan korban keracunan MBG pun menjadi sorotan hingga membuat Presiden Prabowo turun tangan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program yang menjadi andalannya ini. Data resmi BGN mencatat 70 kasus keracunan dengan total 5.914 korban sepanjang Januari hingga September 2025, sementara Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia bahkan mencatat angka yang lebih mencengangkan: 6.452 anak.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik dingin di atas kertas. Setiap digit mewakili seorang anak yang seharusnya mendapat nutrisi untuk tumbuh kembang optimal, namun malah berakhir di rumah sakit dengan muntah-muntah, diare, dan penderitaan yang tak terbayangkan.
Mereka adalah Sari, gadis kecil berumur tujuh tahun dari Banggai Kepulauan yang menangis kesakitan setelah menyantap nasi dan lauk yang seharusnya membawa kebahagiaan. Mereka adalah Ahmad, siswa SMP di Garut yang harus dirawat intensif karena dehidrasi akibat diare berkepanjangan.
Tragedi ini tersebar hampir di seluruh Indonesia. Kasus besar terjadi di berbagai wilayah dengan data BGN mencatat 4.711 kasus per 22 September 2025, dengan Jawa Barat menjadi provinsi dengan kasus terbanyak. Jawa Barat menjadi provinsi dengan kasus terbanyak, menunjukkan bahwa persoalan ini tidak mengenal batas geografis atau tingkat pembangunan daerah.
Yang paling menyakitkan, berbagai media mulai mengangkat kisah ini dan mempertanyakan sistem pengawasan program yang seharusnya menjadi kebanggaan nasional. Indonesia, negara dengan kekayaan alam melimpah dan tradisi kuliner yang kaya, kini disorot dunia bukan karena prestasi, melainkan karena kegagalan menjaga keselamatan anak-anaknya sendiri.
Akar permasalahan ini sebenarnya terletak pada sistem pengadaan dan pengawasan yang belum memadai. Program MBG yang ambisius ini diluncurkan dengan semangat tinggi namun tanpa persiapan infrastruktur yang matang.
Banyak penyedia katering yang terpilih belum memiliki standar keamanan pangan yang ketat. Sistem cold chain untuk menjaga kesegaran makanan masih lemah, terutama di daerah-daerah terpencil. Pengawasan berkala yang seharusnya menjadi kunci keberhasilan program, justru menjadi titik lemah fatal.
Namun, di balik nestapa ini, kita menyaksikan kekuatan luar biasa dari semangat gotong royong masyarakat Indonesia. Para guru yang dengan sigap membawa siswa-siswa mereka ke rumah sakit, orang tua yang tak kenal lelah merawat anak-anak yang menderita, tenaga medis yang bekerja siang malam menangani korban keracunan massal. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang membuktikan bahwa di tengah sistem yang gagal, jiwa kemanusiaan tetap bersinar terang.
Lebih dari itu, tragedi ini justru membuka mata kita semua tentang pentingnya membangun sistem yang tidak hanya ambisius dalam visi, tetapi juga teliti dalam eksekusi. JPPI dan berbagai organisasi masyarakat sipil yang mendesak penghentian sementara program MBG bukanlah musuh program ini, melainkan kekuatan koreksi yang diperlukan dalam demokrasi yang sehat.
Kita tidak boleh membiarkan mimpi indah gizi gratis berakhir dalam mimpi buruk keracunan massal. Yang diperlukan adalah reformasi menyeluruh: standarisasi penyedia katering yang ketat, sistem pengawasan berlapis dari pusat hingga daerah, pelatihan intensif bagi semua pihak yang terlibat, dan yang tak kalah penting, transparansi penuh dalam setiap tahap pelaksanaan program.
Anak-anak Indonesia berhak mendapat makanan bergizi yang aman. Mereka berhak tumbuh dengan sehat tanpa harus khawatir akan keracunan setiap kali menyantap makanan di sekolah.
Hak ini bukan kemewahan, melainkan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi negara. Ketika pemerintah melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyampaikan permohonan maaf, itu adalah langkah pertama yang baik. Namun yang lebih penting adalah tindakan konkret untuk memastikan tragedi ini tidak terulang.
Mari kita jadikan krisis ini sebagai momentum transformasi. Program MBG tidak harus dihentikan selamanya, tetapi harus direformasi secara total. Setiap anak yang menjadi korban keracunan harus menjadi pengingat bahwa pembangunan yang benar adalah pembangunan yang menempatkan keselamatan dan kesejahteraan rakyat di atas segalanya. Mereka adalah guru terbaik bagi kita semua tentang arti tanggung jawab sejati dalam penyelenggaraan negara.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu belajar dari kesalahan dan bangkit lebih kuat. Indonesia telah membuktikan hal ini berkali-kali dalam sejarah. Kini, saatnya kita membuktikannya sekali lagi melalui transformasi program MBG menjadi program yang tidak hanya bergizi, tetapi juga aman, berkelanjutan, dan membanggakan. Setiap suap makanan yang diberikan kepada anak-anak Indonesia harus penuh dengan cinta, perhatian, dan jaminan keamanan.
Tidak ada yang lebih berharga dari senyuman anak-anak yang sehat dan bahagia setelah menyantap makanan bergizi di sekolah mereka.