Menggenggam Padi, Merangkul Harapan: Peran Ganda Amran dalam Perjuangan Ketahanan Pangan
“Bangsa yang tidak mampu memberi makan rakyatnya sendiri adalah bangsa yang kehilangan martabat.” — Bung Karno
Di tengah riuh gemuruh Oktober 2025, sebuah keputusan politik mengalir seperti sungai yang menemukan muaranya. Presiden Prabowo Subianto menunjuk Andi Amran Sulaiman, sang Menteri Pertanian yang telah memimpin ladang-ladang harapan negeri ini, untuk merangkap jabatan sebagai Kepala Badan Pangan Nasional.
Keputusan ini bukanlah sekadar pergantian kursi kekuasaan, melainkan sebuah taruhan besar terhadap masa depan 280 juta perut yang menanti kepastian di negeri agraris ini. Pencopotan Arief Prasetyo Adi dilakukan melalui Keputusan Presiden Nomor 116/P Tahun 2025 dalam rangka peningkatan efektivitas pelaksanaan tugas pemerintahan, menandakan bahwa pemerintahan Prabowo tengah menyusun ulang strategi dalam menghadapi tantangan ketahanan pangan yang semakin mendesak.
Bayangkan seorang petani di pelosok Sulawesi, tangannya penuh tanah, matanya menatap langit berharap hujan datang tepat waktu. Di Jawa, seorang ibu menimbang beras dengan hati-hati, menghitung apakah cukup untuk memberi makan anak-anaknya hingga akhir bulan. Di kota-kota besar, para pedagang pasar tradisional gelisah melihat harga komoditas yang terus bergoyang.
Mereka semua, tanpa menyadarinya, terikat dalam satu takdir yang sama: swasembada pangan Indonesia. Dan kini, takdir itu berada di pundak seorang putra Bugis yang namanya sudah tak asing di telinga para petani.
Amran Sulaiman bukanlah nama baru dalam peta pertanian Indonesia. Pengalaman kepemimpinannya di Kementerian Pertanian pada era Joko Widodo dan kembali dipercaya pada pemerintahan Prabowo Subianto sejak Oktober 2024 telah meninggalkan jejak, baik yang berbunga maupun yang masih tertinggal sebagai pekerjaan rumah.
Kini, dengan jabatan rangkap yang diembannya, ia memegang dua kendali sekaligus: produksi di hulu melalui Kementerian Pertanian, dan distribusi serta stabilisasi di hilir melalui Badan Pangan Nasional. Sinergi ini, jika dikelola dengan bijak, bisa menjadi kunci pembuka yang selama ini kita cari. Namun jika salah kelola, ia bisa menjadi beban ganda yang menjerumuskan harapan rakyat ke dalam jurang kekecewaan yang lebih dalam.
Mari kita lihat angka-angka yang berbicara lebih jujur daripada janji politik. Realitas produksi pangan kita menunjukkan paradoks yang mencemaskan sekaligus memberi secercah harapan. Produksi beras Indonesia pada musim tanam 2024/2025 diperkirakan mencapai 34,6 juta ton menurut proyeksi Departemen Pertanian Amerika Serikat, bahkan FAO memproyeksikan bisa mencapai 35,6 juta ton, menjadikan Indonesia produsen beras terbesar di ASEAN.
Lebih optimis lagi, Mentan Amran menyatakan bahwa produksi beras nasional kini telah mencapai 33,1 juta ton dan diperkirakan menembus 34 juta ton pada akhir 2025, dengan target swasembada yang dipercepat dari rencana tiga tahun menjadi hanya dalam satu tahun.
Namun di balik angka-angka optimis tersebut, Badan Pusat Statistik mencatat bahwa produksi beras untuk konsumsi sepanjang 2024 hanya mencapai 30,62 juta ton, turun 1,54 persen dibanding tahun 2023. Meski demikian, Badan Pangan Nasional memproyeksikan surplus produksi terhadap konsumsi beras mencapai 3,3 juta ton, sebuah angka yang memberi harapan namun masih membutuhkan kerja keras untuk mempertahankan dan meningkatkannya.
Paradoks ini menceritakan kisah yang lebih kompleks daripada sekadar angka produksi. Kita berproduksi banyak, namun sistem distribusi yang belum sempurna membuat ketergantungan pada impor masih tinggi.
Sawah-sawah kita menghijau, tetapi meja makan rakyat masih rapuh. Ini bukan soal kemampuan menanam, tetapi tentang sistem yang belum mampu menghubungkan ladang dengan dapur, petani dengan konsumen, surplus dengan defisit. Dan di sinilah peran Amran dengan jabatan rangkapnya menjadi krusial.
Pengangkatan Amran membawa angin segar dalam bentuk potensi koordinasi yang lebih baik antara kebijakan produksi dan distribusi pangan. Selama ini, Kementerian Pertanian fokus pada produktivitas dan kesejahteraan petani, sementara Badan Pangan Nasional bertugas menjaga stabilitas harga dan ketersediaan pangan.
Kedua institusi ini kerap berjalan di rel yang berbeda, bahkan terkadang saling bertabrakan kepentingan. Dengan satu orang memimpin keduanya, setidaknya ada peluang untuk menyatukan visi dan menyinkronkan kebijakan. Bayangkan seorang konduktor orkestra yang memimpin dua kelompok musik sekaligus—jika mampu, harmoni yang dihasilkan akan luar biasa indah.
Namun tantangannya tidak sesederhana membalikkan telapak tangan. Pemerintah telah mengalokasikan anggaran ketahanan pangan sebesar Rp139,4 triliun untuk tahun 2025, tersebar di berbagai kementerian dan lembaga. Anggaran ini meningkat signifikan sebesar 21,9 persen dari tahun sebelumnya, menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengejar target swasembada pangan.
Angka yang fantastis, namun pertanyaannya adalah: apakah uang sebesar itu akan sampai ke tangan petani yang berkeringat di sawah? Apakah infrastruktur irigasi akan terbangun hingga ke pelosok? Apakah teknologi pertanian akan menjangkau para petani kecil yang masih menggunakan cara-cara warisan nenek moyang? Atau justru akan tersedot ke dalam pusaran birokrasi yang gemuk dan lamban?
Persoalan lahan adalah tantangan pertama yang menghantui. Alih fungsi lahan pertanian ke perumahan dan industri terjadi dengan kecepatan yang menakutkan. Setiap tahun, ribuan hektar sawah hilang ditelan beton dan aspal.
Belum lagi persoalan kepemilikan lahan yang tidak merata—sebagian besar petani kita adalah petani gurem dengan lahan kurang dari 0,5 hektar, tidak cukup untuk hidup layak. Regenerasi petani juga menjadi momok yang menakutkan.
Anak-anak muda enggan meneruskan jejak orang tua mereka ke sawah, memilih bekerja di kota dengan harapan hidup lebih baik. Siapa yang akan menanam padi untuk generasi mendatang jika para petani kita terus menua tanpa pengganti?
Perubahan iklim menambah daftar panjang tantangan. Cuaca yang kian tak menentu membuat pola tanam tradisional tidak lagi bisa diandalkan. Kekeringan datang tiba-tiba di musim yang seharusnya basah, banjir melanda di saat tanaman tengah berbuah.
Hama dan penyakit tanaman bermutasi lebih cepat daripada kemampuan kita menciptakan varietas tahan. Ini bukan lagi sekadar soal teknis pertanian, tetapi pertempuran melawan alam yang sedang marah.
Di sisi lain, sistem distribusi pangan kita masih carut marut. Saat panen raya, harga gabah anjlok karena surplus lokal yang tidak terserap dengan baik. Petani merugi, bahkan terpaksa menjual di bawah harga pokok.
Namun beberapa bulan kemudian, saat paceklik, harga beras melambung tinggi dan rakyat kecil menjerit. Di mana letak keadilannya? Badan Pangan Nasional dan Bulog seharusnya menjadi penyeimbang, namun selama ini gerakannya terlalu lambat, terlalu birokratis, dan terlalu jauh dari realitas lapangan.
Solusinya harus holistik dan menyentuh akar persoalan. Pertama, reformasi tata kelola lahan pertanian harus menjadi prioritas utama. Perlindungan lahan pertanian produktif harus diperkuat dengan aturan yang tegas dan penegakan hukum yang konsisten.
Program sertifikasi lahan untuk petani kecil harus dipercepat agar mereka memiliki jaminan hukum atas tanah yang mereka garap. Konsolidasi lahan melalui mekanisme korporasi petani atau koperasi bisa menjadi jalan keluar untuk meningkatkan skala ekonomi dan daya tawar petani.
Kedua, modernisasi pertanian tidak bisa ditawar lagi. Namun modernisasi yang dimaksud bukan sekadar membeli traktor dan drone, melainkan transformasi menyeluruh mulai dari sistem benih, pupuk berimbang, irigasi presisi, hingga digitalisasi data pertanian.
Teknologi harus menjadi sahabat petani, bukan barang asing yang menakutkan. Penyuluh pertanian harus ditambah jumlahnya dan ditingkatkan kapasitasnya, sehingga transfer pengetahuan bisa terjadi secara masif dan merata.
Ketiga, regenerasi petani muda harus dijadikan agenda nasional. Pertanian harus dikemas ulang sebagai profesi yang menjanjikan, bukan pekerjaan kelas dua. Program-program seperti pelatihan agripreneur, kemudahan akses modal usaha pertanian, jaminan harga dan pasar yang pasti, serta penggunaan teknologi digital dalam pemasaran hasil pertanian bisa menjadi daya tarik bagi generasi muda. Kita harus menciptakan narasi baru: bertani itu keren, bertani itu modern, bertani itu menguntungkan.
Keempat, sistem distribusi dan logistik pangan harus dirombak total. Dengan teknologi digital yang sudah tersedia, seharusnya kita bisa membangun sistem informasi pangan nasional yang real-time, menghubungkan produsen dan konsumen secara langsung, meminimalkan peran tengkulak yang menggerogoti keuntungan petani.
Badan Pangan Nasional di bawah kepemimpinan Amran harus berani bergerak lebih lincah, lebih responsif terhadap dinamika pasar. Bulog harus ditransformasi dari lembaga birokratis menjadi perusahaan logistik pangan yang efisien dan akuntabel.
Kelima, diversifikasi pangan harus digalakkan. Ketergantungan kita pada beras sebagai makanan pokok tunggal sudah saatnya diubah. Indonesia memiliki begitu banyak sumber karbohidrat lokal—sagu, jagung, singkong, ubi, sukun—yang selama ini terpinggirkan.
Jika kita mampu mengangkat kembali pangan lokal ini, beban terhadap produksi beras bisa dikurangi dan ketahanan pangan kita justru akan lebih kuat karena tidak bertumpu pada satu komoditas.
Amran Sulaiman, dengan segala pengalaman dan jaringan yang dimilikinya, berada di posisi yang sangat strategis. Ia memiliki kesempatan untuk menjadi arsitek sistem pangan Indonesia yang baru, sistem yang lebih adil, lebih efisien, dan lebih tangguh menghadapi guncangan.
Namun ia tidak bisa bekerja sendirian. Ia membutuhkan dukungan penuh dari Presiden, sinkronisasi dengan kementerian dan lembaga terkait, serta yang terpenting: kepercayaan dan partisipasi aktif dari jutaan petani di seluruh nusantara.
Swasembada pangan bukan sekadar target angka produksi yang harus dicapai agar terlihat bagus dalam laporan tahunan. Ia adalah tentang martabat bangsa, tentang kemandirian ekonomi, tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ketika seorang petani bisa hidup layak dari hasil kerjanya, ketika seorang ibu tidak perlu khawatir tentang harga beras esok hari, ketika anak-anak di pelosok negeri bisa makan tiga kali sehari dengan gizi cukup, barulah kita bisa mengatakan bahwa swasembada telah benar-benar tercapai.
Jalan menuju swasembada adalah jalan panjang yang berliku, penuh duri dan bebatuan. Tidak ada jalan pintas, tidak ada solusi instan. Yang ada hanyalah kerja keras, konsistensi kebijakan, dan komitmen yang tidak tergoyahkan.
Pengangkatan Amran sebagai Kepala Badan Pangan Nasional adalah satu langkah kecil dalam perjalanan panjang itu. Apakah langkah ini akan membawa kita lebih dekat ke tujuan atau justru tersesat di persimpangan, sepenuhnya tergantung pada bagaimana kita semua—pemerintah, petani, akademisi, pengusaha, dan seluruh rakyat Indonesia—bersatu padu menggenggam harapan yang tertanam di setiap benih yang ditabur di tanah ibu pertiwi ini.
“Pertanian bukan hanya tentang menanam benih, tetapi tentang menanam harapan untuk masa depan.” — George Washington Carver













