Abraham Samad dan Paradoks Penegakan Hukum di Era Demokrasi
“Keadilan bukanlah sekadar hukum yang tertulis, tetapi keberanian untuk mempertahankan kebenaran bahkan ketika dunia berpaling.” – Martin Luther King Jr.
Bangsa ini kembali dihadapkan pada dilema moral yang mencengangkan ketika seorang Abraham Samad, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah mengabdikan hidupnya untuk pemberantasan korupsi, kini justru berhadapan dengan jeratan hukum.
Ironi yang pahit ini muncul ketika Abraham Samad merupakan satu dari 12 orang terlapor kasus pencemaran nama baik dan UU ITE terkait dengan tudingan ijazah palsu Jokowi. Peristiwa yang terjadi pada 13 Agustus 2025 ini bukan sekadar pemeriksaan rutin, melainkan cerminan dari kompleksitas sistem hukum dan politik yang mengakar dalam dalam kehidupan berbangsa.
Latar belakang permasalahan ini bermula dari kontroversi yang telah lama bergulir mengenai keaslian ijazah mantan Presiden Joko Widodo. Tuduhan ini bukanlah hal baru, namun kembali mencuat ke permukaan dengan intensitas yang berbeda. Hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan, 66,9 persen responden tidak percaya Jokowi memalsukan ijazah, hanya 19,1 persen yang percaya. Data ini menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat sebenarnya tidak memercayai tuduhan tersebut, namun proses hukum tetap berjalan dengan momentum yang mengkhawatirkan.
Abraham Samad, tokoh yang dikenal sebagai penegak hukum berintegritas tinggi, kini menghadapi tantangan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Eks Ketua KPK Abraham Samad diberondong 56 pertanyaan saat diperiksa terkait kasus dugaan fitnah ijazah palsu Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
Intensitas pemeriksaan ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang proporsionalitas tindakan hukum yang diambil. Apakah ini merupakan penegakan hukum yang adil, ataukah sebuah bentuk intimidasi terhadap kebebasan berpendapat dan akademik?
Dari perspektif hukum, kasus ini menampilkan kompleksitas interpretasi antara kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi dengan batas-batas yang ditetapkan oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Abraham Samad, melalui podcastnya, telah menyampaikan bahwa podcastnya berisi edukasi, bukan fitnah atau pencemaran nama baik. Hal ini menunjukkan bahwa niatnya adalah untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, bukan untuk merusak reputasi seseorang.
Tantangan yang dihadapi dalam kasus ini sangatlah kompleks. Pertama, tantangan yuridis yang menyangkut interpretasi hukum tentang batasan kebebasan akademik dan jurnalistik.
Kedua, tantangan politik yang melibatkan dinamika kekuasaan dan kepentingan berbagai pihak. Ketiga, tantangan sosial budaya yang berkaitan dengan nilai-nilai demokrasi dan transparansi dalam kehidupan bermasyarakat. Abraham Samad mengatakan, hal yang ia alami ini merupakan bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat dan mempersempit ruang demokrasi.
Dari sudut pandang sosial budaya, peristiwa ini mencerminkan kondisi masyarakat Indonesia yang masih berjuang untuk menemukan keseimbangan antara penghormatan terhadap figur pemimpin dengan hak untuk melakukan kritik konstruktif.
Budaya feodal yang masih mengakar kuat dalam masyarakat kita seringkali membuat kritik terhadap penguasa dianggap sebagai bentuk ketidakpatutan, bahkan ketika kritik tersebut disampaikan melalui jalur akademik yang legitimate.
Persepsi publik terhadap kasus ini sangat beragam dan terpolarisasi. Di satu sisi, terdapat kelompok yang melihat tindakan hukum terhadap Abraham Samad sebagai bentuk penegakan hukum yang konsisten tanpa pandang bulu.
Di sisi lain, banyak pihak yang menganggap ini sebagai upaya kriminalisasi terhadap aktivis dan akademisi yang berani menyuarakan kebenaran. Organisasi hukum dan berbagai elemen masyarakat sipil telah menyuarakan keprihatinan mereka terhadap perkembangan kasus ini.
Dalam konteks yang lebih luas, kasus Abraham Samad ini tidak dapat dilepaskan dari fenomena penyempitan ruang demokrasi yang telah menjadi keprihatinan bersama dalam beberapa tahun terakhir.
Ketika seorang mantan penegak hukum yang memiliki rekam jejak gemilang dalam memberantas korupsi justru harus berhadapan dengan jeratan hukum karena menyuarakan pendapatnya, maka ini menjadi sinyal yang mengkhawatirkan bagi masa depan demokrasi Indonesia.
Aspek humanis dari kasus ini tidak boleh diabaikan. Abraham Samad bukanlah sekadar figur publik, tetapi seorang manusia dengan keluarga yang turut merasakan dampak dari guncangan yang dialaminya.
Tekanan psikologis dan sosial yang dihadapi oleh seseorang yang tiba-tiba menjadi terdakwa dalam sebuah kasus hukum sangatlah berat, apalagi ketika ia merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah untuk kepentingan kebenaran dan transparansi.
Dari perspektif penegakan hukum, kasus ini juga menimbulkan pertanyaan tentang prioritas dalam sistem peradilan kita. Di tengah berbagai kasus korupsi dan kejahatan serius lainnya yang masih menumpuk, apakah pemeriksaan terhadap Abraham Samad dengan 56 pertanyaan merupakan penggunaan sumber daya hukum yang efektif dan proporsional? Pertanyaan ini menjadi semakin relevan ketika kita melihat bahwa UGM telah memberikan klarifikasi resmi mengenai keaslian ijazah yang dipermasalahkan.
Implikasi jangka panjang dari kasus ini sangatlah signifikan bagi kehidupan demokrasi Indonesia. Jika kasus ini berujung pada kriminalisasi terhadap Abraham Samad, maka akan tercipta preseden yang berbahaya bagi kebebasan akademik dan kebebasan berpendapat di Indonesia.
Sebaliknya, jika kasus ini diselesaikan dengan bijaksana dan proporsional, maka hal ini dapat menjadi pembelajaran berharga tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia.
Dalam konteks reformasi hukum, kasus ini juga menjadi momentum untuk mengevaluasi kembali implementasi UU ITE yang sering dikritik karena multitafsir dan berpotensi membungkam kebebasan berekspresi.
Perlu ada kejelasan yang lebih tegas tentang batasan-batasan yang dapat ditoleransi dalam menyampaikan kritik dan pendapat, khususnya ketika hal tersebut dilakukan dalam konteks akademik dan edukatif.
Peran media massa dan platform digital dalam kasus ini juga tidak dapat diabaikan. Pemberitaan yang berlebihan dan tidak berimbang dapat memperkeruh situasi dan mempengaruhi persepsi publik. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dan profesionalisme dalam menyajikan informasi kepada masyarakat, sehingga tidak terjadi trial by press yang dapat merugikan semua pihak.
Solidaritas yang ditunjukkan oleh berbagai elemen masyarakat sipil terhadap Abraham Samad menunjukkan bahwa masih ada harapan bagi tegaknya nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Deretan tokoh nasional seperti Mahfud MD, Gatot Nurmantyo, Said Didu, hingga Busyro Muqoddas ramai-ramai menolak kriminalisasi terhadap mantan Ketua KPK Abraham Samad.

Suara dukungan juga datang dari kalangan penegak hukum. Novel Baswedan, eks penyidik senior KPK yang pernah mengalami intimidasi serupa, menyatakan dengan lugas: “Saya menolak kriminalisasi terhadap Pak Abraham Samad”. Pernyataan ini sangat bermakna mengingat Novel Baswedan sendiri pernah mengalami teror penyiraman air keras karena kegigihannya dalam memberantas korupsi.
Dari kalangan intelektual dan sastrawan, Okky Madasari, sosiolog dan sastrawan ternama, menegaskan keyakinannya: “Saya percaya pada integritas Abraham Samad, saya menolak dan melawan kriminalisasi pada Abraham Samad”. Dukungan serupa juga datang dari berbagai akademisi seperti Feri Amsari (Pakar Hukum Tata Negara), Prof. Ikrar Nusa Bakti (Ilmuwan Politik, mantan peneliti LIPI & Duta Besar RI di Tunisia), dan Prof. Sulistyowati Irianto (Guru Besar Universitas Indonesia).
Upaya tolak kriminalisasi Abraham Samad yang dilakukan oleh berbagai organisasi dan aktivis menunjukkan bahwa masyarakat masih peduli terhadap nasib para pejuang keadilan.
Kasus Abraham Samad pada akhirnya adalah cermin dari kondisi demokrasi Indonesia saat ini. Ia menguji sejauh mana komitmen kita terhadap nilai-nilai kebebasan, transparansi, dan akuntabilitas. Apakah kita akan membiarkan ruang demokrasi semakin menyempit, ataukah kita akan bersama-sama memperjuangkan tegaknya supremasi hukum yang berkeadilan?
Dalam menghadapi tantangan ini, diperlukan kebijaksanaan dari semua pihak. Aparat penegak hukum harus memastikan bahwa proses hukum berjalan secara adil dan proporsional. Pemerintah perlu menunjukkan komitmennya terhadap perlindungan kebebasan berekspresi. Masyarakat sipil harus terus melakukan pengawasan kritis terhadap jalannya proses hukum. Dan media massa harus menyajikan informasi yang akurat dan berimbang.
Masa depan demokrasi Indonesia akan sangat ditentukan oleh bagaimana kita menangani kasus-kasus seperti ini. Apakah kita akan memilih jalan yang mengarah pada otoritarianisme, ataukah kita akan tetap berkomitmen pada nilai-nilai demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah oleh para pendiri bangsa?
“Harga kebebasan adalah kewaspadaan yang abadi. Ketika kita berhenti mengawasi, maka pada saat itulah tirani mulai mengambil alih.” – Thomas Jefferson.