Kebahagiaan yang Terlupakan: Perjalanan dari “Ketakutan Terlewat” Menuju “Kedamaian Digital”
“Dalam dunia yang penuh dengan kebisingan, ketenangan menjadi sebuah revolusi.” – Mahatma Gandhi
Bayangkan sebuah dunia di mana notifikasi ponsel tidak lagi menjadi tuan yang menguasai hidup kita. Dunia di mana kita tidak merasa cemas ketika melewatkan postingan terbaru di media sosial, atau tidak hadir dalam setiap acara yang viral.
Dunia seperti itu bukanlah khayalan utopis, melainkan realitas baru yang sedang dibentuk oleh fenomena yang disebut JOMO – Joy of Missing Out, atau Kebahagiaan Memilih Tidak Ikut serta/Absen.
Selama lebih dari satu dekade, kita telah hidup dalam bayang-bayang FOMO, Fear of Missing Out, sebuah sindrom modern yang membuat jutaan orang merasa cemas jika tidak terhubung terus-menerus dengan dunia maya.
Namun kini, angin perubahan bertiup. Para peneliti dan pengamat sosial mulai melihat tanda-tanda transformasi mendasar dalam cara generasi muda berinteraksi dengan teknologi. Data menunjukkan bahwa 62% pelancong kini memilih liburan dengan konsep JOMO untuk mengurangi stres, menandakan pergeseran paradigma yang signifikan.
Secara global, identitas pengguna media sosial kini mencapai sekitar 5,24 miliar atau 63,9% populasi dunia—angka yang masih naik 4,1% dalam setahun terakhir
Di saat bersamaan, orang di seluruh dunia menghabiskan rata-rata sekitar 6 jam 40 menit per hari di depan layar, dengan beberapa negara melampaui 9 jam .Tekanan untuk “tetap terhubung” semakin nyata.
Latar belakang masalahnya berlapis. Di satu sisi, media sosial memudahkan temu-kembali, berbagi pengetahuan, dan akses peluang. Di sisi lain, pola dibandingkan-diri, kurasi citra, serta lajunya konten membuat banyak orang terengah-engah.
Di Amerika Serikat, hampir separuh remaja (48%) kini menilai media sosial berdampak “lebih banyak negatif” bagi teman sebayanya—naik signifikan dari 32% pada 2022
Hampir separuh remaja juga mengaku “hampir selalu online” menurut laporan lain yang dilakukan pada 2024. Ketika jam tayang layar meningkat, studi ilmiah menunjukkan pengurangan waktu penggunaan ponsel selama tiga minggu saja dapat memperbaiki gejala depresi, stres, kualitas tidur, dan kesejahteraan secara bermakna . Artinya, jeda digital bukan sekadar gaya hidup; ia punya implikasi kesehatan.
Di Indonesia, gambarnya sama pentingnya. Per awal 2025, ada sekitar 212 juta pengguna internet (penetrasi 74,6%) dan 143 juta identitas pengguna media sosial—setara 50,2% populasi
Di tingkat global, konsumsi media sosial tetap tinggi—rata-rata penggunaan harian platform sosial diperkirakan sekitar 2 jam 21 menit menurut rangkuman riset Februari 2025
Tekanan FOMO tidak hanya mengguncang emosi; ia ikut menggerakkan perilaku finansial. Laporan 2025 mengindikasikan lebih dari separuh responden Amerika dipengaruhi gaya hidup orang lain di jagat maya saat mengambil keputusan uang, dan sekitar separuh terdorong belanja karena FOMO
JOMO bukanlah sekadar tren sesaat atau reaksi balik terhadap kelelahan digital. Ini adalah evolusi natural dari kesadaran kolektif yang mulai memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada seberapa banyak pengalaman yang kita konsumsi, melainkan pada seberapa dalam kita menghayati momen-momen yang kita pilih untuk jalani.
Ketika konsumen muda menghabiskan hampir 6 jam per hari di platform media sosial, JOMO menawarkan alternatif yang menyegarkan: kualitas pengalaman di atas kuantitas koneksi.
Perjalanan dari FOMO ke JOMO mencerminkan kematangan digital masyarakat modern. Jika FOMO lahir dari ketakutan akan ketinggalan, JOMO tumbuh dari kebijaksanaan untuk memilih.
Ini bukan tentang menolak teknologi, tetapi tentang menggunakan teknologi dengan lebih bijak. Para penganut JOMO tidak meninggalkan dunia digital sepenuhnya, mereka justru menjadi pengguna yang lebih sadar dan selektif.
Fenomena ini memiliki akar yang mendalam dalam perubahan sosial budaya yang lebih luas. Pandemi COVID-19 menjadi katalisator yang mempercepat introspeksi kolektif tentang makna hidup yang bermakna.
Pandemi yang tidak terduga dan menghancurkan membuat orang mengalami berbagai dampak pada kesehatan fisik dan mental, memaksa kita untuk merefleksikan prioritas hidup. Dalam isolasi dan pembatasan sosial, banyak orang menemukan kedamaian dalam kesederhanaan, dalam momen-momen kecil yang sebelumnya terabaikan.
Tantangan terbesar yang dihadapi gerakan JOMO adalah mengubah mindset masyarakat yang sudah terlanjur terkondisi untuk selalu “on” dan terhubung. Media sosial dirancang untuk menciptakan kecanduan, menggunakan algoritma yang canggih untuk memicu respons dopamin dalam otak kita.
Melawan sistem yang begitu kompleks dan terstruktur bukanlah perkara mudah. Namun, kesadaran akan manipulasi psikologis ini justru menjadi bahan bakar bagi gerakan JOMO.
Dari perspektif sosial budaya, JOMO merepresentasikan kembalinya nilai-nilai humanis dalam era digital. Ini adalah penegasan bahwa manusia bukan sekadar konsumen konten, tetapi makhluk kompleks yang membutuhkan ruang untuk bernapas, berpikir, dan merasakan tanpa gangguan external.
JOMO mengajarkan kita bahwa melewatkan sesuatu bukanlah kegagalan, tetapi pilihan yang disadari untuk fokus pada hal-hal yang benar-benar penting bagi kita.
Para ahli mulai memberikan pandangan yang beragam tentang fenomena ini. Dr. Dan Herman, peneliti yang pertama kali mencetuskan istilah FOMO pada tahun 2001, kini mengakui bahwa transformasi menuju JOMO merupakan evolusi alami dari pemahaman kita tentang kesejahteraan digital.
Sementara itu, para psikolog di Psychology Today menyatakan bahwa “JOMO adalah antidot yang cerdas secara emosional untuk FOMO”, menunjukkan bagaimana pergeseran ini tidak hanya tren tetapi respons psikologis yang sehat.
Persepsi publik terhadap JOMO mengalami evolusi yang menarik. Awalnya, konsep ini dianggap sebagai bentuk perlawanan radikal atau bahkan kemunduran teknologi. Namun, semakin banyak penelitian yang menunjukkan dampak positif digital detox terhadap kesehatan mental, semakin banyak orang yang mulai memandang JOMO sebagai bentuk self-care yang sophisticated.
Generasi Z kini melihat JOMO sebagai tren terbaru yang positif untuk kesehatan mental, menunjukkan bahwa pergeseran ini bukan hanya fenomena orang dewasa yang lelah dengan teknologi, tetapi juga pilihan generasi muda yang ingin hidup lebih autentik.
Yang menarik dari fenomena JOMO adalah bagaimana ia mengubah definisi produktivitas dan kesuksesan. Dalam paradigma FOMO, kesuksesan diukur dari seberapa banyak kita terlibat, seberapa update kita dengan tren terbaru, seberapa luas jaringan digital kita. JOMO membalikkan metrik ini.
Para ahli kesehatan semakin mengadvokasi pendekatan ini. Seperti yang dikemukakan dalam Washington Post, “JOMO mengundang kita untuk menemukan kegembiraan dalam momen-momen yang kita pilih untuk hayati sepenuhnya.“
Kesuksesan dalam konteks JOMO diukur dari kemampuan kita untuk hadir sepenuhnya dalam momen, dari kualitas hubungan yang kita bangun, dari kedamaian batin yang kita rasakan.
Transformasi ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia didukung oleh gerakan mindfulness yang semakin populer, tren kesehatan yang berkembang pesat, dan kesadaran akan pentingnya work-life balance.
Penelitian terbaru memvalidasi skala JOMO dan dampak potensialnya terhadap kesejahteraan, serta kaitannya dengan variabel lain, memberikan landasan ilmiah yang solid bagi gerakan ini.
Dari sudut pandang industri teknologi, JOMO menimbulkan tantangan sekaligus peluang. Platform media sosial yang selama ini bergantung pada engagement tinggi harus beradaptasi dengan pengguna yang semakin selektif.
Ini mendorong inovasi dalam menciptakan fitur-fitur yang mendukung penggunaan teknologi yang lebih sehat, seperti time limit, notification control, dan mode fokus.
Para peneliti sosial juga memberikan perspektif yang berbeda. Bella Grace Magazine mencatat bahwa “digital detox bukan tentang menolak teknologi, tetapi tentang memilih momen-momen untuk terhubung dengan diri sendiri.” Pendekatan ini menunjukkan bahwa JOMO bukanlah anti-teknologi, melainkan pro-kesehatan mental.
Dampak JOMO terhadap perilaku konsumen juga signifikan. Konsumen JOMO cenderung lebih terlibat dalam pembelian, lebih kritis terhadap iklan, dan lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas. Mereka tidak mudah terpancing oleh flash sale atau limited time offer, karena mereka sudah terlatih untuk tidak bereaksi impulsif terhadap Dorongan Pemasaran FOMO
Namun, JOMO bukanlah solusi universal. Implementasinya harus disesuaikan dengan konteks individual, budaya, dan profesional masing-masing orang. Seorang content creator mungkin tidak bisa sepenuhnya menerapkan JOMO tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap karir.
Seorang jurnalis harus tetap update dengan berita terkini. Yang penting adalah menemukan keseimbangan yang tepat antara keterhubungan yang diperlukan dan ketenangan yang dibutuhkan.
Masa depan JOMO terlihat cerah. Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan dampak negatif penggunaan teknologi yang berlebihan, semakin banyak orang yang akan mencari alternatif yang lebih sehat. JOMO menawarkan jalan tengah yang elegan: tidak menolak teknologi, tetapi menggunakannya dengan lebih bijak dan purposeful.
Gerakan ini juga berpotensi mengubah lanskap pendidikan dan parenting. Anak-anak yang tumbuh dengan pemahaman tentang JOMO akan memiliki literasi digital yang lebih matang, kemampuan untuk mengelola informasi dengan lebih baik, dan resiliensi yang lebih kuat terhadap tekanan sosial digital.
JOMO mengajarkan kita bahwa dalam dunia yang semakin terhubung, kemampuan untuk tak terkoneksi menjadi sebuah superpower. Ini bukan tentang isolasi atau penolakan terhadap kemajuan, tetapi tentang kedaulatan eksistensial atas hidup kita sendiri.
Dalam kebisingan dunia digital, JOMO adalah undangan untuk menemukan suara kita sendiri, untuk mendengarkan detak jantung kita sendiri, untuk merasakan napas kita sendiri.
Fenomena JOMO mengingatkan kita bahwa kebahagiaan yang autentik tidak dapat diukur dengan jumlah likes, followers, atau notification. Ia tersembunyi dalam momen-momen sederhana yang kita pilih untuk hayati dengan sepenuh hati, dalam percakapan mendalam yang kita lakukan tanpa gangguan gadget, dalam keheningan yang kita ciptakan untuk mendengarkan suara batin kita sendiri.
Dalam arus deras informasi digital yang tidak pernah berhenti, JOMO muncul sebagai lighthouse yang membimbing kita kembali ke rumah – ke diri kita sendiri. Ini adalah revolusi yang dimulai dari dalam, yang mengubah cara kita melihat teknologi, hubungan, dan pada akhirnya, kehidupan itu sendiri.
Akhirnya, JOMO bukan sekadar “tidak ikut”. Ia adalah keputusan berdaulat untuk hadir pada yang penting dan melepas sisanya. Ia mengajak kita memperlambat, bukan berhenti; menyaring, bukan menutup mata.
Di kota yang tak pernah sepi sinyal, kebahagiaan justru tumbuh dari ruang hening yang kita ciptakan sendiri—ruang untuk merasakan, merenung, dan terhubung lebih dalam dengan orang terdekat.
Dengan JOMO, kita tidak lari dari dunia; kita kembali ke pusatnya, untuk menghidupi dunia dengan cara yang lebih bijak dan manusiawi














