Ketika Tunjangan Menjadi Luka Kolektif: Narasi Rakyat yang Terlupakan
“Demokrasi bukanlah sekadar sistem pemerintahan, tetapi cara hidup yang menuntut tanggung jawab dari setiap warga negara.” – John Dewey
Malam yang kelam telah melanda Jakarta dan sekitarnya. Dalam satu malam, Sabtu (30/8), sejumlah rumah pejabat ternama dari DPR RI, mulai dari Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Uya Kuya, Nafa Urbach, hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi sasaran amarah publik yang tak terkendali.
Kejadian ini bukan sekadar ledakan spontan, melainkan puncak dari akumulasi kekecewaan rakyat terhadap perilaku para wakilnya yang dianggap tidak sensitif terhadap penderitaan masyarakat.
Akar permasalahan ini dapat ditelusuri dari serangkaian ucapan dan perilaku kontroversial yang memicu gelombang kemarahan publik. Ahmad Sahroni menuai kritik setelah menyebut masyarakat yang menuntut pembubaran DPR RI sebagai “orang tolol sedunia” dalam kunjungan kerjanya ke Polda Sumatera Utara.
Sementara itu, Eko Patrio ikut disorot karena video jogetnya di sidang DPR dan kemudian membuat video parodi sound horeg yang dianggap tidak sensitif terhadap situasi masyarakat yang sedang marah, dan Uya Kuya yang menyebut gaji Rp 3 juta per hari tidak besar.
Dari perspektif sosial budaya, kejadian ini mencerminkan fenomena yang lebih dalam tentang kesenjangan antara elit politik dan rakyat biasa. Indonesia, sebagai negara dengan tingkat ketimpangan ekonomi yang masih tinggi, menghadapi tantangan dalam menjembatani jurang antara mereka yang berkuasa dengan masyarakat grassroot.
Budaya Indonesia yang menjunjung tinggi nilai sopan santun dan empati merasa terluka ketika para pemimpinnya menunjukkan sikap yang dianggap meremehkan penderitaan rakyat.
Secara politik, peristiwa ini menandai momen kritis dalam hubungan antara lembaga legislatif dan konstituennya. Gelombang demonstrasi yang meletus di depan Gedung DPR/MPR RI sejak 25 Agustus 2025 mencuatkan ketegangan baru dalam hubungan antara wakil rakyat dan rakyat Indonesia.
Fenomena ini tidak bisa dipisahkan dari konteks global di mana kepercayaan publik terhadap institusi politik mengalami erosi. Menurut data Edelman Trust Barometer 2024, tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pemerintah berada di angka 51%, menunjukkan adanya ruang untuk perbaikan dalam membangun kepercayaan publik.
Persepsi publik yang terbentuk melalui media sosial memperkuat narasi bahwa para anggota DPR telah kehilangan sentuhan dengan realitas rakyat. Kritikan terhadap Uya Kuya muncul setelah pernyataannya mengenai gaji yang dianggap meremehkan penderitaan rakyat miskin, serta sikapnya yang dinilai berubah sejak menjadi wakil rakyat.
Era digital telah mengubah cara masyarakat mengkonsumsi informasi dan mengekspresikan ketidakpuasan mereka. Platform seperti TikTok dan media sosial lainnya menjadi katalisator yang mempercepat penyebaran sentimen negatif.
Kondisi ekonomi Indonesia yang masih menghadapi tantangan inflasi dan daya beli masyarakat yang menurun turut memperparah situasi. Kritik terhadap gaji anggota DPR yang bisa mencapai Rp 230 juta per bulan di tengah keluhan soal rendahnya kinerja parlemen semakin menambah amarah masyarakat.
Menurut data resmi BPS yang dipublikasikan pada 25 Juli 2025, tingkat kemiskinan nasional per Maret 2025 adalah sebesar 8,47%, dengan jutaan keluarga yang berjuang memenuhi kebutuhan dasar. Ketika para wakil rakyat menunjukkan sikap yang dianggap tidak empatis, hal ini menciptakan rasa ketidakadilan yang mendalam di kalangan masyarakat.
Namun, tindakan perusakan dan penjarahan properti yang terjadi menunjukkan bahwa ekspresi kemarahan telah melampaui batas-batas yang dapat diterima dalam demokrasi. Kekerasan dan anarki bukanlah jalan keluar yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan politik. Justru hal ini dapat mengikis sendi-sendi demokrasi itu sendiri dan menciptakan preseden buruk bagi masa depan.
Untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang, diperlukan langkah-langkah konkret dari berbagai pihak. Pertama, anggota parlemen perlu memahami kembali esensi tugas mereka sebagai wakil rakyat.
Mereka harus menunjukkan empati dan kepekaan terhadap kondisi masyarakat yang mereka wakili. Pelatihan komunikasi publik dan pemahaman tentang dampak media sosial menjadi kebutuhan mendesak bagi para anggota legislatif.
Ruang legislatif harus kembali menyatu dengan jantung rakyat melalui transparansi dan integritas. DPR perlu secara terbuka menyampaikan beban fiskal tiap anggota dan manfaatnya bagi publik.
Mencabut tunjangan yang terlihat tak proporsional, meremajakan citra wakil rakyat dan merangkul publik dalam dialog (bukan sekadar sidang formal), adalah langkah manusiawi menuju rekonsiliasi politik.
Proses penyembuhan butuh empati kolektif. Wakil rakyat harus menempatkan diri bukan sebagai elite, tapi sebagai penderita yang turut merasakan denyut hidup rakyat. Masyarakat perlu memberi ruang perubahan pada wakilnya, bukan menutup akses demokrasi lewat amukan.
Kedua, perlu ada mekanisme yang lebih efektif untuk menjembatani komunikasi antara DPR dan masyarakat. Forum-forum dialog reguler, baik secara online maupun offline, dapat menjadi sarana untuk menampung aspirasi dan keluhan masyarakat sebelum berkembang menjadi ledakan kemarahan. Transparansi dalam penggunaan anggaran negara dan pertanggungjawaban kinerja legislatif juga harus ditingkatkan.
Dari sisi masyarakat, perlu ada pemahaman yang lebih baik tentang kanal-kanal demokratis yang tersedia untuk menyampaikan aspirasi. Pendidikan politik dan civic education menjadi kunci untuk membangun budaya demokrasi yang sehat.
Masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa meskipun mereka memiliki hak untuk mengekspresikan ketidakpuasan, hal ini harus dilakukan melalui cara-cara yang konstitusional dan tidak merugikan orang lain.
Aparat keamanan punya tugas semestinya melindungi jalannya ketidakpuasan sebagai energi bangsa yang hidup, tanpa membiarkan ia berubah wujud menjadi destruktif.
Media sosial sebagai platform utama pembentukan opini publik juga perlu dikelola dengan bijak. Literasi digital menjadi krusial untuk mencegah penyebaran informasi yang dapat memicu kekerasan. Platform media sosial perlu mengambil tanggung jawab lebih besar dalam moderasi konten yang berpotensi memicu kekerasan.
Sistem checks and balances dalam demokrasi juga perlu diperkuat. Lembaga-lembaga pengawas seperti KPK, Ombudsman, dan media massa harus dapat berfungsi optimal dalam mengawasi kinerja para wakil rakyat. Sanksi moral dan hukum yang tegas perlu diterapkan bagi para pejabat yang terbukti melakukan pelanggaran etika atau korupsi.
Pendidikan karakter dan kepemimpinan untuk para calon wakil rakyat juga menjadi investasi jangka panjang yang penting. Para calon anggota legislatif perlu diberikan pembekalan yang memadai tentang bagaimana menjadi pemimpin yang amanah dan dapat dipercaya.
Sistem rekrutment partai politik perlu direformasi untuk memastikan bahwa yang terpilih adalah orang-orang yang benar-benar memiliki komitmen untuk melayani rakyat.
Peran civil society dan organisasi kemasyarakatan juga tidak boleh diabaikan. Mereka dapat menjadi mediator yang membantu menjembatani komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. LSM, akademisi, dan tokoh masyarakat dapat berperan dalam memberikan edukasi politik dan memfasilitasi dialog yang konstruktif.
Krisis kepercayaan ini juga menunjukkan perlunya reformasi struktural dalam sistem politik Indonesia. Mekanisme recall atau pencabutan mandat untuk wakil rakyat yang tidak memenuhi janjinya kepada konstituennya perlu dipertimbangkan. Sistem ini dapat menjadi checks and balances tambahan yang memastikan akuntabilitas para wakil rakyat.
Indonesia memiliki modal sosial yang kuat berupa nilai-nilai gotong royong dan musyawarah mufakat yang dapat direvitalisasi dalam konteks modern. Tradisi ini dapat diadaptasi menjadi mekanisme-mekanisme demokratis yang lebih responsif terhadap kebutuhan rakyat. Teknologi digital dapat dimanfaatkan untuk menciptakan platform partisipasi publik yang lebih interaktif dan inklusif.
Pembelajaran dari kejadian ini harus menjadi momentum untuk membangun demokrasi yang lebih matang dan berkarakter. Rakyat Indonesia layak mendapatkan wakil-wakil yang tidak hanya pintar berpolitik, tetapi juga memiliki integritas dan empati.
Sebaliknya, masyarakat juga perlu terus belajar untuk menyampaikan aspirasinya melalui jalur-jalur yang demokratis dan konstruktif.
Masa depan demokrasi Indonesia terletak pada kemampuan kita bersama untuk belajar dari krisis ini. Jangan sampai kemarahan sesaat menghancurkan sendi-sendi demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah. Sebaliknya, mari kita gunakan momentum ini untuk membangun sistem politik yang lebih baik, lebih responsif, dan lebih dapat dipercaya.
Demokrasi sejati bukan hanya tentang pemilihan umum lima tahun sekali, tetapi tentang proses berkelanjutan di mana setiap warga negara, baik yang memerintah maupun yang diperintah, terus belajar dan berkomitmen untuk kebaikan bersama. Hanya dengan komitmen bersama inilah Indonesia dapat melewati krisis kepercayaan ini dan membangun masa depan yang lebih cerah.
Mari kita bangun kembali ruang publik yang merangkul, bukan membentur. Lewat dialog yang penuh semangat, kesadaran diri, dan solidaritas, semoga kejadian penjarahan ini menjadi pengingat: bahwa kepercayaan mudah hancur, tapi bisa lahir kembali dari tulusnya itikad untuk memperbaiki.
“Hanya dengan mengakui kesalahan kita bisa memulai perjalanan menjadi lebih bijak bersama.” —Nelson Mandela












