Deklarasi Forum Komunikasi Ketahanan Industri Baja Nasional : Perjuangan Merebut Kedaulatan dan Kemandirian Bangsa
Di tengah riuhnya pembangunan infrastruktur yang menjulang tinggi di Nusantara, ada sebuah jeritan yang hampir tenggelam dalam gemuruh mesin konstruksi. Jeritan itu berasal dari industri baja nasional yang kini berdiri di persimpangan jalan, antara harapan untuk terus menjadi tulang punggung pembangunan atau menyaksikan dirinya perlahan-lahan terpuruk oleh gempuran produk impor yang tak berkemanusiaan.
Deklarasi Forum Komunikasi Ketahanan Industri Baja Nasional oleh Indonesian Society of Steel Construction (ISSC) bersama asosiasi-asosiasi terkait bukanlah sekadar pertemuan biasa. Ini adalah sebuah teriakan perlawanan, sebuah upaya penyelamatan diri dari kepunahan industri yang telah menjadi nadi perekonomian Indonesia.
Seperti yang dikatakan Budi Harta Winata, Ketua Umum ISSC, dalam deklarasi bersejarah itu: industri baja bukan hanya tentang logam dan mesin, tetapi tentang martabat bangsa dan kedaulatan ekonomi.
Ketika kita berbicara tentang industri baja, kita tidak hanya berbicara tentang angka-angka dingin di spreadsheet. Kita berbicara tentang nasib 450 ribu keluarga Indonesia yang hidupnya bergantung pada industri ini, dengan 100 ribu orang bekerja langsung dan 350 ribu lainnya secara tidak langsung.
Kita berbicara tentang ayah yang bangun subuh untuk bekerja di pabrik baja, ibu yang menanti suami pulang dengan harapan upah yang layak, dan anak-anak yang bermimpi mengenyam pendidikan tinggi dari hasil keringat orangtua yang bekerja di sektor ini.
Namun kenyataan pahit menghadang di depan mata. Konsumsi baja nasional pada 2024 mencapai 18,58 juta ton, namun produksi domestik hanya mampu menyuplai 15,82 juta ton. Celah itulah yang dimanfaatkan oleh impor baja yang membludak hingga 8,72 juta ton, jauh melampaui ekspor Indonesia yang hanya 5,96 juta ton.
Gambaran ini bagaikan sebuah keluarga yang memproduksi makanan sendiri namun terpaksa membeli dari tetangga karena produksinya tidak mencukupi, sementara tetangga itu justru menjual dengan harga yang merusak pasar.
Yang lebih menyakitkan adalah fakta bahwa utilisasi kapasitas produksi domestik anjlok hingga kurang dari 40% dari total kapasitas terpasang, angka terendah dalam beberapa tahun terakhir. Bayangkan sebuah pabrik yang dibangun dengan investasi triliunan rupiah, dengan ribuan pekerja yang menggantungkan hidup, kini hanya beroperasi kurang dari separuh kemampuannya. Mesin-mesin yang seharusnya berdengung keras kini setengah terdiam, para pekerja yang seharusnya bekerja penuh kini harus rela dengan jam kerja yang dikurangi, bahkan ada yang harus dirumahkan.
Situasi ini semakin diperparah dengan lonjakan impor baja konstruksi yang sudah terfabrikasi atau Prefabricated Engineered Building (PEB) yang tercatat menembus 712 ribu ton di tahun 2024. Ini bukan lagi sekadar persaingan produk mentah, tetapi persaingan produk jadi yang langsung mengancam industri hilir konstruksi kita. Seperti halnya seseorang yang tidak hanya kehilangan bahan baku, tetapi juga kehilangan kesempatan untuk mengolahnya menjadi produk bernilai tambah.
Meskipun demikian, Indonesia saat ini menempati posisi ke-14 secara global dalam produksi baja kasar menurut data World Steel. Pencapaian ini seharusnya menjadi kebanggaan, namun kini terancam memudar jika tidak ada langkah konkret untuk melindungi industri dalam negeri dari serbuan produk impor yang tidak sehat.
Di sinilah pentingnya Forum Komunikasi Ketahanan Industri Baja Nasional. Forum ini bukan sekadar wadah berbagi keluh kesah, tetapi sebuah gerakan nyata untuk menyelamatkan masa depan industri baja Indonesia. Enam sasaran utama yang mereka usung bukanlah permintaan yang berlebihan, melainkan kebutuhan mendesak untuk bertahan hidup: memperketat kuota impor, pemberlakuan moratorium investasi asing pada produk sejenis, implementasi instrumen perlindungan perdagangan yang efektif, penguatan instrumen non-tarif seperti SNI dan TKDN, harmonisasi tarif produk baja dari hulu ke hilir, dan penghentian impor konstruksi baja terfabrikasi.
Harapan saya terhadap pembentukan forum ini sangat besar. Pertama, forum ini dapat menjadi jembatan komunikasi yang efektif antara industri dan pemerintah. Selama ini, seringkali kebijakan dibuat tanpa melibatkan pelaku industri secara mendalam, sehingga kebijakan yang dihasilkan tidak tepat sasaran. Forum ini diharapkan dapat mengubah pola komunikasi tersebut menjadi lebih dialogis dan kolaboratif.
Kedua, forum ini dapat menjadi katalisator untuk inovasi dan peningkatan kualitas produk baja nasional. Dengan bersatu, industri baja dapat berbagi pengetahuan, teknologi, dan best practices untuk menghasilkan produk yang tidak hanya berkualitas tinggi tetapi juga kompetitif di pasar global. Seperti yang dikatakan oleh Budi Harta Winata tentang baja seismik, inovasi adalah kunci untuk tetap relevan di era modern.
Ketiga, forum ini dapat memperkuat posisi tawar industri baja nasional dalam menghadapi praktik perdagangan yang tidak adil. Dengan bersatu, mereka dapat lebih efektif dalam menyuarakan kepentingan bersama dan memperjuangkan perlindungan yang adil dari pemerintah.
Namun, tantangan yang dihadapi tidaklah kecil. Tantangan pertama adalah persaingan global yang semakin ketat. Negara-negara produsen baja besar seperti China memiliki kapasitas produksi yang jauh lebih besar dan sering kali melakukan praktik dumping yang merusak pasar. Menghadapi ini, industri baja nasional perlu terus berinovasi dan meningkatkan efisiensi produksi.
Tantangan kedua adalah keterbatasan bahan baku. Indonesia masih mengandalkan impor bahan baku besi dan baja, sehingga rentan terhadap fluktuasi harga dan ketersediaan pasokan global. Untuk mengatasi hal ini, perlu ada investasi jangka panjang dalam eksplorasi dan pengembangan tambang besi domestik.
Tantangan ketiga adalah kebutuhan akan sumber daya manusia yang terampil. Industri baja membutuhkan tenaga kerja yang tidak hanya banyak tetapi juga berkualitas tinggi. Mengingat Indonesia membutuhkan 20,2 juta tenaga kerja industri pada 2024 dengan rata-rata peningkatan kebutuhan sekitar 682 ribu pekerja per tahun, diperlukan investasi besar dalam pendidikan dan pelatihan vokasi.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, beberapa langkah strategis perlu dilakukan. Pertama, penguatan kerjasama antara pemerintah, industri, dan lembaga penelitian untuk mengembangkan teknologi baja yang lebih maju dan ramah lingkungan. Kedua, pengembangan rantai pasok yang lebih terintegrasi, mulai dari hulu hingga hilir, untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing. Ketiga, investasi dalam infrastruktur pendukung seperti pelabuhan, jalan, dan sistem logistik untuk mengurangi biaya produksi.
Keempat, penerapan standar kualitas yang ketat untuk produk baja, baik domestik maupun impor, untuk memastikan bahwa hanya produk berkualitas yang beredar di pasar. Kelima, pengembangan pasar ekspor melalui diplomasi ekonomi dan peningkatan brand awareness produk baja Indonesia di pasar internasional.
Forum Komunikasi Ketahanan Industri Baja Nasional adalah langkah pertama yang tepat, tetapi perjalanan menuju ketahanan industri baja yang sesungguhnya masih panjang. Dibutuhkan komitmen jangka panjang dari semua pihak, tidak hanya dari industri tetapi juga dari pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan.
Kita harus ingat bahwa industri baja bukan hanya tentang ekonomi, tetapi juga tentang keamanan nasional. Bangsa yang tidak memiliki industri baja yang kuat adalah bangsa yang rentan. Ketika krisis terjadi, ketika pasokan dari luar terhenti, kita akan merasakan betapa berharganya industri baja yang kuat di dalam negeri.
Sebagai praktisi konstruksi, saya berharap forum ini dapat menghasilkan langkah-langkah konkret yang tidak hanya melindungi industri baja nasional tetapi juga mendorongnya untuk terus berkembang dan berinovasi. Kita tidak hanya ingin bertahan, tetapi ingin menjadi pemain utama di pasar global. Kita tidak hanya ingin melindungi lapangan kerja yang ada, tetapi ingin menciptakan lapangan kerja baru yang berkualitas.
Mari kita dukung Forum Komunikasi Ketahanan Industri Baja Nasional ini dengan segenap hati dan pikiran. Mari kita jadikan momentum ini sebagai titik balik menuju kebangkitan industri baja Indonesia. Karena ketika industri baja kita kuat, maka fondasi pembangunan bangsa ini akan semakin kokoh.