Dari Nusantara untuk Dunia: Pesan Perdamaian Indonesia di Sidang Umum PBB
Dalam gedung megah Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, di tengah hiruk pikuk diplomasi global yang penuh kepentingan, sebuah suara mengalun dengan nada yang berbeda. Suara itu membawa aroma tanah air, kehangatan humanisme, dan api perjuangan keadilan yang telah berkobar sejak zaman penjajahan.
Presiden Prabowo Subianto, dalam pidatonya pada Sidang Umum PBB ke-80 tanggal 23 September 2024, tidak hanya berbicara sebagai pemimpin negara, tetapi sebagai wakil dari jiwa-jiwa yang pernah merasakan pahitnya ketidakadilan.
Ketika Prabowo menyampaikan, “We are here first and foremost as fellow human beings — each created equal, endowed with unalienable rights to life, liberty, and the pursuit of happiness,” ia tidak sedang berpolitik.
Ia sedang mengingatkan dunia tentang nilai-nilai fundamental yang telah terlupakan dalam hiruk pikuk geopolitik modern. Kata-katanya menggema dengan kekuatan moral yang jarang terdengar di lorong-lorong kekuasaan internasional.
Pidato ini menjadi istimewa karena keluar dari mulut seorang pemimpin yang memahami betul apa artinya ditindas. “For centuries, Indonesians lived under colonial domination, oppression, and slavery. We were treated less than dogs in our own homeland,” ujarnya dengan suara yang bergetar karena pengalaman sejarah yang masih membekas dalam ingatan kolektif bangsa. Inilah yang membuat pidato Prabowo memiliki otoritas moral. Prabowo berbicara dari pengalaman, bukan dari teori.
Indonesia, yang kini menjadi salah satu kontributor terbesar untuk misi perdamaian PBB dengan 2.715 personel, tidak hanya berbicara tentang perdamaian tetapi juga bertindak nyata. Indonesia saat ini menjadi kontributor terbesar keenam secara global untuk operasi perdamaian PBB.
Ketika Prabowo menawarkan 20.000 putra putri Indonesia untuk menjaga perdamaian di Gaza atau di mana pun diperlukan, ia tidak sedang berretorika kosong. “We will take our share of the burden, not only with our sons and daughters. We are also willing to contribute financially to support the great mission to achieve peace by the United Nations,” tegasnya dengan penuh keyakinan.
Komitmen Indonesia terhadap perdamaian dunia bukan sekadar janji. Sejak 1957, Indonesia telah mengirimkan lebih dari 24.000 personel penjaga perdamaian ke berbagai misi PBB. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan bukti nyata dedikasi Indonesia terhadap perdamaian global, di mana setiap personel yang dikirim membawa harapan dan komitmen untuk menciptakan dunia yang lebih damai.
Namun, yang paling menyentuh dari pidato Prabowo adalah keberaniannya berbicara tentang Palestina dengan cara yang seimbang namun tegas. Dalam dunia yang sering terpolarisasi dalam isu ini, Prabowo mengambil posisi yang bijaksana: mendukung kemerdekaan Palestina sambil mengakui hak Israel untuk hidup aman.
“We must have an independent Palestine, but we must also recognize and guarantee the safety and security of Israel. Only then can we have real peace: peace without hate, peace without suspicion,” ujarnya dengan tegas.
Pernyataan yang mengundang pujian dari berbagai pihak ini menunjukkan kedewasaan diplomasi Indonesia. Prabowo bahkan mengakhiri pidatonya dengan mengucapkan “Shalom”, sebuah gesture yang menunjukkan komitmennya terhadap perdamaian sejati. Ini bukan hanya diplomasi, tetapi juga keberanian moral untuk mengambil posisi yang benar meski tidak populer di semua kalangan.
Aspek lingkungan dalam pidato Prabowo juga menunjukkan visi Indonesia sebagai negara yang bertanggung jawab terhadap masa depan planet. Ketika ia menyampaikan bahwa “The sea level on the north coast of our capital city is increasing by 5 centimeters every year,” dan Indonesia terpaksa membangun tembok laut sepanjang 480 kilometer, ia tidak sedang mengeluh. Prabowo sedang membagikan realitas yang dihadapi negara kepulauan terbesar di dunia, sekaligus menunjukkan komitmen Indonesia untuk menghadapi perubahan iklim dengan aksi nyata, bukan sekadar retorika.
Komitmen Indonesia terhadap ketahanan pangan global juga patut diapresiasi. “This year, we recorded the highest rice production and grain reserves in our history. We are now self?sufficient in rice and we have exported rice to other nations in need, including providing rice to Palestine,” ungkap Prabowo dengan bangga. Indonesia tidak hanya memikirkan rakyatnya sendiri, tetapi juga bertanggung jawab terhadap kemanusiaan global.
Visi Indonesia menjadi “lumbung dunia” bukanlah mimpi kosong. Dengan komitmen untuk mereforestasi lebih dari 12 juta hektare lahan yang terdegradasi dan peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan, Indonesia menunjukkan bahwa pembangunan berkelanjutan bukan hanya slogan, tetapi program konkret yang sedang dijalankan.
Yang membuat pidato Prabowo begitu berkesan adalah kemampuannya untuk menggabungkan realisme politik dengan idealisme kemanusiaan. Ketika ia mengatakan, “Can we remain silent? Will there be no answer to their screams? Will we teach them that the human family can rise to the challenge?” tentang situasi di Gaza, ia tidak hanya berbicara sebagai negarawan, tetapi sebagai manusia yang masih memiliki nurani.
Momen ketika Prabowo menyampaikan “Two descendants of Abraham must live in reconciliation, peace, and harmony. Arabs, Jews, Muslims, Christians, Hindus, Buddhists, all religions. We must live as one human family,” adalah puncak dari pidato yang penuh makna ini. Ia tidak hanya berbicara tentang solusi dua negara, tetapi tentang visi kemanusiaan yang lebih besar: dunia di mana perbedaan tidak menjadi alasan untuk bermusuhan.
Pidato Prabowo di PBB bukan hanya representasi diplomatik Indonesia, tetapi juga suara hati nurani global yang mulai langka. Di era di mana nuansa politik sering mengalahkan nilai-nilai kemanusiaan, Indonesia hadir dengan suara yang berbeda.
Suara yang lahir dari pengalaman pahit penjajahan, diperkuat oleh kebangkitan ekonomi dan stabilitas politik, serta diwarnai oleh komitmen terhadap keadilan dan perdamaian.
Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo menunjukkan bahwa masih ada tempat untuk idealisme dalam politik internasional. Bahwa sebuah negara bisa menjadi kuat tanpa harus menindas yang lemah, bisa sejahtera tanpa harus merampok yang miskin, dan bisa bermartabat tanpa harus merendahkan yang lain.
Ketika Prabowo mengakhiri pidatonya dengan doa dalam berbagai bahasa dan tradisi, “Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Shalom, Om shanti shanti shanti om. Namo Budaya,” ia tidak hanya menutup sebuah pidato.
Prabowo tidak hanya mengucapkan kata-kata, ia menghadirkan esensi Bhinneka Tunggal Ika di panggung dunia. Setiap salam yang terluncur dari bibirnya adalah jembatan yang menghubungkan peradaban, mengingatkan dunia bahwa di tengah perpecahan global, masih ada tempat di mana perbedaan adalah kekuatan.
Prabowo sedang menanamkan benih harapan bahwa masih ada pemimpin di dunia ini yang percaya pada kekuatan persatuan dalam keragaman, pada kekuatan cinta untuk mengalahkan kebencian, dan pada kekuatan keadilan untuk mengatasi ketidakadilan.
Pidato Prabowo di Markas Besar PBB adalah cerminan Indonesia yang sesungguhnya: negeri yang bangkit dari keterpurukan, yang tidak lupa dari mana ia berasal, dan yang tetap berkomitmen untuk menjadi bagian dari solusi bagi masalah-masalah dunia. Indonesia tidak hanya hadir sebagai penonton dalam panggung global, tetapi sebagai aktor yang membawa perubahan positif.
Dalam dunia yang semakin terpecah belah, suara Indonesia melalui Prabowo adalah pengingat bahwa masih ada jalan lain selain konfrontasi dan dominasi. Masih ada cara untuk menjadi besar tanpa harus mengecilkan yang lain, untuk menjadi kuat tanpa harus melemahkan yang lemah.
Indonesia membuktikan bahwa soft power yang dibangun atas dasar keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian bisa menjadi kekuatan yang lebih dahsyat daripada hard power yang mengandalkan kekerasan dan intimidasi.
Pidato Prabowo bukan hanya momen historis bagi diplomasi Indonesia, tetapi juga kontribusi berharga bagi diskursus global tentang bagaimana seharusnya hubungan antar bangsa dijalankan di abad ke-21.
Ia mengingatkan dunia bahwa dalam setiap konflik, selalu ada jalan damai jika ada kemauan untuk saling memahami dan menghormati. Bahwa dalam setiap perbedaan, selalu ada kesamaan fundamental sebagai sesama manusia yang bisa menjadi jembatan rekonsiliasi.