Catatan Dari Hati

Ketika Perhatian Menjadi Mata Uang: Memahami Fenomena Treatonomics

“The real measure of your wealth is how much you’d be worth if you lost all your money.” – Warren Buffett

Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, sebuah fenomena baru tengah mengakar dalam dalam masyarakat kita. Treatonomics – istilah yang menggambarkan ekonomi berbasis perlakuan khusus dan kebaikan yang telah berkembang menjadi sistem pertukaran nilai tersendiri.

Fenomena ini tidak lagi sekadar tentang memberi dan menerima, tetapi telah berevolusi menjadi mekanisme ekonomi kompleks yang mempengaruhi cara kita berinteraksi, bekerja, dan memandang nilai kehidupan.

Treatonomics, dalam esensinya, adalah sistem ekonomi informal dimana perlakuan baik, perhatian, dan kebaikan menjadi mata uang tersendiri. Berbeda dengan ekonomi konvensional yang mengukur nilai melalui uang dan materi, treatonomics mengukur kekayaan melalui seberapa banyak seseorang mampu memberikan dan menerima perlakuan istimewa.

Dalam konteks Indonesia, fenomena ini semakin terlihat jelas seiring dengan meningkatnya penetrasi digital yang mencapai 79.5% menurut APJII, dimana platform media sosial menjadi arena utama pertukaran “treat” dalam bentuk like, comment, share, dan berbagai bentuk apresiasi digital lainnya.

Kondisi yang kita saksikan saat ini menunjukkan bagaimana treatonomics telah merasuki hampir setiap aspek kehidupan. Di tempat kerja, karyawan tidak lagi hanya mengharapkan gaji yang adil, tetapi juga “treatment” yang baik dari atasan – pengakuan, apresiasi, fleksibilitas, dan perhatian personal.

Menurut data terbaru tentang burnout occupational yang menjadi ancaman terbesar bagi pekerja aktif, hampir 50 tahun penelitian menunjukkan bahwa kualitas perlakuan di tempat kerja menjadi faktor krusial dalam kesehatan mental pekerja.

Dalam relasi personal, treatonomics menciptakan ekspektasi baru dalam hubungan. Pasangan tidak hanya mengharapkan cinta, tetapi juga serangkaian “treat” yang konsisten – perhatian khusus, kejutan, waktu berkualitas, dan validasi emosional. Friendship economy pun berkembang dimana persahabatan dinilai dari seberapa sering teman memberikan dukungan, mendengarkan keluhan, atau memberikan perlakuan istimewa saat dibutuhkan.

Dr. Rachel McCloud dari Harvard T.H. Chan School of Public Health dalam studinya menjelaskan bagaimana media sosial telah mengubah cara kita mencari validasi dan dukungan emosional, dimana penggunaan rutin media sosial berkorelasi positif dengan kesejahteraan sosial, namun juga menciptakan ketergantungan pada apresiasi eksternal. Sementara itu, penelitian terbaru tentang ekonomi perhatian menunjukkan bahwa perhatian manusia telah menjadi komoditas yang sangat berharga, setara dengan emas di era 1800-an.

Yang lebih mengkhawatirkan, treatonomics telah menciptakan ketidakseimbangan sosial yang signifikan. Berdasarkan tren global 2025 yang mencatat adanya penurunan kepercayaan sosial antara individu dan institusi, serta meningkatnya polarisasi sosial dan kesepian, kita menyaksikan bagaimana ekonomi perlakuan ini menciptakan hierarki baru dalam masyarakat.

Mereka yang mampu memberikan “treat” lebih banyak atau berkualitas tinggi mendapat posisi sosial yang lebih tinggi, sementara mereka yang tidak mampu sering kali terpinggirkan.

Profesor dari Cambridge Core dalam studinya tentang etika ekonomi perhatian menegaskan bahwa platform media sosial telah menciptakan masalah adiksi yang sistemik, dimana algoritma dirancang untuk mengeksploitasi kebutuhan dasar manusia akan validasi dan perlakuan khusus.

Para ahli ekonomi perilaku juga menunjukkan bahwa prinsip reciprocity atau timbal balik telah menjadi bias kognitif yang kuat, dimana manusia cenderung membalas perlakuan baik dengan perlakuan serupa, menciptakan siklus ekonomi perlakuan yang terus berputar.

Dampak psikologis dari treatonomics sangat profound. Ketika kebaikan menjadi komoditas, muncul ekspektasi berlebihan terhadap orang lain untuk selalu memberikan perlakuan khusus. Ini menciptakan tekanan sosial yang luar biasa, dimana setiap orang merasa harus selalu “perform” dalam memberikan perhatian dan kebaikan. Akibatnya, banyak orang mengalami kelelahan emosional karena terus-menerus merasa harus memenuhi ekspektasi treatonomics dari lingkungan sekitarnya.

Penelitian dari PMC tentang penggunaan media sosial untuk mencari dukungan dan validasi mengungkapkan bahwa orang sering menggunakan opini orang lain untuk merasa baik tentang diri mereka sendiri, yang dapat memicu perilaku pencarian dukungan berlebihan dan upaya validasi yang tidak sehat. Studi terbaru dalam Journal of Behavioral Economics juga menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti keadilan, kepercayaan, dan reciprocity telah menjadi elemen kunci dalam pengambilan keputusan manusia, jauh melampaui kepentingan ekonomi semata.

Di Indonesia, fenomena ini semakin kompleks dengan konteks budaya kolektif yang kuat. Tradisi gotong royong dan kebersamaan yang seharusnya menjadi kekuatan sosial, kini sering dieksploitasi dalam sistem treatonomics. Orang merasa berhak mendapat perlakuan khusus karena telah berbuat baik sebelumnya, atau sebaliknya, merasa terpaksa memberikan “treat” karena tekanan sosial budaya.

Ekonomi Indonesia yang tumbuh 4.9% pada kuartal pertama 2025 menunjukkan resiliensi yang luar biasa, namun di balik angka pertumbuhan ini, treatonomics menciptakan distorsi nilai yang perlu kita waspadai. Ketika perlakuan baik menjadi komoditas, autentisitas dalam hubungan manusia mulai dipertanyakan.

Untuk mencegah kondisi ini menjadi lebih buruk, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengembalikan kesadaran bahwa kebaikan bukanlah mata uang yang diperdagangkan. Kita perlu mengajarkan kepada generasi muda bahwa memberikan perlakuan baik adalah nilai intrinsik yang tidak mengharapkan balasan serupa. Pendidikan karakter yang menekankan pada kebaikan tanpa pamrih menjadi kunci utama dalam mengatasi treatonomics yang berlebihan.

Kedua, kita perlu membangun batasan yang sehat dalam memberikan dan menerima perlakuan khusus. Tidak semua kebaikan harus dibalas dengan kebaikan serupa, dan tidak semua orang berkewajiban untuk selalu memberikan “treat” kepada orang lain. Kesadaran akan batasan personal ini akan membantu mengurangi tekanan sosial yang berlebihan.

Ketiga, institusi pendidikan, tempat kerja, dan komunitas perlu menciptakan lingkungan yang menghargai kontribusi nyata daripada sekadar perlakuan superficial. Budaya merit-based yang sehat akan mengurangi ketergantungan pada sistem treatonomics dan mendorong pencapaian berdasarkan kemampuan dan kerja keras.

Para ahli dari Oxford Academic dalam penelitian terbaru tentang ekonomi perhatian gelombang kedua menjelaskan bagaimana perhatian telah menjadi mata uang simbolis universal di media sosial dan platform digital lainnya. Mereka menekankan perlunya regulasi dan kesadaran kolektif untuk mencegah eksploitasi sistem ini.

Keempat, kita perlu mengembangkan literasi digital yang lebih baik untuk memahami bagaimana platform media sosial mengeksploitasi kecenderungan treatonomics. Dengan ekonomi digital Indonesia yang diproyeksikan mencapai $130 miliar pada 2025, kesadaran akan manipulasi algoritma yang memancing perilaku treatonomics menjadi sangat penting.

Terakhir, penting bagi kita untuk kembali menghargai relasi manusia yang autentik, dimana kebaikan diberikan karena empati dan kasih sayang, bukan karena ekspektasi untuk mendapat balasan tertentu. Masyarakat yang sehat adalah masyarakat dimana orang memberikan yang terbaik dari diri mereka tanpa menghitung untung rugi dalam ekonomi perlakuan.

Treatonomics bukanlah fenomena yang sepenuhnya negatif. Dalam bentuknya yang sehat, ekonomi perlakuan dapat memperkuat ikatan sosial dan menciptakan lingkungan yang lebih supportif. Namun, ketika berubah menjadi sistem pertukaran yang transaksional, treatonomics dapat merusak autentisitas hubungan manusia dan menciptakan tekanan sosial yang tidak sehat.

Tantangan kita saat ini adalah bagaimana menavigasi era treatonomics dengan bijaksana, memanfaatkan aspek positifnya sambil menghindari jebakan komodifikasi kebaikan. Ini membutuhkan kesadaran kolektif, pendidikan yang tepat, dan komitmen untuk mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan yang autentik di tengah arus perubahan ekonomi dan sosial yang begitu cepat.

“No one has ever become poor by giving.” – Anne Frank

Related Posts
DARI WORKSHOP PENGADAAN BARANG & JASA PTK 007 DI INDUSTRI MIGAS: TKDN, SALAH SATU KEBERPIHAKAN NYATA PADA PRODUK DALAM NEGERI
khirnya saat itu tiba. Sudah lama saya berharap bisa mengikuti training tentang Tender Management Pengadaan Barang dan Jasa sesuai PTK 007 Revisi II yang diselenggarakan atas kerjasama Koperani Bina Petro ...
Posting Terkait
Dibalik Layar Digital : Romantika Editor Media dalam Pusaran Revolusi Informasi – Sebuah Renungan Reflektif dari Ruang Redaksi Silanews.com
iga tahun silam, ketika saya pertama kali "menginjakkan kaki secara virtual" di ruang redaksi silanews.com sebagai bagian dari ekosistem Promedia Technology, dunia jurnalisme masih terasa lebih "tradisional" meski sudah bermigrasi ...
Posting Terkait
Menafsir dan Memaknai Pidato Presiden Prabowo dalam Perspektif Industri Konstruksi
idato Presiden Republik Indonesia dalam Sidang Tahunan MPR, DPR, dan DPD RI pada 15 Agustus 2025 memberi kita gambaran besar tentang arah bangsa di usia 80 tahun kemerdekaan. Dari perspektif ...
Posting Terkait
Akhirnya, buku yang ditunggu-tunggu itu terbit juga! Ya, satu tulisan saya dimuat dalam buku kompilasi tulisan inspiratif karya para penggiat situs Ngerumpi dot com. Buku ini sudah beredar di sejumlah toko ...
Posting Terkait
SELAMAT JALAN SENIOR MARWAN.R.HUSSEIN…
Innalillahi wainnailaihi rojiun turut berdukacita sedalam dalamnya atas wafatnya kakanda Marwan R Hussein Full semoga Almarhum husnul khotimah, diampuni dosa dosanya, diterima amal ibadahnya serta keluarga yg ditinggalkan diberikan ketabahan ...
Posting Terkait
Jejak Purba dalam Riak Peradaban: Gau Maraja Leang-Leang 2025 dan Kebangkitan Identitas Budaya Sulawesi Selatan
i hamparan tanah karst yang menyimpan jejak-jejak purba, Kabupaten Maros kembali menggaungkan suara peradaban yang telah berusia ribuan tahun. Festival Budaya Gau Maraja Leang-Leang 2025 yang digelar pada tanggal 3-5 ...
Posting Terkait
Apa yang paling anda kenang di setiap malam terakhir Bulan Ramadhan? Yang pasti bagi saya, malam itu adalah malam paling mengharukan yang pernah saya lewatkan. Sebuah malam dimana segenap jiwa luruh ...
Posting Terkait
BERKUNJUNG DAN BERDISKUSI DI KANTOR UC WE-MEDIA
uaca di Jakarta terlihat begitu "ramah" saat saya memasuki lobi DBS Bank Tower Ciputra World kawasan Mega Kuningan, Kamis (27/7) siang. Setelah menukar kartu identitas dengan ID Card khusus, saya ...
Posting Terkait
Ketika Piring Harapan Menjadi Luka: Catatan tentang Gelombang Keracunan Anak Akibat Program MBG
Tangisan Nanik S. Deyang, Wakil Kepala Badan Gizi Nasional, pecah di tengah ruang konferensi pers yang hening. Air mata yang tumpah bukan sekadar ungkapan penyesalan pribadi, melainkan cermin dari luka ...
Posting Terkait
Dari Tangan Para Pahlawan: Delapan Dekade Kedaulatan Energi Bangsa
ada pagi hari 27 Oktober 1945, ketika negeri ini baru saja menapaki usia dua bulan kemerdekaan, sekelompok pemuda dan buruh listrik mengambil langkah berani yang kelak mengubah wajah Indonesia. Mereka ...
Posting Terkait
IN MEMORIAM MAKSUM.A.KARAROK : KETEGARAN DAN KONSISTENSI DALAM KESEDERHANAAN
aya tak pernah menduga, pertemuan saya dengannya hari Senin pagi, 13 Februari 2018 silam adalah jumpa terakhir saya dengan, Maksum Achmad Kararok, sahabat seangkatan di Fakultas Teknik Unhas. Malam tadi, ...
Posting Terkait
Momuri: Ketika Martabat Pekerja Membutuhkan Perantara untuk Melepaskan Diri
"Pekerjaan tidak harus menjadi penjara. Ketika seseorang tidak dapat keluar dari pekerjaan yang tidak cocok untuknya, itu adalah tanda sistem yang telah gagal." — Satya Nadella, CEO Microsoft Di tengah hiruk-pikuk ...
Posting Terkait
KEGEMBIRAAN YANG MENYEHATKAN, SPIRIT UTAMA FORNAS 2011
ain Layang-layang adalah salah satu hobi saya dimasa kecil, selain sepakbola dan berenang. Saat masih tinggal di Bone-Bone (sebuah kampung yang berjarak 500 km dari Makassar) dulu , permainan ini ...
Posting Terkait
CINTA POHON DAN UPAYA MENUMBUHKAN KECERDASAN EKOLOGIS
Happy Birthday Pohon Happy Brthday Pohon Happy Birthday, Happy Birthday, Happy Birthday, Pohoooon.. Lucu? Aneh? Tapi inilah sebuah kenyataan yang terjadi,  justru secara mengharukan, dalam perayaan Ulang Tahun Kedua Botanical Garden Kota Jababeka terkait ...
Posting Terkait
Di Balik Layar yang Terang, Luka yang Dalam: Krisis Perundungan Siber
"Di internet, kata-kata memiliki kekuatan untuk menyembuhkan atau melukai. Pilihlah dengan bijak." – Malala Yousafzai Ada sebuah paradoks yang menakutkan di era digital ini. Teknologi yang dirancang untuk menghubungkan manusia justru ...
Posting Terkait
DARI WORKSHOP PENGADAAN BARANG & JASA PTK 007
Dibalik Layar Digital : Romantika Editor Media dalam
Menafsir dan Memaknai Pidato Presiden Prabowo dalam Perspektif
AYO BELI, BUKU “KEROYOKAN” TERBARU SAYA : BERBAGI
SEGERA HADIR! FOREST TALK WITH BLOGGERS DI PEKANBARU
SELAMAT JALAN SENIOR MARWAN.R.HUSSEIN…
Jejak Purba dalam Riak Peradaban: Gau Maraja Leang-Leang
MALAM RAMADHAN TERAKHIR TAHUN INI
BERKUNJUNG DAN BERDISKUSI DI KANTOR UC WE-MEDIA
Ketika Piring Harapan Menjadi Luka: Catatan tentang Gelombang
Dari Tangan Para Pahlawan: Delapan Dekade Kedaulatan Energi
IN MEMORIAM MAKSUM.A.KARAROK : KETEGARAN DAN KONSISTENSI DALAM
Momuri: Ketika Martabat Pekerja Membutuhkan Perantara untuk Melepaskan
KEGEMBIRAAN YANG MENYEHATKAN, SPIRIT UTAMA FORNAS 2011
CINTA POHON DAN UPAYA MENUMBUHKAN KECERDASAN EKOLOGIS
Di Balik Layar yang Terang, Luka yang Dalam:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *