Era Baru Partisipasi Politik: Fenomena Generasi Digital Indonesia
“Demokrasi bukanlah sekadar sistem pemerintahan, melainkan cara hidup yang menghargai martabat setiap individu” – Franklin D. Roosevelt
Di tengah hiruk pikuk demonstrasi yang mengguncang Jakarta pada akhir Agustus 2025, muncul sebuah fenomena yang tak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah demokrasi Indonesia. Tujuh tokoh muda dari berbagai latar belakang berhasil merumuskan “17+8 Tuntutan Rakyat” sebagai dokumen aspiratif yang berisi 25 poin tuntutan kepada pemerintahan dalam waktu hanya tiga jam. Mereka adalah Jerome Polin, Andovi da Lopez, JS Khairen, Cania Citta Fathia Izzat, Abigail Limuria, Cheryl Marella, dan yang paling mencuri perhatian, Salsa Erwina Hutagalung.
Formatnya sederhana, bahasanya lugas, namun getarannya kuat: tarik aparat bersenjata dari pengamanan sipil, hentikan kriminalisasi demonstran, bersihkan DPR, perkuat transparansi partai, tingkatkan akuntabilitas, dan sederet langkah konkret yang bisa diukur oleh siapa pun yang peduli terhadap republik ini. Media arus utama merangkum isi 17+8 beserta tenggat waktunya dan menegaskan bahwa gerakan ini adalah sintesis dari suara warganet, pernyataan 211 organisasi masyarakat sipil yang difasilitasi YLBHI, hingga desakan komunitas akademik dan serikat buruh.
Gerakan ini bermula dari keresahan kolektif masyarakat terhadap berbagai kebijakan kontroversial, terutama terkait kematian pengemudi ojek online Affan Kurniawan serta semua korban kekerasan aparat dalam demonstrasi. Salsa Erwina, seorang aktivis diaspora Indonesia yang kini menetap di Aarhus, Denmark, menjadi katalisator gerakan ini melalui video orasinya yang viral di media sosial. Dengan berani, ia menantang DPR RI dan memberikan ultimatum hingga 5 September 2025 pukul 23.59 WIB.
Setelah ledakan amarah publik, pemerintah berjanji mencabut atau menghentikan sejumlah fasilitas tersebut, termasuk perjalanan dinas ke luar negeri, seraya mengklaim bahwa tunjangan rumah itu hanya berlangsung hingga Oktober 2025. Dengan cepat, respons itu menyusul laporan-laporan yang menyebut kerusuhan meluas, jatuh korban jiwa, dan kerusakan berbagai fasilitas publik.
Dampak ekonomi pun terasa: pada 29 Agustus indeks saham sempat anjlok lebih dari 2% dan rupiah melemah mendekati 1% sebelum sedikit pulih; pada 1 September pasar kembali bergejolak dengan pelemahan lebih dari 3% di pembukaan. Data ini menunjukkan bukan sekadar badai warganet, melainkan badai politik-ekonomi yang nyata
Dari perspektif sosial budaya, fenomena ini menandai evolusi signifikan dalam cara masyarakat Indonesia menyuarakan aspirasinya. Era digital telah mengubah lanskap aktivisme dari yang semula bersifat fisik dan terbatas geografis, menjadi gerakan virtual yang mampu menjangkau jutaan orang dalam hitungan jam.
Influencer yang ikut membagikan unggahan tersebut di antaranya Jerome Polin, Andovi da Lopez, JS Khairen, Cania Citta Fathia Izzat, dan Abigail Limuria, menunjukkan bagaimana kekuatan media sosial dapat mengkonsolidasikan berbagai elemen masyarakat.
Salsa Erwina, dengan latar belakang sebagai mantan mahasiswa berprestasi yang kini berkiprah sebagai profesional di luar negeri, mewakili generasi muda Indonesia yang tidak lagi takut bersuara. Keberaniannya menantang establishment politik menunjukkan pergeseran paradigma dari budaya “asal bapak senang” menuju budaya kritis dan partisipatif.
Mereka menekankan bahwa daftar tuntutan ini merupakan rangkuman suara publik yang muncul dari berbagai kanal, mulai dari gerakan “7 Hari” di Instagram, desakan 211 organisasi, mencerminkan konsolidasi aspirasi lintas platform dan segmen masyarakat.
Secara politik, tuntutan 17+8 ini menjadi ujian pertama bagi pemerintahan Prabowo Subianto. Petisi Reformasi Indonesia di Change.org yang sudah ditandatangani lebih dari 40.000 dukungan menunjukkan legitimasi dan dukungan massif terhadap gerakan ini. Tuntutan-tuntutan yang diajukan mencakup spektrum luas reformasi, mulai dari menghentikan keterlibatan TNI dalam pengamanan sipil, membebaskan seluruh demonstran yang ditahan, hingga menangkap dan mengadili secara transparan para anggota dan komandan yang memerintahkan tindakan kekerasan.
Kekuatan gerakan ini terletak pada kemampuannya mengkonversi kekecewaan publik menjadi agenda politik yang terstruktur. Gerakan “17+8 Tuntutan Rakyat” ini kemudian menjadi bola salju yang membesar, di-mention langsung ke akun-akun resmi Presiden Prabowo dan DPR RI di platform X, menunjukkan bagaimana aktivisme digital dapat memberikan tekanan politik yang nyata terhadap institusi negara.
Dari sisi persepsi publik, respons masyarakat terhadap gerakan ini sangat positif. Netizen ramai memuji daftar Tuntutan Rakyat yang disusun oleh tokoh publik serta influencer. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat menginginkan representasi yang lebih autentik dan berani dalam menyuarakan kepentingan rakyat.
Nama Salsa Erwina begitu menonjol. Ia diaspora muda, kreator @jadidewasa101, yang sebelumnya menantang keras ucapan pejabat dan menginisiasi pengumpulan tuntutan dari jutaan komentar serta kanal Instagram Story bersama rekan-rekan influencer.
Profilnya tak hanya soal jumlah pengikut; pendidikan, rekam jejak, dan posisi profesionalnya membuat kritiknya sulit direduksi sebagai “buzzer” atau “tukang kompor”.
Ia tampil sebagai penghubung: menjahit keluh-kesah dan analisis menjadi daftar kerja yang dapat diuji bersama. Media kredibel memotret perannya—baik sebagai penggagas rangkuman 17+8 maupun sebagai figur yang menuntut perdebatan terbuka tentang etika politik dan akuntabilitas.
Kehadiran tokoh-tokoh muda lain seperti Ferry Irwandi, Jerome Polin, Ge Pamungkas, dan kakak beradik Andovi dan Jovial da Lopez dalam demonstrasi fisik di depan DPR menunjukkan komitmen mereka yang tidak hanya sebatas aktivisme digital.
Namun, gerakan ini juga menghadapi berbagai tantangan. Pertama, tantangan keberlanjutan. Aktivisme digital seringkali bersifat episodik dan mudah padam ketika momentum media sosial bergeser. Bagaimana menjaga solidaritas di antara para inisiator dan pendukungnya? Gerakan ini sangat bergantung pada karisma personal Salsa Erwina dan para influencer lainnya. Apabila ada perpecahan atau isu-isu pribadi yang muncul, hal ini bisa melemahkan gerakan secara keseluruhan
Kedua, tantangan kooptasi politik. Ada risiko gerakan ini dimanfaatkan oleh kelompok politik tertentu untuk kepentingan jangka pendek.
Ketiga, tantangan polarisasi. Framing liar, hoaks, dan doxing bisa mencemari dialog.Andovi da Lopez menegaskan aksi hari ini maupun yang sebelumnya menurutnya berlangsung kondusif dan menolak keras label mahasiswa dan elemen sipil yang turun ke jalan bersikap anarkis, menunjukkan adanya upaya untuk mempertahankan narasi positif gerakan.
Keempat, tantangan dari sistem politik yang resisten. DPR dan pihak-pihak terkait mungkin akan mencoba meredam atau mengakomodasi tuntutan ini dengan janji-janji manis tanpa substansi. Mereka bisa menggunakan taktik-taktik klasik untuk memecah belah atau mengalihkan isu.
Kelima, kelelahan gerakan: tanpa infrastruktur advokasi yang rapi, energi publik akan mudah surut. Keenam, risiko keamanan: kekhawatiran eskalasi bentrokan aparat versus massa dapat menimbulkan tragedi baru.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, diperlukan strategi yang matang. Pertama, institutionalisasi gerakan melalui pembentukan organisasi permanen yang dapat memantau implementasi tuntutan atau melakukan transformasi gerakan menjadi sebuah entitas yang lebih terstruktur. Bukan dalam artian menjadi partai politik, tetapi memiliki tim yang solid untuk riset, advokasi, dan komunikasi publik. Termasuk, membangun aliansi strategis dengan berbagai elemen masyarakat sipil, akademisi, dan media yang kredibel. Kredibilitas dari pihak-pihak ini akan memperkuat legitimasi tuntutan 17+8.
Kedua, diversifikasi platform dan metode penyampaian aspirasi, tidak hanya mengandalkan media sosial. Ketiga, membangun koalisi lintas generasi dan segmen masyarakat untuk memperkuat legitimasi gerakan.
Prospek masa depan gerakan 17+8 sangat tergantung pada respons pemerintah dan kemampuan inisiator untuk mempertahankan momentum. Jika pemerintah responsif dan menindaklanjuti tuntutan secara serius, gerakan ini bisa menjadi model baru partisipasi demokratis di Indonesia. Sebaliknya, jika diabaikan, gerakan ini berisiko menjadi preseden buruk bagi aktivisme digital di masa depan.
Gerakan 17+8 adalah bentuk “gotong royong digital”: kebiasaan lama kita yang berpindah medium. Jika dulu aspirasi dirumuskan dalam rapat kampung atau balai RW, kini ia lahir dari sirkuit komentar, utas, dan siaran langsung.
Tetap ada bahaya misinformasi dan mobilisasi liar, tetapi ketika tuntutan dikurasi, diberi tenggat, dan dilabeli siapa melakukan apa, publik memiliki peta yang lebih jelas ketimbang sekadar slogan.
Inilah mengapa 17+8 terasa istimewa: ia menolak abstraksi. Ada tugas presiden, ada tugas DPR, ada tenggat satu minggu dan satu tahun, semuanya bisa ditagih. Dan ketika sebagian isi 17+8 selaras dengan desakan 211 organisasi sipil yang selama ini bekerja di akar rumput, legitimasi sosialnya bertambah.
Yang paling menarik dari fenomena ini adalah munculnya figur seperti Salsa Erwina yang berani mengambil risiko personal untuk kepentingan publik. Di usianya yang masih muda, ia telah menunjukkan kepemimpinan yang jarang ditemukan dalam politik konvensional Indonesia.
Keberaniannya melawan stigma dan tekanan, serta kemampuannya mengartikurasikan aspirasi rakyat dengan bahasa yang sederhana namun kuat, membuatnya menjadi simbol generasi baru Indonesia.
Dari persepsi publik, kejelasan angka dan gestur empati adalah mata uang kepercayaan. Publik membaca bahwa DPR beranggotakan 580 orang dan masing-masing digelontor tunjangan besar; publik juga membaca jumlah korban, penahanan massal, kerusakan, dan dampaknya pada dompet mereka lewat bursa dan nilai tukar.
Gerakan 17+8 memberi contoh bagaimana data, tenggat, dan akuntabilitas bisa dirangkai agar awam sekalipun paham cara menagih janji.
Dari kacamata politik, Gerakan 17+8 adalah “stress test” bagi institusi. Pemerintah telah mengumumkan langkah korektif atas fasilitas DPR, namun publik menilai akar masalah belum tersentuh: oligarki, akuntabilitas, dan integritas partai.
Di satu sisi, respons cepat bisa mendinginkan suhu; di sisi lain, label “teror” pada sebagian massa dan pengerahan aparat berlebihan rawan memperlebar jarak negara-rakyat. Ketika mahasiswa dan jaringan sipil menunda aksi karena eskalasi keamanan, itu pertanda bahwa kanal dialog formal harus segera dibuka, bukan sekadar konferensi pers, melainkan mekanisme audit kebijakan, hak menyatakan pendapat tanpa intimidasi, serta jalur pengaduan yang transparan.
Gerakan tuntutan 17+8 menandai pergeseran dari politik representasi menuju politik partisipasi langsung. Masyarakat tidak lagi puas hanya dengan memberikan suara setiap lima tahun, tetapi menuntut keterlibatan aktif dalam proses pengambilan keputusan.
Ini adalah evolusi alami dari demokrasi yang sehat, di mana rakyat tidak hanya menjadi objek kebijakan, tetapi subjek aktif yang menentukan arah bangsa.
Dalam konteks global, gerakan ini sejalan dengan tren demokratisasi digital yang terjadi di berbagai negara. Namun, yang membedakan gerakan Indonesia adalah kemampuannya mengkonsolidasikan aspirasi lintas platform dan segmen dalam waktu yang sangat singkat, serta keberanian para tokoh muda untuk tampil di garis depan dengan identitas yang jelas.
Gerakan ini bisa menjadi katalisator bagi reformasi besar-besaran, memaksa para elite politik untuk mendengarkan dan bertindak. Tentu, tidak ada jaminan bahwa semua tuntutan akan terpenuhi dalam semalam. Namun, yang terpenting adalah perubahan cara berpikir dan berinteraksi antara rakyat dan penguasa. Di masa depan, kita akan melihat lebih banyak lagi tokoh-tokoh dari luar struktur politik yang berani mengambil peran sentral dalam isu-isu nasional.
Revolusi digital telah memecahkan monopoli informasi dan narasi, dan ini adalah langkah maju yang monumental. Salsa Erwina mungkin hanya satu nama, tetapi ia adalah representasi dari ribuan, bahkan jutaan pemuda yang tak lagi mau diam.
Momentum ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk memperkuat fondasi demokrasi Indonesia. Generasi muda telah menunjukkan bahwa mereka siap memikul tanggung jawab untuk masa depan bangsa.
Yang dibutuhkan sekarang adalah dukungan dari semua elemen masyarakat dan political will dari pemerintah untuk merespons aspirasi ini secara konstruktif.
“Perubahan tidak akan datang jika kita menunggu orang lain atau waktu yang lain. Kita adalah orang yang kita tunggu. Kita adalah perubahan yang kita cari” – Barack Obama












