Catatan Dari Hati

Kala Lukisan Bunga Menjadi Panggung Kekerasan: Narasi Kehilangan di Tengah Deru Massa

“Kebudayaan adalah buah budi manusia yang hasilnya adalah untuk menciptakan kehidupan, yakni mengatur supaya kehidupan manusia menjadi teratur, aman, tenteram, indah dan sejahtera.”Ki Hadjar Dewantara

Dalam gemuruh hiruk pikuk kehidupan modern yang sarat dengan materialisme, sebuah curahan hati di Instagram dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada Rabu (3/9/2025) menghadirkan refleksi mendalam tentang kondisi sosial budaya bangsa kita.

Curhat yang menyentuh ini bukan sekadar keluh kesah seorang pejabat yang rumahnya dijarah, melainkan cermin retak yang memperlihatkan betapa rapuhnya nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat kita.

Curahan hatinya menjadi refleksi mendalam, bahwa bukan hanya lukisan yang dilenyapkan, melainkan juga citra negeri yang dalam hatinya dibangun melalui kontemplasi, cinta, dan masa kecil penuh tawa.

Sri Mulyani menceritakan bagaimana lukisan bunga yang ia buat sendiri 17 tahun lalu, sebuah karya yang merupakan hasil dan simbol perenungan serta kontemplasi diri yang sangat pribadi, dijarah dari rumahnya di Mandar Bintaro, Tangerang Selatan pada Minggu (31/8/2025) dini hari sekitar pukul 01.40 WIB.

Namun di balik kehilangan materi ini, tersimpan makna yang jauh lebih dalam tentang bagaimana sebuah bangsa memperlakukan warisan budaya dan nilai-nilai kemanusiaan.

Lukisan bunga itu bukan sekadar kanvas berwarna. Bagi Sri Mulyani, karya tersebut adalah manifestasi dari perjalanan spiritual dan intelektual seorang perempuan yang telah mengabdikan hidupnya untuk negeri.

Lukisan yang dibuatnya 17 tahun lalu itu seperti rumah tempat anak-anaknya tumbuh, bermain, dan menyimpan kenangan tak ternilai. Dalam perspektif antropologi budaya, objek-objek personal semacam ini merupakan “culture bearers” : pembawa budaya yang menghubungkan individu dengan sejarah personalnya sekaligus menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan.

Dalam masyarakat yang tengah mencari resiliensi budaya, kehilangan simbol seperti ini mengguncang sensitivitas kita terhadap kebangsaan, terhadap rasa memiliki, dan terhadap tanggung jawab bersama untuk menjaga warisan kehidupan.

Ironisnya, bagi para penjarah, lukisan bunga tersebut hanya bernilai uang. Reduksi nilai seni menjadi sekadar angka rupiah ini mencerminkan fenomena yang lebih luas dalam masyarakat kita: hilangnya apresiasi terhadap nilai-nilai intangible seperti seni, budaya, dan memori kolektif. Dalam konteks sosiologi Pierre Bourdieu, hal ini menunjukkan bagaimana “cultural capital” – modal budaya – tidak lagi dihargai dan dipahami oleh sebagian masyarakat.

Data statistik kriminalitas menunjukkan realitas yang mengkhawatirkan. Indonesia duduk di urutan kedua ASEAN sekaligus ke-20 global sebagai negara dengan skor kriminalitas tertinggi, di angka 6,85 pada 2024. Sementara tingkat kriminalitas di Indonesia pada April 2024 mencapai 25 ribu kasus per bulan, menunjukkan betapa kompleksnya tantangan keamanan yang dihadapi bangsa ini.

Menurut laporan Wikipedia, dari sekitar 430 museum di Indonesia, hanya 30% yang masuk kategori museum tipe A dengan manajemen, pendanaan, dan jaringan baik; sisanya banyak memiliki isu pengamanan dan pengelolaan serius.

Sejak 1961 hingga 2025, kasus pencurian koleksi seni dan benda bersejarah terjadi berulang kali, termasuk pelanggaran besar seperti Museum Sonobudoyo kehilangan puluhan artefak emas hingga kini belum kembali.

Bahkan di tahun 2022, 95 % koleksi Museum Lapawawoi dalam bentuk benda pusaka kebudayaan Bone hilang dicuri. Dalam situasi ini, apa makna sebuah lukisan bunga milik figur nasional? Ia bukan hanya objek seni, melainkan simbol kerentanan budaya dan kebutuhan kolektif untuk menjaga kemanusiaan bersama.

Namun yang terjadi pada rumah Sri Mulyani bukan sekadar statistik kriminalitas biasa. Melihat lukisan itu digotong massa, Sri Mulyani sangat patah hati, dan ini adalah respons yang sangat manusiawi terhadap kehilangan sesuatu yang memiliki nilai sentimental tinggi.

“Lukisan bunga itu telah raib, lenyap seperti lenyapnya rasa aman, rasa kepastian hukum, dan rasa perikemanusiaan yang adil dan beradab di bumi Indonesia,” ungkapnya dengan penuh makna.

Pernyataan ini melampaui urusan personal dan menyentuh isu fundamental tentang kondisi sosial budaya kita. Ketika Sri Mulyani mengatakan bahwa lukisan tersebut lenyap bersama dengan rasa aman dan perikemanusiaan, dia sebenarnya sedang melakukan diagnosis sosial yang mendalam. Dalam teori Emil Durkheim tentang solidaritas sosial, ketika norma-norma dasar masyarakat mulai runtuh, maka yang terjadi adalah anomie – kondisi tanpa aturan yang membahayakan tatanan sosial.

Media berperan ganda: di satu sisi mereka memberitakan, menyebarkan, dan mengusik—mempersonifikasi penjarahan sebagai tontonan. Di sisi lain, media memiliki kekuatan untuk menyulut kesadaran, membangun solidaritas, dan menjadi agen transformasi.

Ketika penjarah itu diwawancarai “ dapat barang apa mas?”maka media membiarkannya dianggap biasa. Seharusnya, media menjadi penjaga nilai peradaban: menyoroti kejahatan bukan sebagai wacana hiburan, tetapi sebagai alarm kolektif bahwa kita beralih ke liang kemarahan budaya dan hilangnya rasa hormat.

Media sosial telah mengubah cara kita memandang dan merespons tragedi. Liputan penjarahan dimuat di media sosial dan dibagikan secara sensasional, menimbulkan histeria intimidatif yang kejam.

Fenomena ini mengingatkan kita pada konsep “society of the spectacle” dari Guy Debord, di mana realitas sosial telah berubah menjadi tontonan yang dikonsumsi publik tanpa refleksi mendalam.

Dalam konteks budaya Jawa yang menjunjung tinggi nilai-nilai keharmonisan dan tenggang rasa, peristiwa penjarahan ini merupakan antitesis dari filosofi “tepa slira” – kemampuan untuk menempatkan diri di posisi orang lain.

Para penjarah tampaknya telah kehilangan empati dasar yang seharusnya menjadi fondasi kehidupan bermasyarakat. Mereka tidak mampu memahami bahwa di balik setiap objek material terdapat cerita, kenangan, dan makna yang tidak bisa diukur dengan uang.

Aspek gender juga tidak bisa diabaikan dalam analisis ini. Sri Mulyani, sebagai perempuan yang telah memecahkan banyak stereotip dalam dunia politik dan ekonomi Indonesia, menghadapi viktimisasi yang berdimensi ganda.

Rumahnya – yang secara simbolis merepresentasikan ruang privat dan keamanan domestik perempuan – diinvasi dan dijarah. Ini bukan hanya serangan terhadap properti, melainkan juga pelanggaran terhadap ruang aman yang sangat penting bagi perempuan.

Lukisan bunga yang diciptakan Sri Mulyani 17 tahun lalu dapat dipandang sebagai metafor yang kuat tentang pertumbuhan, keindahan, dan ketahanan. Bunga, dalam berbagai tradisi budaya, melambangkan kehidupan yang rapuh namun indah, yang membutuhkan perawatan dan penghargaan.

Ketika lukisan tersebut dijarah, secara simbolis hal itu merepresentasikan bagaimana masyarakat kita memperlakukan keindahan dan nilai-nilai luhur: dengan kasar dan tanpa penghargaan.

Untuk mencegah terulangnya tragedi semacam ini, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai elemen masyarakat.

Pertama, penguatan pendidikan karakter yang menekankan pada nilai-nilai empati, menghormati hak orang lain, dan apresiasi terhadap seni dan budaya. Pendidikan tidak boleh hanya fokus pada aspek kognitif, tetapi juga harus mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual.

Kedua, revitalisasi nilai-nilai budaya lokal yang menekankan gotong royong positif, bukan gotong royong destruktif seperti yang terjadi dalam penjarahan massal. Konsep “gotong royong” yang seharusnya menjadi kekuatan konstruktif telah terdistorsi menjadi tindakan kolektif yang merusak.

Ketiga, penguatan sistem hukum yang tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memberikan pemahaman tentang dampak psikologis dan sosial dari tindakan kriminal. Restorative justice dapat menjadi alternatif yang memungkinkan pelaku memahami konsekuensi tindakan mereka terhadap korban dan masyarakat.

Keempat, peran media massa dan media sosial harus lebih bertanggung jawab dalam menyajikan berita. Alih-alih menciptakan sensasi yang dapat memicu copycat crime, media seharusnya fokus pada edukasi dan pembangunan kesadaran kolektif tentang pentingnya menghormati hak dan properti orang lain.

Kelima, komunitas lokal perlu diperkuat perannya sebagai sistem kontrol sosial. Warga sekitar mengaku terkejut melihat kerumunan yang datang silih berganti dengan jumlah besar, menunjukkan bahwa sistem pengawasan masyarakat masih lemah. Perlu ada mekanisme early warning system yang melibatkan seluruh elemen masyarakat.

Keenam, Indonesia bisa menjadikan momen ini sebagai momentum membangun sistem reporting kolektif: apabila barang berharga pribadi atau publik dihilangkan, tidak hanya dilaporkan ke polisi, tetapi diunggah ke jaringan nasional—seperti sistem mirip “Art Loss Register” global—sehingga mempersulit pemasaran barang curian dan membantu pelacakan, terutama untuk karya seni atau artefak budaya.

Tragedi penjarahan rumah Sri Mulyani bukanlah peristiwa terisolasi. Ia adalah symptom dari penyakit sosial yang lebih besar: degradasi nilai-nilai kemanusiaan, melemahnya solidaritas sosial, dan menguatnya individualisme destruktif.

Ketika seseorang bisa dengan tenang mengambil lukisan bunga dari rumah orang lain tanpa merasa bersalah, itu menandakan bahwa sesuatu yang fundamental telah rusak dalam jiwa kolektif bangsa kita.

Namun di tengah kesedihan ini, ada pesan harapan yang kuat. Respons empati dan solidaritas dari berbagai kalangan masyarakat yang mengutuk tindakan penjarahan menunjukkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan belum sepenuhnya mati. Masih ada hati nurani kolektif yang bergetar ketika melihat ketidakadilan terjadi.

Lukisan bunga Sri Mulyani yang hilang itu, dalam makna yang lebih luas, mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga dan menghargai hal-hal yang tampak sederhana namun memiliki nilai mendalam. Setiap karya seni, setiap kenangan, setiap objek personal memiliki cerita yang tidak bisa digantikan dengan materi apa pun.

Sebagai bangsa yang memiliki kekayaan budaya dan nilai-nilai luhur, kita tidak boleh membiarkan degradasi moral ini terus berlanjut. Saatnya untuk kembali kepada akar budaya kita yang menekankan pada hormat-menghormati, gotong royong positif, dan penghargaan terhadap keindahan dalam segala bentuknya.

Lukisan bunga yang hilang itu akan selamanya menjadi pengingat bagi kita semua: bahwa kemanusiaan sejati tidak diukur dari seberapa banyak yang bisa kita ambil, tetapi dari seberapa banyak yang bisa kita berikan dan lindungi.

Dalam setiap goresan kuas yang telah lenyap, terdapat pelajaran berharga tentang bagaimana seharusnya kita memperlakukan satu sama lain – dengan hormat, empati, dan penghargaan yang tulus.

Mari kita menjadikan rasa kehilangan ini sebagai pembangkit: agar media menjadi pengawal kebajikan, masyarakat menjadi penjaga memori, dan lembaga negara menjadi pelindung warisan, sehingga tak seorang pun lagi kehilangan “rumah dalam kanvas” tanpa suara, tanpa perlawanan, tanpa harapan. 

Related Posts
Ketika Krisis Menghantam: Strategi Cerdas Mengoptimalkan Pengadaan Konstruksi EPC di Era Ketidakpastian Ekonomi Global
Pengadaan konstruksi dalam proyek Engineering, Procurement, and Construction (EPC) merupakan aspek krusial yang menentukan keberhasilan sebuah proyek infrastruktur maupun industri. Namun, dalam kondisi krisis ekonomi global yang tengah berlangsung, pengadaan ...
Posting Terkait
TEMPAT BELI BARANG HOBI YANG LENGKAP DAN MURAH
Sumber foto Selain pergi berlibur, melakukan hal-hal yang kita sukai (hobi) adalah cara untuk mengurangi stres. Bagi kita yang hidup di zaman modern ini, stres adalah sesuatu yang akrab dan sering ...
Posting Terkait
Kawan-kawan, Dibawah ini, saya akan menyajikan semacam "kaleidoskop" atau napak tilas perjalanan saya sepanjang melaksanakan aktifitas blogging sepanjang tahun 2009. Sekedar sebuah dokumentasi yang mudah-mudahan tidak sekedar untuk dikenang-kenang tapi juga ...
Posting Terkait
Dari Rel ke Harapan: Kiprah Konstruksi Indonesia Membangun Perkeretaapian Nusantara
"Kereta api adalah simbol kemajuan peradaban. Ia menghubungkan desa dengan kota, mimpi dengan kenyataan." - Henry David Thoreau Setiap dentang roda kereta yang melintasi rel baja, sebenarnya berbisik tentang cerita panjang ...
Posting Terkait
KEGEMBIRAAN YANG MENYEHATKAN, SPIRIT UTAMA FORNAS 2011
ain Layang-layang adalah salah satu hobi saya dimasa kecil, selain sepakbola dan berenang. Saat masih tinggal di Bone-Bone (sebuah kampung yang berjarak 500 km dari Makassar) dulu , permainan ini ...
Posting Terkait
Dua Pilar Energi Indonesia Bersinar di Kancah Global: Refleksi Pencapaian PLN dan Pertamina
i balik hiruk pikuk Jakarta yang tak pernah sunyi, sebuah keajaiban ekonomi sedang terukir dengan tangan-tangan pekerja yang tak kenal lelah. Pada tahun 2025 ini, dunia menyaksikan pencapaian bersejarah yang ...
Posting Terkait
SELAMAT DATANG BLOG ULAS FILM !
epat tanggal 1 November 2016, saya meluncurkan blog baru di alamat http://ulasfilm.id. Ini adalah blog perdana saya berdomain .id, sebagai salah satu komitmen untuk menggunakan domain website Indonesia untuk menyebarkan ...
Posting Terkait
AMPROKAN BLOGGER 2010 (8) : TEGAKKAN KOMITMEN UNTUK E-GOVERNMENT
Seusai Makan Siang dan Sholat Ashar, Acara Seminar sesi kedua Amprokan Blogger 2010 Minggu (7/3) dilanjutkan kembali. Sebelum memasuki acara inti, lebih dulu diperkenalkan gerakan SEBUAI (Sejuta Buku untuk Anak ...
Posting Terkait
DEMO BURUH BEKASI, LUMPUHKAN KAWASAN CIKARANG & CIBITUNG
Apa yang saya khawatirkan itu terjadi. asca pernyataan Sofyan Wanandi, sebagaimana yang dikutip oleh Dakta FM online yang sempat memicu kemarahan Buruh di Bekasi menjadi pangkalnya. Dalam situs tersebut disebutkan, Ketua Umum ...
Posting Terkait
Mengikuti Program “Immunotherapy by Dr.Terawan” di Nindya Karya
Dalam rangka memperingati HUT ke 65 PT.Nindya Karya, digelar kegiatan "Sosialisasi Program Asta Cita Presiden RI di Bidang Kesehatan" yang dirangkaikan dengan Program "Immunotherapy by Dr.Terawan" khusus bagi pejabat setingkat ...
Posting Terkait
CATATAN DARI PELUNCURAN NOKIA N97
Selasa Malam (9/6), bertempat di Café Poste East Building Kawasan Lingkar Mega Kuningan Jakarta Selatan, saya diundang atas nama salah satu Blogger di Asia Blogging Network (ABN) ,untuk menghadiri Exclusive ...
Posting Terkait
FREDDIE TAMAELA DAN KENANGAN YANG IKUT “BERLARI” BESERTANYA
Bagi anda yang mungkin hidup se"zaman" dengan saya pasti tak asing lagi dengan sosok (alm)Freddy Tamaela, penyanyi asal Ambon, Vokalis Cockpit Band yang oleh banyak kalangan dijuluki sebagai "Phil Collins"-nya ...
Posting Terkait
Merah Putih dan Jolly Roger: Dialektika Simbol dalam Ruang Demokrasi Indonesia
enjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-80, sebuah fenomena unik mencuri perhatian publik. Di berbagai sudut negeri, bendera bajak laut Topi Jerami dari serial anime One Piece ramai dikibarkan, tersebar ...
Posting Terkait
NARASI KERESAHAN YANG LUGAS DAN PUITIS ALA LINDA DJALIL
Judul Buku : Cintaku Lewat Kripik Balado Penulis : Linda Djalil Prolog : Putu Wijaya Epilog : Jodhi Yudono Penerbit : Penerbit Buku Kompas , Juni 2011 Halaman : xii + 244 Halaman Ukuran : 14 ...
Posting Terkait
Keniscayaan Transformasi Digital untuk Kehandalan Rantai Pasok Nasional – Catatan Ringan dari Supply Chain Manager Summit 2025
Dalam presentasinya yang memukau di ajang Supply Chain Manager Summit 2025, hari Sabtu (21/6) di Hotel HARRIS Kelapa Gading yang diselenggarakan oleh "Bincang Supply Chain Community", Franklin Kurniawan, CEO OPEX ...
Posting Terkait
Dilema Pertambangan Nikel di Surga Bahari Raja Ampat: Antara Kepentingan Ekonomi dan Kelestarian Lingkungan
Di ujung barat laut Papua, Indonesia, terbentang sebuah kepulauan yang dikenal sebagai "surga terakhir dunia" - Raja Ampat. Kawasan ini menyimpan kekayaan hayati laut yang tak tergantikan, dengan terumbu karang ...
Posting Terkait
Ketika Krisis Menghantam: Strategi Cerdas Mengoptimalkan Pengadaan Konstruksi
TEMPAT BELI BARANG HOBI YANG LENGKAP DAN MURAH
MY BLOGGING KALEIDOSKOP 2009
Dari Rel ke Harapan: Kiprah Konstruksi Indonesia Membangun
KEGEMBIRAAN YANG MENYEHATKAN, SPIRIT UTAMA FORNAS 2011
Dua Pilar Energi Indonesia Bersinar di Kancah Global:
SELAMAT DATANG BLOG ULAS FILM !
AMPROKAN BLOGGER 2010 (8) : TEGAKKAN KOMITMEN UNTUK
DEMO BURUH BEKASI, LUMPUHKAN KAWASAN CIKARANG & CIBITUNG
Mengikuti Program “Immunotherapy by Dr.Terawan” di Nindya Karya
CATATAN DARI PELUNCURAN NOKIA N97
FREDDIE TAMAELA DAN KENANGAN YANG IKUT “BERLARI” BESERTANYA
Merah Putih dan Jolly Roger: Dialektika Simbol dalam
NARASI KERESAHAN YANG LUGAS DAN PUITIS ALA LINDA
Keniscayaan Transformasi Digital untuk Kehandalan Rantai Pasok Nasional
Dilema Pertambangan Nikel di Surga Bahari Raja Ampat:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *