Dari Tuntutan ke Tindakan: Respons DPR terhadap Suara 17+8 yang Menggelegar
“Ketika orang-orang sudah tidak bisa lagi berbicara dengan kata-kata, mereka berbicara dengan tindakan.” – Malala Yousafzai
Kamis, 4 September 2025, akan tercatat sebagai salah satu hari bersejarah dalam dinamika hubungan antara wakil rakyat dan konstituennya di Indonesia. Di ruang rapat yang biasanya dipenuhi perdebatan internal, para pimpinan DPR RI dan seluruh pimpinan fraksi partai politik duduk merumuskan respons terhadap gelombang tuntutan yang telah mengguncang panggung politik nasional: 17+8 Tuntutan Rakyat.
Tuntutan yang diinisiasi oleh 211 organisasi masyarakat sipil ini bukan sekadar kemarahan sesaat. Ia adalah kristalisasi dari akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap berbagai kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Dari YLBHI hingga PSHK, dari mahasiswa hingga aktivis, suara-suara ini bersatu dalam satu narasi besar: saatnya parlemen menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat yang diwakilinya.
Hasil rapat bersejarah tersebut menghadirkan enam keputusan strategis yang langsung diimplementasikan. Penghentian tunjangan perumahan bagi 575 anggota DPR RI terhitung sejak 31 Agustus 2025 menjadi keputusan paling mencolok.
Bayangkan, dalam satu keputusan, parlemen melepaskan privilese yang selama ini menjadi kontroversi publik. Tunjangan yang mencakup biaya listrik, telepon, komunikasi intensif, dan berbagai fasilitas perumahan lainnya kini dihentikan untuk menunjukkan solidaritas dengan kondisi ekonomi rakyat.
Moratorium kunjungan kerja ke luar negeri yang diberlakukan mulai 1 September 2025, kecuali untuk undangan kenegaraan, menandai perubahan paradigma dalam pelaksanaan fungsi legislatif. Keputusan ini merespons kritik keras masyarakat terhadap maraknya perjalanan dinas yang dinilai tidak produktif dan pemborosan anggaran negara. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menegaskan bahwa keputusan ini merupakan bentuk keseriusan parlemen dalam mendengarkan suara rakyat.
Namun, pertanyaan kritis yang mengemuka adalah: apakah langkah-langkah ini sudah cukup memenuhi esensi dari 17+8 tuntutan rakyat? Jika kita telaah secara mendalam, 17 tuntutan dengan tenggat 5 September 2025 dan 8 tuntutan jangka panjang hingga 31 Agustus 2026 mencakup spektrum yang jauh lebih luas daripada sekadar pemangkasan tunjangan parlemen.
Tuntutan pembebasan demonstran yang ditahan, penghentian kekerasan aparat, transparansi anggaran, hingga penundaan kenaikan harga BBM dan listrik adalah isu-isu struktural yang membutuhkan komitmen politik jangka panjang.
Pemangkasan tunjangan DPR, meski simbolis dan penting, hanya menyentuh satu aspek dari tuntutan yang lebih komprehensif tentang reformasi tata kelola pemerintahan dan keadilan sosial.
Mengapa respons DPR , walau nyata, belum cukup bagi sebagian besar masyarakat? Karena tuntutan 17+8 bersifat multi-layer: ada tuntutan yang bersifat administratif dan fiskal (seperti pemangkasan tunjangan) yang bisa diputuskan relatif cepat, namun ada juga tuntutan yang menyentuh akar kelembagaan dan penegakan hukum yang memerlukan proses panjang, audit independen, perubahan undang-undang, dan akuntabilitas penegak hukum.
Rakyat menuntut tidak sekadar penghematan anggaran atau gestur simbolik, melainkan pengembalian rasa keadilan, penegakan hukum tanpa pilih kasih, dan jaminan bahwa korban serta keluarganya mendapatkan keadilan.
Tuntutan ini menuntut bukti: tindakan kolektif yang bersifat struktural, bukan hanya potongan anggaran yang bisa diatur ulang atau diganti lewat pos lain
Jika hasilnya tak sesuai harapan , jika janji-janji itu berhenti pada pengumuman dan tidak diikuti dengan kebijakan nyata, audit publik, atau perbaikan hukum maka risiko yang muncul bukan sekadar kekecewaan.
Akan ada penurunan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif, radikalisasi wacana publik, dan kemungkinan meningkatnya mobilisasi massa yang lebih luas dan terus-menerus.
Ketika institusi merespons dengan langkah simbolis tanpa transparansi pelaksanaan, desakan baru akan muncul, dan legitimasi politik yang rapuh bisa berubah menjadi krisis institusional.
Namun, jika pemangkasan itu diikuti dengan peta jalan yang jelas , misalnya audit pos-pos anggaran, publikasi hasil evaluasi, dan mekanisme pengawasan rakyat terhadap realisasi keputusan , maka langkah awal itu bisa menjadi titik tolak reformasi yang lebih dalam
Dari perspektif kuantitatif, penghentian tunjangan perumahan untuk 575 anggota DPR berpotensi menghemat anggaran negara dalam jumlah signifikan. Dengan asumsi rata-rata tunjangan perumahan sekitar Rp 15 juta per bulan per anggota, penghematan tahunan bisa mencapai lebih dari Rp 100 miliar. Angka ini memang tidak sebesar total anggaran DPR yang mencapai triliunan rupiah, namun secara simbolis menunjukkan komitmen untuk efisiensi anggaran.
Keputusan untuk menghentikan pemberian gaji bagi anggota yang sedang nonaktif juga merupakan langkah progresif.
Namun, tantangan sebenarnya bukan hanya pada pemangkasan anggaran, melainkan pada transformasi fundamental cara kerja dan orientasi parlemen. Masyarakat tidak hanya menuntut pengurangan tunjangan, tetapi juga peningkatan kualitas legislasi, pengawasan yang lebih efektif terhadap eksekutif, dan representasi aspirasi rakyat yang lebih autentik.
Jika kita melihat respons masyarakat, penerimaan terhadap langkah-langkah DPR ini beragam. Sebagian menilai positif sebagai langkah awal yang baik, sementara sebagian lain menganggapnya masih jauh dari cukup.
Pertanyaan yang menggantung adalah: apa yang akan terjadi jika respons DPR ini tidak memenuhi ekspektasi masyarakat? Sejarah menunjukkan bahwa ketika aspirasi rakyat tidak tersalurkan dengan baik melalui jalur institusional, energi sosial akan mencari jalan keluar lain. Gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil yang sudah terorganisir dengan baik dalam kampanye 17+8 ini memiliki kapasitas untuk melancarkan tekanan politik yang berkelanjutan.
Momentum ini sesungguhnya adalah peluang emas bagi DPR untuk melakukan transformasi yang lebih fundamental. Bukan hanya soal pemangkasan anggaran, tetapi juga peningkatan kualitas kinerja, transparansi proses legislasi, dan keterbukaan terhadap partisipasi publik. DPR bisa menggunakan momentum ini untuk membangun sistem parlemen yang lebih modern, akuntabel, dan responsif terhadap kebutuhan zaman.
Dalam konteks yang lebih luas, respons DPR terhadap tuntutan 17+8 ini juga mencerminkan dinamika demokrasi Indonesia yang semakin matang. Masyarakat tidak lagi pasif menerima kebijakan yang tidak sesuai dengan aspirasi mereka.
Mereka memiliki kemampuan untuk mengorganisir diri, merumuskan tuntutan yang sistematis, dan menekan institusi-institusi politik untuk lebih responsif.
Langkah selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah implementasi konsisten dari keputusan-keputusan yang telah diambil. Masyarakat akan terus mengawasi apakah komitmen yang diucapkan akan diterjemahkan dalam tindakan nyata.
Transparansi dalam pelaporan penghematan anggaran, konsistensi dalam penerapan moratorium kunjungan kerja, dan keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan akan menjadi indikator penting keberhasilan inisiatif ini.
Momentum 17+8 juga membuka ruang untuk dialog yang lebih konstruktif antara parlemen dan masyarakat. Alih-alih melihat tuntutan sebagai ancaman, DPR bisa memanfaatkannya sebagai masukan berharga untuk perbaikan internal. Keterlibatan masyarakat yang lebih aktif dalam proses legislasi dan pengawasan parlemen justru akan memperkuat legitimasi demokrasi.
Ke depan, keberlanjutan momentum ini akan sangat bergantung pada komitmen politik jangka panjang dari seluruh stakeholder. DPR tidak bisa berhenti pada langkah-langkah simbolis semata, tetapi harus melanjutkan dengan reformasi yang lebih substantif. Sementara itu, masyarakat juga perlu mempertahankan energi kontrol sosial sambil memberikan ruang bagi parlemen untuk berproses dan berbenah.
Yang paling penting adalah menjaga agar momentum ini tidak berhenti sebagai euforia sesaat, tetapi menjadi katalis bagi transformasi sistem politik yang lebih demokratis dan berkeadilan. Pemangkasan tunjangan DPR hanyalah langkah awal dari perjalanan panjang menuju parlemen yang benar-benar mewakili dan berpihak kepada rakyat.
Harapan bukanlah hampa; ia adalah pekerjaan kolektif. Jika langkah-langkah awal ini dilanjutkan dengan transparansi, audit, dan perbaikan hukum, maka gerakan rakyat 17+8 bisa berubah dari amukan menjadi arsitektur perbaikan.
Namun jika tidak, kita hanya menyaksikan ulang ritual politik yang cepat berlalu. Pilihan ada di tangan kita bersama untuk menjadi saksi pasif atau warga yang terus menagih janji demi masa depan yang lebih adil.
“Harapan bukanlah kenyataan, tetapi tanpa harapan tidak ada kenyataan yang mungkin.” — Václav Havel














