Ketika Luka Menjadi Jalan Pulang: Solata dan Pencarian Makna di Ujung Pegunungan
Dalam keterpurukan itu, ia memilih melarikan diri ke tempat yang bahkan namanya pun asing di telinganya: Ollon, sebuah dusun terpencil di Pegunungan Tana Toraja.
Film Solata tayang di bioskop Indonesia mulai 6 November 2025, menghadirkan kisah yang melampaui sekadar drama pengabdian guru. Ini adalah perjalanan spiritual tentang manusia yang cacat, yang gagal, namun tetap berjuang menemukan kembali arti hidupnya.
Sutradara Ichwan Persada tegas menyatakan bahwa ia tidak suka tokoh utama yang sempurna, ia suka yang cacatnya banyak, jadi kita bisa melihat bagaimana cacat itu diperbaiki. Dari awal, Angkasa bukan pahlawan yang dipanggil misi mulia, ia ke pedalaman justru karena melarikan diri dari hidupnya yang berantakan.
Keputusan Ichwan untuk menjadikan Rendy Kjaernett sebagai pemeran utama karakter Angkasa ternyata membawa dimensi emosional yang dalam pada film ini.
Rendy menyebut pengalaman syuting di Tana Toraja sebagai fase penyembuhan diri, ia bahkan berkata kepada sutradara “makasih ya mas, terapinya”. Ketulusan itulah yang membuat setiap adegan terasa nyata dan menyentuh, bukan sekadar akting di depan kamera.
Di Ollon, Angkasa bertemu enam murid dengan nama-nama unik yang terinspirasi dari para presiden Indonesia: Karno, Harto, Habi, Wahid, Mega, dan Bambang. Pilihan nama ini bukan sekadar gimmick, tetapi cara sutradara menghadirkan narasi kebangsaan dalam bingkai yang sederhana namun bermakna.
Anak-anak ini diperankan oleh Keyso Sombolinggi sebagai Karno, Maulana Eka Putra sebagai Harto, Ince Amira sebagai Habi, Gabriel Alexander sebagai Wahid, Amel Komba sebagai Mega, dan Suray Parrangan sebagai Bambang.
Rachel Natasya hadir sebagai Lembayung, sosok perempuan yang membantu Angkasa menyesuaikan diri di tanah Toraja. Kehadiran mantan personil JKT48 ini membawa kehangatan tersendiri, membuktikan bahwa transisi dari dunia hiburan pop ke layar lebar bisa dilakukan dengan penuh kesungguhan.
Jajaran pemeran lainnya turut memperkuat narasi: Fhail Firmansyah sebagai Abun, Iskandar Andi Patau sebagai Bumi, Harsya Subandrio sebagai Rombe, dan Ayu Siramba sebagai Febe.
Proses pembuatan film ini sendiri adalah perjuangan luar biasa. Syuting dilakukan di Pegunungan Ollon, Tana Toraja, dengan akses yang sangat menantang, kru dan pemain harus menempuh perjalanan hingga tiga jam dari Makale menggunakan truk sapi karena kondisi jalan yang rusak dan terjal.
Namun, justru pengalaman inilah yang memberikan keaslian pada setiap bingkai gambar. Salah satu pengalaman yang paling membekas bagi Rendy adalah ketika ia dan kru menyaksikan upacara bendera di sekolah setempat, semua anak-anak sangat serius, sungguh-sungguh, bukan karena takut nilai jelek atau gurunya marah.
Kata Solata dalam bahasa Toraja berarti teman, sebuah makna yang menjadi jiwa dari keseluruhan film ini. Persahabatan yang tumbuh antara Angkasa dan murid-muridnya bukan hanya tentang hubungan guru-murid, tetapi tentang bagaimana manusia saling menyelamatkan satu sama lain. Dalam kesederhanaan pegunungan, Angkasa menemukan arti persahabatan, ketulusan, dan keluarga yang selama ini ia kira telah hilang.
Film ini juga mengangkat isu pendidikan yang sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Ichwan Persada mengaku terinspirasi dari keresahannya terhadap potret pendidikan di Indonesia, ia menyebutkan bahwa setahun terakhir, isu tentang apa yang terjadi di Solata itu banyak sekali, mulai dari guru hingga ketimpangan gaji guru. Film ini menjadi cermin bagi kita semua tentang ketimpangan pendidikan yang masih terjadi di berbagai pelosok negeri.
Film berdurasi 106 menit ini diproduksi oleh Walma Pictures dan Indonesia Sinema Persada, dengan naskah ditulis bersama Arai Amelya. Dukungan kru profesional turut mengangkat kualitas film, terutama penyuntingan yang ditangani oleh Waluyo Ichwandiardono, seorang editor dengan koleksi 11 nominasi Piala Citra.
Solata bukan film yang mengejar tren atau meraup untung semata. Ichwan memilih jalan sunyi untuk membuat film seperti ini, ia ingin membuat film yang isinya penting, karena baginya film itu warisan, suatu saat anak-anak kita akan menonton dan tahu ini isu penting, ini yang terjadi di negeri kita.
Pendekatan ini membuat Solata terasa lebih jujur dan manusiawi, menghadirkan sosok yang tidak sempurna namun tetap berusaha bangkit.
Panorama alam Toraja yang memukau menjadi latar yang sempurna untuk perjalanan emosional ini. Setiap frame menampilkan keindahan pegunungan yang menenangkan sekaligus menegaskan betapa kecilnya masalah kita di hadapan alam yang begitu luas.
Keterlibatan masyarakat lokal dalam produksi film ini juga menambah keaslian dan kehangatan yang sulit diciptakan secara artifisial.
Yang menarik dari film ini adalah bagaimana ia tidak jatuh pada klise film pengabdian guru yang biasa kita lihat. Angkasa bukan sosok guru teladan yang datang dengan idealisme tinggi. Ia datang justru karena lari dari masalahnya. Namun, di sinilah keajaiban terjadi.
Dalam proses mengajar anak-anak yang polos dan tulus itu, ia justru menemukan pelajaran terbesar dalam hidupnya. Anak-anak itu tidak menyelamatkan Angkasa dengan cara dramatis, tetapi dengan kehadiran, tawa, dan ketulusan mereka.
Ichwan Persada menegaskan bahwa Solata mungkin tidak mahal produksinya, tetapi mahal ceritanya dan orang-orang di dalamnya. Pernyataan ini merangkum esensi film dengan sempurna. Di tengah industri perfilman yang kerap mengejar efek visual dan anggaran besar, Solata memilih kekuatan narasi dan ketulusan dalam bercerita.
Solata mengajarkan kita bahwa teman sejati bisa menjadi keluarga pilihan. Bahwa kehilangan bukan akhir dari segalanya, melainkan awal dari perjalanan menemukan kembali diri sendiri. Film ini mengingatkan kita untuk sesekali menepi dari hiruk pikuk, duduk tenang, dan bertanya pada diri sendiri: apa sebenarnya yang kita cari dalam hidup ini?
Dengan latar alam yang memesona, jalinan cerita yang menyentuh, dan penampilan para pemeran yang tulus, Solata layak menjadi salah satu tontonan penting di penghujung tahun ini. Ini bukan sekadar film hiburan, tetapi sebuah pengalaman sinematik yang mengajak kita merenungkan kembali arti kehidupan, persahabatan, dan pengabdian.
Dalam kata-kata sederhana Ichwan, film ini adalah warisan untuk generasi mendatang, pengingat tentang apa yang penting dan apa yang masih perlu diperjuangkan di negeri ini.
Solata adalah bukti bahwa film Indonesia mampu bercerita dengan cara yang jujur dan menyentuh tanpa harus kehilangan kedalaman maknanya. Ia adalah kisah tentang pulang, bukan ke tempat asal, tetapi pulang ke diri sendiri yang telah lama hilang.